Part 11

1721 Kata
Entah kenapa wajah Yoga langsung berubah menjadi menahan malu, padahal tidak ada hal yang membuatnya malu. Bukan hanya itu saja, dia juga terlihat gugup seperti ada sesuatu yang memang sengaja untuk disembunyikan. Bukannya kepo, hanya saja hal tersebut terlihat dari sorot matanya. "Ngapain lo di sini? Pakai baju MPLS segala!" Ketus Yoga menatap perempuan tersebut tajam. "Gue kangen sama lo, lebih tepatnya sih kangen ingin main-main bareng lagi," jawab perempuan tersebut. Dia pun tersenyum sinis lalu berkata, "Sekarang gue pindah sekolah ke sini, nanti kita bisa bertemu terus." "Nggak usah main-main dengan gue Ratih!" Pinta Yoga dengan napasnya yang sudah memburu. Ya, dia adalah Ratih, salah satu perempuan mainan Yoga yang tidak terima atas perlakuan Yoga. Dia mencari-cari keberadaan Yoga dan akhirnya saat ini pun bertemu kembali. Sebuah keberuntungan bagi Ratih yang telah lama menunggu. Sebenarnya dia benci kepada Yoga, akan tetapi hati kecilnya tidak bisa dibohongi bahwa dia suka kepada Yoga. Entahlah sampai sekarang dia juga tidak tahu apa yang menyebabkan perasaan itu terus bertahan. Padahal sudah beberapa kali Ratih disakiti oleh Yoga. Ya memang sih cinta itu buta, rasa sakit yang mendalam pun cukup membuatnya terasa biasa saja, meskipun bagi orang normal itu sangat terasa menyakitkan. Sebuah senyuman kecut pun tercetak di bibir Ratih. Dia tidak tahu pasti kenapa nasibnya bisa seperti ini. Terkadang saja dia berpikir bahwa dirinya seperti pengemis cinta. Padahal sudah sangat jelas bahwa Yoga sudah bosan dengan dirinya. Tidak cukup itu saja, satu hal yang paling aneh itu ketika Ratih sudah tahu disakiti dan diselingkuhi, akan tetapi dia masih tetap saja bertahan dengan hati yang sama. Padahal lelaki di luar sana yang menyukai Ratih itu bukan hanya satu maupun dua orang saja, banyak. Namun, kembali lagi kepada sebuah pilihan karena setiap orang itu kan memiliki hak untuk memilih. Entah itu pilihan baik maupun buruk, perlu diingat bahwa sebuah keputusan itu pasti ada resikonya dan tentunya harus siap dengan resiko tersebut. "Kenapa baru datang, Dik?" Tanya Dafa sopan. Ratih menatap ke arah sumber suara tersebut. Satu hal yang membuatnya mematung ketika melihat pesona wajah Dafa. Awalan yang cukup membuatnya terlena. Dafa begitu terlihat gagah dan tampan. Namun, hal tersebut tidak bisa mengubah keputusan Ratih jika dirinya lebih memilih Yoga. Sampai detik ini, Ratih belum bisa membuka hati untuk siapa pun itu. Rasanya cukup berat ketika mengikhlaskan Yoga dengan perempuan lain. Melihatnya saja cukup membuatnya emosi. Satu hal kelemahan Ratih, dia tidak bisa marah-marah seperti apa yang dilakukan orang-orang ketika diselingkuhi karena Ratih masih memiliki prinsip dan harga diri. Dia tahu bahwa perasaan cinta itu tidak bisa dipaksakan, meskipun dirinya secara tidak langsung seringkali disakiti. "Sudah berangkat dari tadi, cuma lagi ingin sendiri saja, jadinya gue menunggu di depan kelas IPS," jawab Ratih sangat percaya diri, raut wajahnya tidak sedikitpun mengisyaratkan bahwa dirinya memiliki salah. Apalagi dia menggunakan panggilan lo-gue, meskipun Dafa adalah seorang ketua OSIS. Sebab, prinsip Ratih itu karena Dafa masih sebayanya, sehingga apa pun itu dia merasa seperti teman sendiri. Kesannya memang terlihat tidak sopan, tapi mau bagaimana lagi jika Ratih lebih nyaman menggunakan panggilan lo-gue. Saat ini, Ratih tersenyum manis kepada Dafa, tidak ada sedikitpun niat dalam dirinya untuk bisa menggoda Dafa, hanya saja dia memang terlihat manis ketika tersenyum. Apalagi senyumnya itu jarang sekali diperlihatkan di depan umum. Itulah mengapa sebabnya dulu Yoga menyukai Ratih. Alasan yang sangat simpel, akan tetapi sangat terkesan dalam menjalaninya. "Besok jangan diulangi lagi, taati peraturan yang ada!" Suruh Dafa tegas. Mau bagaimana pun keadaannya, dia juga harus bisa terlihat tegas di depan adik kelas agar tidak disepelekan soal peraturan. Apalagi ada adik kelas yang sudah kenal seperti ini, biasanya bawaannya suka menyepelekan karena sudah kenal dan menganggap sebagai teman dekat, sehingga rasa tanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan pun agak kurang. Belum lagi kalau orang tersebut menjadi pengaruh terhadap teman-teman dengan berkedok bangga memiliki teman sebagai anggota maupun pemimpin ekstrakurikuler yang ada. Sudah seringkali terjadi hal-hal seperti tersebut, hanya saja terkadang bagaimana seseorang dalam menutupi kesalahannya. "Iya, Kak," jawab Ratih singkat. Tidak sedikitpun dia ingin ada rasa membantah, hal tersebut malah membuat Yoga cukup terkejut. Namun, secepat mungkin Yoga menutupinya agar tidak diketahui oleh mereka. Yoga merasa bahwa perempuan yang ada di depannya ini bukan Ratih yang sudah dia kenal lama. Banyak sekali perubahan dalam dirinya, baik bertutur kata dan juga dalam hal penampilan. Awalnya mau masa bodoh, akan tetapi Yoga menjadi sedikit tertarik ingin mengetahui tentangnya lebih dalam lagi. Bukan suatu persoalan yang mudah sih karena dalam hal ini, pada akhirnya banyak hal-hal yang sengaja ditutupi demi suatu kepentingan. Mau tidak mau maka Yoga pun harus mengubur rasa keingintahuannya. Sebab, masih bisa diselidiki dengan cara diam-diam. "Ya sudah kalau gitu sana masuk gabung sama yang lainnya!" Suruh Dafa. "Baik, Kak!" Lagi-lagi Ratih hanya menurut saja, dia pergi meninggalkan mereka, akan tetapi tatapannya masih tidak mau terlepas dari Yoga. Saat ini pun Yoga merasa kalau dirinya itu seperti sedang dalam diambang kebingungan. Bukan hanya sekali maupun dua kali sih, lebih tepatnya seperti orang yang tidak memiliki salah. Di lain sisi, dia juga sedikit berhati-hati dengan cara tidak terlalu terbawa suasana karena itu bisa membahayakan dirinya sendiri. Sekali dalam melakukan hal yang tidak wajar maka disitulah seringkali terjadi penyesalan. Perlu digaris bawahi bahwa semuanya tidak seperti itu, semua tergantung oleh pribadi masing-masing bagaimana seseorang dalam menjalankan hal tersebut. Mau dibuat pusing bisa atau mau dibuat simpel juga bisa. Semuanya tergantung pada diri sendiri dan akan kembali pula terhadap dirinya sendiri. Akhirnya punggung Ratih pun menghilang dari hadapan Yoga karena dia telah masuk ke dalam ruang aula. Yoga pun akhirnya bisa bernapas lega. Dia membuang napasnya perlahan di hadapan Dafa dan Gibran. Hal itu menarik perhatian mereka berdua, pasalnya mereka kali pertama melihat Yoga bertingkah aneh. Menarik untuk dicari tahu, sayangnya saat ini tidak ada sedikitpun waktu untuk terlalu kepo terhadap permasalahan tersebut, terutama Dafa. Mungkin sih ada kemungkinan lain waktu disaat benar-benar kuker, kurang kerjaan. Di saat itulah biasanya orang-orang beraksi demi mewujudkan apa yang dirinya mau. "Dia siapa lo?" Tanya Gibran. "Bukan siapa-siapa gue, dia Ratih," jawab Yoga apa adanya sesuai dengan pertanyaan dari Gibran. Lagi pula dia juga malas membahas mengenai Ratih, rasanya malah ingin emosi saja, meskipun tidak ada yang patut untuk dibuat emosi. Itu hanya sekedar dari ekspresi dirinya saja dalam mengungkapkan apa yang dirinya rasakan karena apa yang dirasakan oleh diri sendiri tidak akan pernah sama atas apa yang dirasakan oleh orang lain, meskipun dalam sebuah permasalahan maupun persoalan yang sama. "Oh teman," gumam Gibran sambil menganggukkan kepala. Dia sih sebenarnya ingin tahu lebih, hanya saja waktu menuntutnya untuk tidak mencari tahu sekarang. Niatnya sih sebelum bertanya akan dilakukan sebuah penelitian, yaitu mencari tahu secara diam-diam. Siapa tahu bisa menjadi suatu hal untuk penekanan disaat Yoga menyebalkan. Aneh kan? Namun, itulah yang terjadi dalam diri Yoga dan Gibran. Bukan persoalan baru lagi bagi Dafa, dia hanya menghela napas melihat tingkah kedua temannya. Untung saja saat ini acara sambutan dari kepala sekolah, sehingga waktunya sedikit luang dan dia gunakan untuk bersantai, terutama dalam hal persoalan otak. Ada kalanya dia ingin merasakan sebuah ketenangan dan juga kebahagiaan tanpa meminta-minta. Dia hanya mengamati tingkah kedua temannya saja cukup membuatnya pening, lebih tepatnya sih karena tingkahnya itu cukup basi dan bahkan Dafa sudah sedikit muak dengan itu semua. "Kalian bisa diam nggak sih?" Tanya Dafa membuat mereka berdua saling menatapnya. Kedua alis mereka pun mengerut tanda bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya karena sejak tadi mereka berdua lebih sering bersikap tenang dan hanya sebatas tanya biasa. "Kita berdua kan nggak berisik, Daf," ujar Gibran sedikit tidak terima. "Iya nih, ribut salah dan diam pun salah. Nggak usah jadi macam cowek deh, heran banget deh gue sama lo! Macam cewek saja, mau lo apa sih?" Tanya Yoga sedikit ngegas karena merasa bahwa dirinya sedang diprotes, meskipun dirinya tidak berbuat salah. Aneh, tapi itulah pada kenyataannya. Kalau Gibran salah di mata Dafa itu sih sering, sehingga dia tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Lagian mau salah mau benar, hal itu hanya urusan belakangan. Apalagi urusannya hanya dengan Dafa yang sama-sama masih makan nasi. "Karena gue tahu kalau kalian berdua pasti akan arahnya terhadap hal-hal aneh, seperti halnya dalam persoalan perdebatan yang tidak bermutu. Paling gitu-gitu saja. Bosan banget dengarnya, kecuali kalau ada yang baru tuh baru gue akan tertarik," ujar Dafa cukup menohok hati mereka berdua. Gibran tidak akan tinggal diam. Dia pun memutuskan untuk sedikit menggoda Dafa dan juga ingin mencari tahu mengenai apa sih yang ada di dalam pikirannya. Siapa tahu ada yang baru maka disitulah cukup digunakan sebagai bahan candaan, daripada terasa garing itu kan cepat membosankan. "Oh ada yang baru, contohnya seperti Ana, Daf?" Tanya Gibran pura-pura tidak mau. Nampak betul wajah Dafa yang sedikit salah tingkah. Bisa dikatakan cukup aneh sih, tapi itulah hal yang seringkali terjadi di dunia ini. Banyak hal-hal yang cukup aneh menjadi tidak aneh setelah diketahui asal usul sebabnya. "Apaan sih malah bawa-bawa Ana segala!" Protes Dafa sedikit menahan malu. Namanya juga salah tingkah maka wajahnya pun tidak bisa ditutupi oleh rasa tersebut. Apalagi Gibran sudah berteman dengan Dafa sudah sejak lama dan mau apa-apa pun selalu bersama. "Ya nggak masalah dong, apalagi Ana itu orangnya cukup menarik sih." "Gue juga setuju akan pendapat lo itu," sahut Yoga yang ikut tertarik dalam pembahasan tersebut. Lagian Ana sudah menjadi orang incarannya, sehingga apa pun akan Yoga lakukan agar tidak tertinggal informasi mengenai Ana. "Apaan sih lo itu malah ikut-ikutan saja, heran banget deh!" Ketus Gibran. "Ya terserah gue dong, selama gue kenal sama orangnya ya gue masih bisa lanjut nyambung saja sih, daripada yang nggak tahu apa-apa malah gayanya sok tahu," jawab Yoga. "Diam kalian berdua! Kalau mau ribut sana jangan di hadapan gue!" Pinta Dafa, lalu dia pun menghela napas. "Bran, kira-kira Ana lagi ngapain ya? Kenapa dia tidak kunjung ke sini? Gue kok memiliki firasat buruk ya, tapi sih harapannya hanya sebuah firasat saja dan jangan sampai pikiran buruk gue benar-benar terjadi." "Tuh kan, apakah gue nggak salah dengar?" Goda Gibran membuat Dafa kesal. "Gue lagi serius, Bran." "Gue juga lebih serius, dua rius malah." "Huft!" Dafa menghela napas sambil sedikit menggelengkan kepala melihat tingkah temannya. "Gue tahu kalau lo tertarik sama dia," kata Gibran secara terang-terangan, tidak perduli di sebelahnya ada Yoga yang jelas-jelas sangat menyukai Ana. Dari gerak-gerik tubuh pun Gibran sudah mengetahui hal itu, hanya saja dia tidak ingin terjadi kepada dirinya sendiri. "Oh, jadi kita mau saingan? Oke siapa takut," sahut Yoga menahan emosi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN