Alis kanan Dafa terangkat ke atas. "Saingan?"
"Iya saingan, Lo mau saingan sama gue buat dapetin Ana kan?" Tanya Yoga.
"Hahaha, ngapain gue mau saingan soal cewek sih. Kalau lo naksir sikat saja, tapi perlu lo ingat bahwa gue nggak akan terima kalau lo menjadikan Ana sebagai boneka," jawab Dafa penuh dengan ancaman.
"Atas dasar apa lo mengancam seperti itu? Oh, sekarang gue tahu, pasti lo itu suka kan sama Ana? Ups, gue masih nggak nyangka kalau lo suka sama Ana."
"Dia nggak seperti cewek simpanan lo, dia beda dari yang lain."
"Ya beda lah, jelas-jelas wajah dan postur tubuhnya saja beda," cletuk Gibran ngasal. Tatapan Dafa langsung tertuju ke arah Gibran. Rasanya dia ingin sekali menampar mulut Gibran yang kalau ngomong sukanya ngasal tanpa dipikir terlebih dahulu. Tangannya juga sudah gatal, akan tetapi Dafa tidak suka menggunakan kekerasan, apalagi dalam persoalan seperti ini yang hanya dalam soal bercanda saja. Dia tidak tahu kenapa tidak ingin melihat Ana tersakiti, meskipun dia bukan siapa-siapanya dan bahkan baru kenal hari ini.
Sejak meninggalkan Ana di dalam UKS tadi pikirannya malah semakin runyam dengan beberapa hal negatif yang bersarang di dalam pikirannya, meskipun Ana bersama Diandra. Dia tidak terlalu yakin dengan kondisi yang ada. Bahkan dia juga tidak tahu pasti mengapa di pagi hari ada makhluk ghaib yang mau mengganggu Ana. Dafa memang tidak tahu hal itu, hanya saja dia sedikit menyimpulkan apa yang dikatakan Diandra tadi. Kemungkinan besar bahaya mengancam Ana, sayangnya Dafa tidak bisa memastikan langsung kabar buruk tersebut. Andai saja dirinya memiliki kekuatan bisa mengetahui masa yang akan datang, maka dia pun akan menjaga orang-orang yang berada di dekatnya.
Memang terkesan seperti memberikan sebuah harapan, akan tetapi Dafa pernah berjanji kepada dirinya sendiri akan melakukan apa yang dirinya bisa lakukan selama mampu. Banyak sekali kebaikan di dunia ini, hanya saja terkadang setiap orang lupa bagaimana caranya menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Banyak sekali kejadian di luar sana orang yang pura-pura tidak tahu, meskipun sebenarnya orang tersebut tahu akan hal itu. Bisa dikatakan sih pura-pura tidak tahu. Hal itu lah seringkali terjadi di dunia ini karena memang dasarnya ada beberapa orang yang baik di depan saja dan buruk di belakang. Sebuah senyuman kepalsuan juga seringkali terjadi. Orang yang seperti itu diibaratkan seperti kedondong, yaitu luarnya bagus, sedangkan di dalamnya terdapat duri-duri.
Itulah salah satu penyebab mengapa Dafa tidak terlalu percaya kepada Yoga karena jika dilihat dari masa lalunya itu cukup buruk, meskipun setiap orang itu pasti mengalami perubahan, entah itu semakin baik maupun semakin buruk. Namun, pada kenyataannya di dunia ini jika ada masa lalu buruk maka akan terus terkenang, dibandingkan dengan dengan masa lalu baik. Itulah fakta pandangan seseorang dalam menilai orang lain karena seribu kebaikan akan tertutup oleh satu keburukan.
"Kenapa diam?" Tanya Gibran sambil mengibaskan tangan kanannya tepat di depan wajah Dafa karena sorot mata Dafa itu benar-benar menatapnya dalam, akan tetapi tidak ada pergerakan lain. Selain itu, satu hal yang Gibran takutkan adalah kejadian aneh yang terulang kembali. Ya memang sih tadi terjadi kepada diri Ana, sedangkan sekarang ditakutkan terjadi pula pada diri Dafa. Bisa-bisa ribet urusannya. Belum lagi kalau nanti ada sesuatu yang cukup sulit untuk ditaklukan. Berhubungan dengan hal ghaib itu bukan persoalan yang mudah karena ada beberapa hal yang cukup untuk dimengerti agar tidak membahayakan diri sendiri. Sebab, dilihat dari nama ghaib saja kan sudah jelas bahwa artinya tidak nampak, sedangkan manusia itu hanya beberapa saja yang mampu melihat alam ghaib, kecuali jika mata batinnya sengaja dibuka. Namun, jika hal tersebut benar-benar dilakukan dan ternyata tidak sesuai dengan kekuatan diri sendiri maka akan bisa berakibat fatal, biasanya sih bisa jadi gila.
"Gue diam karena bingung saja melihat kelakuan lo yang super aneh gitu," jawab Dafa dengan raut wajah datar.
"Gue heran deh, kenapa semua hal lo selalu anggap aneh. Macam hidup lo paling ideal saja," sindir Yoga secara langsung. Tidak ada sedikitpun ada rasa malu-malu karena kemungkinan rasa bencinya kepada Dafa yang cukup mendalam, meskipun Dafa tidak pernah sekalipun memperlakukan Yoga dengan cara kekerasan. Hanya saja banyak perempuan yang lebih menyukai Dafa secara tidak langsung membuat Yoga sedikit cemburu dan juga iri. Padahal sebenarnya sih itu bukan suatu hal yang patut untuk dipermasalahkan karena setiap pilihan itu pasti ada alasan, sedangkan setiap orang memiliki hak untuk memenuhi pilihannya tersebut yang tentunya sudah dipikirkan terlebih dahulu. Mustahil jika ada orang yang bilang tanpa ada alasan, itu sih hanya sebuah kebohongan saja atau kemungkinan yang lebih tepat sih karena hanya ikut-ikutan saja. Itu pun tidak tahu pasti karena dengan alasan tidak mengenal siapa orang yang dipilihnya. Kejadian seperti itu sudah seringkali terjadi dan sudah tidak asing lagi.
"Ya terserah gue, itukan hak gue. Kalau nggak terima ya sudah."
"Lo kok nyolot banget!"
"Nggak ngaca?" Tanya Dafa cukup menohok. Memang sih kalau ucapan yang bernada keras itu terkesan seperti nyolot sekali, apalagi hal yang sebelumnya cukup dibuat sengaja, sehingga apa pun itu secara tidak langsung bisa membuat orang lain merasa tersinggung, seperti hal nya Yoga yang mudah sekali tersinggung, meskipun dia itu laki-laki. Jadi, dapat diketahui bahwa orang yang mudah tersinggung itu bukan masalah laki-laki maupun perempuan, hanya saja bagaimana tergantung diri seseorang dalam keteguhan hatinya di saat menghadapi suatu masalah.
"Sebelum berangkat sekolah, gue sudah ngaca dulu kali."
"Kalau sudah ngaca nggak akan ngomong seperti tadi, lain kali sebelum ngomong ditata dulu biar nggak menyinggung orang lain. Untung sama gue, kalau sama orang lain sudah habis lo!"
"Iya tuh punya mulut, tapi otaknya nggak pernah dipakai. Heran banget deh gue sama lo," sahut Gibran menambahi hal-hal yang tidak sepantasnya ditambah di depan Dafa. Hal itulah sebagai pemicu timbulnya keributan lagi. Dafa sedikit panas dengan kata-kata Yoga, akan tetapi dia lebih memilih untuk mengontrol dirinya sendiri saja, dibandingkan mengurus kalimat yang diucapkan kedua temannya. Jika ditanya sakit atau tidak sih tidak, hanya saja sedikit menyinggung saja. Belum lagi apa yang terjadi pada kenyataannya. Banyak sekali hal-hal aneh yang tidak sepadan dan tentunya hal itu membuat sorotan yang pantas untuk dibahas.
"Nggak usah mancing emosi gue karena gue nggak ada waktu buat ngeladenin orang yang macam kalian. Masih banyak hal lain yang harus gue urus!" Akhirnya Dafa pun memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua, lebih tepatnya sih menghindar karena malas untuk berdebat, terutama Yoga yang terus sengaja memancing perdebatan, padahal sudah sangat jelas bahwa dirinya cemburu. Apalagi yang diperdebatkan itu hanyalah masalah soal perempuan, di sisi lain perempuan di dunia ini banyak banget, bukan hanya Ana saja. Lagian orang yang sifatnya seperti Ana juga masih ada, kalau menurut Dafa si masa bodoh saja karena Dafa saat ini lebih memilih pendidikan daripada dunia percintaan yang belum jelas nanti pada akhirnya. Perjalanannya masih cukup panjang untuk meraih cita-cita yang diinginkannya. Belum lagi dirinya harus menempuh perguruan tinggi. Dia selalu ingat bagaimana pengorbanan kedua orang tuanya untuk dirinya demi mewujudkan apa yang dirinya inginkan. Bukan persoalan yang mudah sih, karena di balik itu semua ada kerja keras mereka.
Baru saja Dafa melangkahkan kaki untuk pergi dari hadapan mereka, dia kembali mendapatkan masalah. Kali ini dia cukup terkejut melihat kedatangan Ana yang secara tiba-tiba dengan raut wajah panik. Namun, dapat dilihat bahwa wajah Ana masih terlihat pucat, mungkin sih karena dia baru saja pingsan. Napas Ana memburu dengan keringatnya yang membasahi pelipisnya.
Dafa langsung mendekati Ana untuk memastikan keadaannya karena sejak tadi firasatnya terus mengarah kepadanya Ana, meskipun Dafa tidak tahu pasti akan hal itu. Mau bagaimana lagi jika firasat itu kan berhubungan dengan perasaan, akan tetapi Dafa yakin bahwa dirinya tidak boleh jatuh cinta kepada Ana. Dia harus bisa menahan perasaannya agar Ana tidak terbawa perasaan juga dengan dirinya. Mau bagaimanapun keadaannya, maka Dafa tidak ingin segala hal yang sudah menjadi prinsipnya akan rusak begitu saja. Cukup rumit untuk dimengerti dan dijalani karena dia hanya ingin hidupnya tenang tanpa ada masalah. Sebab, dia seringkali melihat teman-temannya yang berusaha untuk meluangkan waktu demi menjawab maupun mengabari pasangannya. Masih mending cukup itu saja, terkadang ada beberapa hal yang seakan drama harus ngambek terlebih dahulu, padahal tinggal ngomong kangen saja sulitnya minta ampun. Itu lah beberapa hal yang membuat Dafa memilih untuk menghindari jatuh cinta di masa yang tidak tepat. Di sangat yakin bahwa di dunia ini soal jodoh sudah ada yang mengatur, sehingga dia tidak pernah risau memikirkan hal tersebut. Satu hal lagi bahwa dia selalu percaya bahwa usaha tidak akan menghianati hasil.
Meskipun prinsip Dafa seperti itu, akan tetapi dia masih peduli kepada Ana. Dia melangkahkan semakin cepat untuk menuju ke Ana yang sedang panik. Setelah jarak mereka dekat, Dafa pun langsung memberikan pertanyaan kepada Ana. Bukan sekali, akan tetapi beberapa kali dalam satu pertanyaan.
"Ada apa, Na? Di mana Diandra? Kenapa lo berada di sini dengan kondisi seperti ini? Sebenarnya apa yang terjadi?" Tanya Dafa dengan kedua tangannya memegang kedua bahu Ana. Pada saat itu pun Ana belum bisa menjawab karena dia benar-benar merasa pandangannya akan kabur setelah berlarian untuk meminta tolong. Dia malah memegangi kepalanya yang rasanya semakin berat. Dia pun memejamkan kedua matanya sejenak untuk menetralkan pandangannya agar tidak sampai jatuh pingsan.
Tak lama kemudian datanglah Yoga dengan disusul di belakangnya ada Gibran yang tak kalah paniknya. Mereka bertiga langsung mengerubungi Ana yang masih terlihat lelah dan letih. Yoga lah orang yang paling heboh.
"Ana, apa yang terjadi pada diri lo?" Tanya Yoga sangat penasaran.
Gibran pun tak kalah penasaran, dia pun bertanya, "Kenapa kondisi seperti ini, Na? Apa yang terjadi?"
Saat ini bukan hanya mereka berdua saja yang memperhatikan tingkah Ana, bahkan beberapa peserta MPLS yang melihatnya pun ada yang berbisik-bisik karena penasaran, khususnya peserta yang duduk di bagian akhir, tepatnya pintu masuk aula. Mereka sangat penasaran, apalagi peserta laki-laki yang memang sejak awal terpanah melihat paras wajah Ana yang cukup menawan dan menarik perhatian. Jika posisinya sedang tidak ada pengisi acara pun beberapa anak pasti akan ada yang keluar, meskipun dijaga ketat.
Tak kunjung mendapatkan jawaban membuat Dafa sedikit kesal, sehingga dia menggoncangkan kedua bahu Ana. "Jawab pertanyaan gue, Ana, jangan bikin gue khawatir!"
"Bukan cuma Dafa saja yang khawatir, tapi kita semua," sahut Yoga.
"Kak Diandra--"
"Diandra kenapa?!" Tukas Gibran dengan kedua bola matanya yang sudah membulat sempurna karena mau bagaimanapun Diandra itu teman seangkatannya dan juga sekolah di tempat yang sama, sehingga wajar kalau dia juga ikut panik dan khawatir.
"Aku nggak tahu, Kak, tiba-tiba dia kesakitan dan pingsan setelah menjerit. Tolongin dia, aku nggak tahu lagi mau minta tolong sama siapa," jawab Ana.
"Apa? Diandra pingsan?!" Pekik Dafa dan dia langsung menuju ke ruang UKS di mana tadi Ana dan Diandra berada.