Ana, Dafa, dan Yoga pun langsung menuju ke ruang UKS dengan sangat tergesa-gesa, sedangkan Gibran malah sibuk memanggil salah satu anggota PMR untuk memeriksakan keadaan Diandra karena pada saat sekarang belum ada dokter yang jaga di ruang UKS, biasanya sih ada setiap pukul sembilan pagi dan itupun tidak selalu, terkadang satu minggu tiga kali atau bahkan hanya satu kali saja. Namanya juga orang panik, sehingga ada sesuatu yang lebih penting pun sampai lupa segalanya. Bukan hanya mereka saja sih yang mengalami hal tersebut, banyak beberapa orang yang sudah mengalami hal tersebut. Masih mending hanya itu saja, bahkan terkadang nyawa pun sampai dilupakan hanya demi orang yang disayanginya saja. Bisa dikatakan sih sudah buta akan hal itu, tapi mungkin masih bisa tahu akan hal tersebut, akan tetapi lebih masa bodoh adalah yang paling utama.
Gibran pun menghela napas melihat kelakuan teman-temannya. Untung saja dirinya masih bisa mengontrol rasa grogi tersebut, andai tidak maka nanti akan terjadi kegugupan dalam menolong. Setidaknya mengontrol diri sendiri itu memang perlu agar tidak terjadi hal-hal aneh yang kemungkinan bisa membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Setelah itu, Gibran dan salah satu anggota PMR langsung menyusul ke dalam ruang UKS. Banyak tatapan yang bertanya-tanya, termasuk beberapa guru yang sudah hadir. Akan tetapi mereka berusaha untuk tenang agar acara ini bisa berjalan dengan lancar tanpa ada sedikit kericuhan karena pada dasarnya seseorang itu akan mudah memiliki rasa ingin tahu ketika melihat sekumpulan orang yang heboh. Bahkan ucapan kalimat-kalimat yang menarik pun akan menjadi sebuah bumbu penyedap dalam keinginan mengetahui hal tersebut.
"Ayo, jangan lama-lama jalan kakinya, mau gue angkat biar cepat sampai tujuan?" Tanya Gibran kepada adik kelas yang menjadi anggota PMR tersebut. Dia malah terlihat senyum-senyum salah tingkah karena tidak tahu lagi harus berbuat apa. Perempuan mana sih yang tidak kebawa perasaan ketika ada seorang cowok yang berusaha untuk membuat sebuah gombalan, meskipun itu posisinya sangat mepet.
Lagi-lagi Gibran menghela napas karena dia paling malas kalau bertemu dengan perempuan yang mudah baper karena dengan posisi tersebut nanti yang ada dirinya malah dianggap sebagai penjahat, meskipun itu bukan sepenuhnya salah Gibran. Dia itu hanya salah sasaran saja dalam menghadapi situasi tersebut. Masih mending cukup itu saja, terkadang nama baik pun bisa jadi tercemar hanya karena hal tersebut. Memang sih yang namanya urusan dengan perempuan itu cukup ribet. Banyak sekali yang harus dijaga, tapi itu bukan menjadi patokan. Sebab, semua itu akan kembali kepada diri sendiri bagaimana seseorang dalam menjalani dan menghadapi setiap masalah.
"Lo kenapa gitu sih?" Tanya Gibran cukup kesal dan akhirnya pun nada bicaranya cukup tinggi. Dia paling tidak suka kalau sedang serius malah dibuat bahan candaan saja, lebih tepatnya tidak mendapatkan respon balik yang serius.
"Ah, nggak apa-apa kok, Kak," jawab perempuan tersebut, dia bernama Andin. Salah satu anggota PMR yang dikabarkan menjadi incaran dari beberapa siswa laki-laki. Hanya saja dia itu tidak begitu respon dengan laki-laki dan bahkan banyak yang bilang bahwa dia orangnya kaku. Namun, kali ini Gibran tidak setuju dengan pendapat tersebut, terbukti bahwa saat ini Andin malah terlihat salah tingkah yang artinya dia memiliki respon untuk orang lain, meskipun itu bukan semua. Gibran yakin bahwa orang yang mendapatkan respon dari Andin itu hanya beberapa saja. Sebab, Andin adalah tipikal orang yang tidak suka ribet dan juga tidak mudah merasa nyaman kepada orang lain. Bisa dikatakan sih terlalu pilah pilih. Terkadang saja Andin lebih senang untuk memilih sendiri, meskipun banyak orang yang mau berusaha untuk mendekatinya. Gibran bisa memberikan penilaian tersebut karena dia sempat beberapa kali melihat Andin sendirian. Tidak masalah sih, dengan kesendiriannya tersebut secara tidak langsung malah membuat Andin menjadi pribadi yang mandiri.
Tak bisa dipungkiri bahwa sejak tadi lirikan mata Andin sesekali menatap Gibran, intinya sih curi-curi pandang. Bukan Gibran namanya kalau diam-diam tidak mengetahui hal tersebut. Dia memang terlihat cuek, akan tetapi dia secara diam-diam malah memiliki rasa ingin tahu lebih tepatnya seberapa kuat dirinya untuk diam tidak ingin terlihat ingin tahu juga. Setidaknya dengan cara seperti itulah dirinya bisa sedikit mendapatkan informasi baru, meskipun tidak seperti apa yang ada di dalam ekspektasinya. Akhirnya Gibran pun memutuskan untuk diam dan lebih fokus ke arah keadaan Diandra, meskipun belum melihatnya secara langsung. Setidaknya dia menjadi tidak terlalu banyak berpikir. Capek kalau lama-lama berpikir mengenai hal yang tidak perlu dipikirkan karena sama hal nya menguras tenaga. Pada intinya jika masih ada hal lain yang lebih perlu dipikirkan kenapa malah memikirkan hal yang tidak penting? Perlu diingat bahwa waktu itu sangat berharga.
Tak lama kemudian mereka berdua sampai di depan ruang UKS, mereka melihat Dafa dan Yoga kompak mengangkat tubuh Diandra yang terkapar di atas lantai. Dia tidak tahu pasti kenapa hal tersebut bisa terjadi pada diri Diandra, padahal sih sejak tadi dia sangat yakin bahwa Diandra akan baik-baik saja karena dia itu terlihat kuat, beda lagi ketika menatap Ana yang sejak pagi terlihat agak lemas. Bukan hanya persoalan sekali maupun dua kali, persoalan cinta itu memang seringkali terjadi, hanya saja bagaimana cara menghadapinya agar tidak menjadi sebuah hal yang cukup sulit diartikan. Terkadang miris saja ketika melihat orang yang terpojokkan ataupun berpura-pura baik di depan umum, meskipun sebenarnya banyak luka yang ditutupi. Begitulah sebuah kehidupan, banyak yang suka dan banyak pula yang tidak suka. Beda sendiri maupun beda sedikit saja bisa menjadi sebuah masalah, apalagi beda banyak. Mungkin sih bisa menjadi bahan bullyan.
"Diandra!" Pekik Gibran ketika melihat wajah Diandra yang sangat pucat. Beda dengan sebelum dirinya meninggalkan Ana dan Diandra di dalam ruang UKS. Perubahan pada raut wajahnya itu seperti seratus delapan puluh derajat. Benar-benar beda jauh dan tentunya hal itulah menjadi tanda tanya besar dengan penuh jawaban yang cukup membingungkan.
"Andin, coba lo periksa keadaan Diandra!" Suruh Dafa. Tanpa banyak membuang waktu pun Andin langsung menjalankan sesuai dengan perintah Dafa. Dia begitu telaten memeriksa Diandra yang masih tak sadarkan diri. Entah kenapa pergerakan Andin membuat Gibran tertarik untuk menatapnya. Mungkin sih karena pergerakannya itu sangat lembut. Bisa dikatakan sih kalem banget dan cocok dengan wajahnya yang terlihat polos.
"Bagaimana keadaannya?" Tanya Yoga.
"Nggak apa-apa, Kak, aman," jawab Andin.
"Syukur lah kalau gitu," ucap Dafa, Yoga, Gibran, dan Ana secara bersamaan, meskipun tidak ada sedikitpun rencana agar mereka bisa terlihat kompak. Tadi itu hanya tidak sengaja saja. Dia terlalu lelah untuk mengatakan dan membahas hal-hal yang tidak terlalu penting untuk dibahas.
"Iya, Kak."
Mereka pun akhirnya bisa bernapas lega ketika melihat kelopak mata Diandra terbuka. Mereka langsung mengerubungi Diandra untuk memastikan keadaannya baik-baik saja. Belum lagi kalau sampai ada masalah yang cukup mendalam, kemungkinan sih akan jadi hal yang cukup buruk.
"Diandra, jangan banyak gerak dulu!" Suruh Dafa.
Kedua alis Diandra mengernyit untuk menetralkan cahaya yang masuk ke dalam ruangan, sekaligus sedikit berpikir mengenai hal yang tadi membuatnya sampai pingsan. Satu hal yang dia cari setelah sadar adalah keberadaan Ana, dia takut kalau nanti terjadi hal-hal aneh lagi karena setelah pingsan, Diandra tidak tahu apalagi yang terjadi setelah itu. Bukan hanya persoalan yang sulit untuk dimengerti, hanya saja kejadiannya memang cukup aneh. Diandra yang mengalami sendiri saja sampai terheran-heran, apalagi kalau sampai sekarang, mungkin sih akan sedikit ribet urusannya.
"Gue nggak apa-apa kok, aman," ucap Diandra sambil memegangi kepalanya yang masih sedikit terasa pusing. Sesekali dia juga memejamkan matanya untuk mengurangi rasa sakit yang terus menyerang kepalanya. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa agar semua masalah yang dihadapinya ini cepat selesai. Banyak hal yang harus diselesaikan agar tidak terjadi salah paham. Bahkan permasalahan baru kali ini sedikit membuat dirinya seperti ditampar oleh kenyataan. Diandra cukup lelah menghadapi masalah di pagi ini, tenaganya cukup terkuras dan sekarang dia merasa lemas. Kedua kakinya juga terasa sudah tidak sanggup untuk menahan beban tubuhnya sendiri. Dia merasa bahwa serangan ghaib itu lebih lelah untuk dihadapi, dibandingkan serangan manusia biasa. Sebab, makhluk ghaib itu kan tidak terlihat, sedangkan manusia sangat jelas terlihat, sehingga serangan dari manusia itu mudah untuk dihindari dibandingkan makhluk ghaib.
Hanya beberapa kali saja bahwa Diandra mengalami hal seperti ini. Bisa dikatakan sih bahwa Diandra tidak terlalu suka menjadi anak indigo karena hidupnya itu seringkali tidak nyaman hanya karena banyak sekali cobaan. Setiap kali jalan di tempat baru, ia seringkali diperlihatkan hal-hal buruk yang tidak kasat mata. Entahlah hal itu malah membuatnya semakin gila karena hidupnya tidak pernah tenang. Banyak sekali hal yang membuatnya hampir gila hanya karena matanya yang seringkali melihat hal-hal aneh. Bisa dikatakan bahwa sebenarnya jiwa dan raga Diandra itu belum kuat. Ya seperti itulah yang Diandra rasakan ketika kalah dari serangan makhluk ghaib, sulit untuk dideskripsikan.
Terkadang kalau Diandra merasa lelah juga bingung mau curhat kepada siapa karena tidak ada orang yang benar-benar mau mendengarkan curhatannya, meskipun itu keluarganya sendiri. Ketika Diandra sedang curhat mengenai masalah hal ghaib tersebut malah terlihat seperti orang gila di mata orang lain. Lebih tepatnya sih karena manusia biasa tidak bisa melihat apa yang Diandra lihat. Kalaupun tahu, hal itu cuma pendengar dongeng saja sih. Diandra seringkali dianggap seperti orang yang ngelantur tanpa memikirkan kata-kata di saat mengungkapkan sebuah kata yang pada akhirnya menjadi sebuah kalimat.
"Kalau lo aman kenapa wajahnya malah gitu?" Tanya Gibran tidak menyangka bahwa Diandra akan mengatakan hal itu yang jelas-jelas sangat membohongi dirinya sendiri.
"Lo tahu apa sih tentang gue, kalau gue bilang aman ya aman!" Ketus Diandra ketika dirinya tidak terima. Namanya juga manusia yang memiliki logat masing-masing dalam berbicara, beberapa orang sih cukup terheran. Akan tetapi sebuah rasa heran tersebut harus dituntaskan agar semuanya selesai.
"Lo kok dikhawatirkan malah nyolot gitu. Heran banget deh gue sama diri lo yang cukup aneh gitu," ujar Yoga.
"Gue nggak nyolot, kalian saja yang baperan," ejek Diandra. Dia pun mencari keberadaan Ana. "Oh iya, Ana di mana?"
"Aku di sini, Kak," sahut Ana mengacungkan tangan kanannya, seperti orang yang sedang menyapa.
"Apakah lo baik-baik saja?"
"Iya, Kak. Kak Diandra sendiri gimana?"
"Gue aman, lebih baik lo itu izin saja sana. Hari ini nggak baik buat lo. Mumpung ada Dafa tuh minta tolong sama dia karena dia adalah ketua OSIS."
"Tapi, Kak--"
"Nggak usah tapi-tapian, lebih baik mencegah daripada mengobati!" Tukas Diandra.
"Memangnya apa yang sebenarnya terjadi? Jangan buat aku takut, Kak."
"Kalau gue kasih tahu lo, maka lo juga akan takut. Menurut gue sih sama saja, lebih baik lo pulang dulu saja deh. Lain kali hati-hati."
"Tanpa alasan yang kuat mana bisa?"
"Gue akan cerita, tapi nggak sekarang."
"Nggak apa-apa, Na. Lo boleh pulang kok, bilang saja kalau tadi lo itu pingsan dan sekarang agak pusing, tapi sorry gue nggak bisa mengantar lo pulang ke rumah," ujar Dafa.