"Ana, kamu kenapa?" Tanya Bi Sanah. Dia nampak khawatir ketika melihat anak majikannya tidak berdaya. Satu hal lagi yang cukup mengejutkan bahwa Ana pulang sendirian, padahal kan di rumah ada sopir pribadi. Untung saja di rumah tidak ada kedua orang tua Ana, jika ada maka kemungkinan akan terjadi perdebatan kecil. Sebab, Ana adalah anak semata wayang, sehingga kedua orang tuanya seringkali khawatir dan bahkan dia seringkali diperlakukan bagai ratu, meskipun Ana itu gadis remaja yang begitu polos. Hidup penuh dengan kasih sayang dan juga bergelimang harta tidak pernah membuat Ana semena-mena, bahkan dia malah terkenal sebagai gadis kalem, berprestasi, dan juga rendah hati. Pengakuan tersebut diberikan dari beberapa orang yang mengenal Ana, dia tidak pernah membayangkan apa yang dirinya punya karena dia sadar bahwa selama ini yang dirinya nikmati itu hanyalah sebuah titipan yang diberikan kepada kedua orang tuanya. Pemiliknya adalah kedua orang tuanya, sehingga Ana sendiri tidak tahu bagaimana mana yang mau dibanggakan.
Ana selalu beranggapan bahwa setiap hal yang dirinya miliki itu harus dari kerja keras diri sendiri, bukan dengan milik orang lain yang diberikan secara cuma-cuma. Di dunia ini tidak ada yang gratis dan jika ada orang yang memberikan bantuan itu pasti memiliki niat, baik itu niat baik maupun buruk. Percuma saja sih ketika ada orang yang dipaksakan karena biasanya hal itu tidak sesuai dengan kehendaknya yang berasal dalam diri sendiri. Namanya juga orang yang tentunya pasti memiliki ciri khas masing-masing. Biasanya dari hal tersebut mendasar menjadi karakter utama orang tersebut.
Bukannya menjawab, Ana malah memijat kepalanya yang terasa cukup pening dan tak lama kemudian dia duduk di sofa ruang tamu. Pagi hari seperti ini, rasanya seperti mabuk dalam perjalanan. Ana juga tidak tahu pasti mengapa dirinya bisa secara tiba-tiba sangat merasakan lemas. Buat berdiri saja rasanya tak mampu karena saat ini kedua kakinya seperti bergetar.
Hawa dingin pun sejak tadi menusuk tubuh Ana melalui celah-celah pori-porinya. Jika diamati sih pori-porinya terbuka dengan bulu kuduknya yang berdiri. Ana berusaha menahan sakit agar dirinya tidak pingsan lagi. Dia hanya tidak ingin melihat orang yang berada di rumahnya panik, apalagi saat ini tidak ada satu pun keluarganya, hanya ada asisten rumah tangga dan sopir pribadi. Nah, kalau keadaan Ana semakin terlihat buruk, maka nanti yang ada malah keributan di antara mereka.
"Ana, apanya yang sakit, bilang sama Bibi biar nanti Bibi tolongin," ucap Bibi Sanah.
"Ana nggak apa-apa kok, Bi. Minta tolong buatkan teh hangat saja, Ana haus," pinta Ana.
"Iya, Ana, tunggu sebentar ya."
Bibi Sanah langsung jalan menuju ke dapur untuk membuatkan teh hangat sesuai dengan permintaan Ana. Dia benar-benar panik melihat keadaan Ana yang terlihat lemas dan pucat. Dia tidak ingin kalau terjadi hal buruk kepada Ana karena dia sangat yakin bahwa nantinya yang sedih bukan hanya dirinya saja, kemungkinan kedua orang tuanya akan benar-benar terpuruk jika mendengar kenyataan tersebut.
Tak lama kemudian Bibi Sanah pun datang dengan membawa secangkir teh hangat sesuai permintaan Ana. Dia meletakkan minuman tersebut di atas meja, kemudian membantu Ana bangun. Jari-jari tangan kanannya menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah Ana. Kedua orang tua Ana memang terkadang sibuk, sehingga Bibi Sanah telah dipercaya oleh mereka untuk bisa membantu mengurus keperluan Ana. Oleh karena itu, Bibi Sanah sudah menganggap Ana seperti anaknya sendiri. Hitung-hitung tidak pernah berjumpa dengan anaknya yang berada di kampung karena terpisahkan oleh jarak. Andai saja bukan karena tuntutan kebutuhan, maka kemungkinan bahwa Bibi Sanah tidak akan rela pergi ke luar kota hanya demi sesuap nasi untuk keluarganya. Sebab, suami Bibi Sanah itu sudah meninggal, sedangkan anaknya dititipkan kedua orang tuanya agar dirinya bisa kerja keras demi sesuap nasi. Dia benar-benar harus kuat dan juga sabar dalam menghadapi setiap tantangan, cobaan, dan rintangan yang tidak cukup mudah. Semua hal yang dirinya jalani butuh keikhlasan dan juga kesabaran.
"Ini diminum dulu teh nya," kata Bibi Sanah menyodorkan teh hangat tersebut di depan wajah Ana.
Ana pun menerimanya, lalu berkata, "Terima kasih, Bi."
"Sama-sama," sahut Bibi Sanah ketika menerima cangkir gelas tadi. Dia menatap Ana dalam untuk mencari sesuatu yang aneh karena dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan, terlihat dari kedua sorot mata Ana. Apalagi Ana itu jarang sekali ngelamun. Dia tidak akan pernah melakukan hal-hal aneh yang cukup membuatnya merasa tertekan, sedangkan sekarang wajahnya terlihat seperti orang yang banyak pikiran.
Bibi Sanah menghela napas dan dia juga tidak tahu lagi apa yang harus dirinya lakukan selain merayu agar membuat Ana merasa nyaman. Dia pun mengelus puncak rambut Ana, perlakuannya itu mirip seperti anak sendiri. Sekalipun Ana tidak pernah dibentak oleh Bibi Sanah, meskipun Ana sangat rewel dan minta yang aneh-aneh. Melihat Ana sama halnya seperti melihat anaknya sendiri. Sudah beberapa tahun dirinya tidak pulang kampung. Sebenarnya sih Bibi Sanah ingin mengajak anaknya bekerja, akan tetapi dia khawatir kalau anaknya akan sering berbuat kericuhan. Namanya juga anak kecil. Dia sadar bahwa pikiran anak kecil itu tidak seperti pikiran orang dewasa. Dia seringkali merasa sedih ketika ada seseorang yang berusaha untuk membuat dirinya merasakan kesedihan, baik itu sengaja maupun tidak sengaja.
"Ana, kalau kamu ada masalah bisa cerita sama Bibi kok," ucap Bibi.
"Ana nggak apa-apa, Bi."
"Bibi tahu bagaimana karakter kamu dan kamu nggak bisa membohongi Bibi, meskipun Bibi bukan dari keluarga kamu, akan tetapi Bibi bisa merasakan mana yang baik-baik saja dan mana pula yang tidak. Jadi, Bibi mohon kamu jangan membohongi diri kamu sendiri. Kamu tahu kan kalau sebuah kebohongan itu sangat menyakitkan."
"Iya, Ana tahu itu kok, Ana cuma ada sedikit masalah saja dan rasanya nggak masuk akal. Kalaupun Ana cerita, pasti Bibi nggak akan percaya."
Kedua alis Bibi Sanah mengernyit. "Nggak akan percaya? Kenapa kamu bilang seperti itu? Coba saja cerita dulu, siapa tahu Bibi bisa bantu kamu."
"Ini persoalan makhluk ghaib, Bi, sulit buat dipercaya," kata Ana.
"Nggak seperti itu juga kok. Coba cerita saja dulu, siapa tahu Bibi tahu akan hal itu."
"Ana juga masih bingung mau cerita dari mana dulu karena banyak sekali hal aneh yang menimpa diri Ana. Mana tadi kata kakak kelas bilang hanya karena Ana memiliki aura keturunan orang Jawa. Heran banget deh, Bi," ujar Ana menceritakan apa yang membuatnya merasa seperti ada yang mengganjal. Mau bagaimanapun keadaannya, yang namanya mengganjal itu tetaplah mengganjal, mau diselesaikan bagaimanapun caranya jika belum puas juga akan sedikit terasa aneh.
Semakin tumbuh usia, maka semakin aneh pula hal-hal yang menimpa diri Ana. Kejadian aneh yang tidak masuk akal itu seringkali menimpa dirinya. Bahkan beberapa kali Ana juga merasa tidak kuat hingga membuat dirinya pingsan. Aneh sekali, akan tetapi memang hal aneh itulah yang terjadi. Ana juga tidak tahu pasti apa yang membuat dirinya menjadi orang aneh seperti ini. Padahal sebelumnya dia baik-baik saja. Lebih tepatnya setelah usianya menginjak umur 15 tahun mulai terjadi hal-hal aneh, bahkan hampir saja membuat Ana gila karena sudah merasa tak sanggup lagi.
"Coba ceritakan apa yang paling aneh saja," pinta Bibi Sanah.
"Hm, kalau menurut Ana sih pas bagian kakak kelas ghaib yang sepertinya sangat membenci Ana, padahal sedikitpun Ana nggak mengusik kehidupan dia," jelas Ana.
"Mungkin dia tahu kalau kamu bisa melihat dia, sehingga dia sedikit terganggu ketika ada manusia yang melihat kondisinya. Kalau yang sering Bibi baca di cerita-cerita sih seperti itu, tapi soal benar atau salah maka Bibi nggak terlalu tahu hal itu. Beberapa kali memang ada yang pernah terjadi dan ada pula yang tidak. Namun, jika dipikir secara logika maka kesannya seperti tidak sengaja saja."
"Iya juga ya, tadi hampir saja aku mau mati, Bi."
"Apa? Mati? Kenapa bisa seperti itu?"
"Aku nggak tahu, Bi, karena yang jelas makhluk ghaib tersebut sempat mencekik leher Ana, untuk saja teman-teman Ana sangat menjaga Ana. Andai kalau tidak maka sampai saat ini pun Ana tidak tahu apa yang harus Ana lakukan. Apalagi kalau sampai membuat kedua orang tua Ana merasa khawatir."
"Kok bisa ngeri banget gitu? Bibi merasa juga ada yang aneh."
"Bukan merasa lagi Bibi, tapi memang iya."
"Hehehe iya ya, Na. Bibi baru sadar akan hal itu."
"Bibi mah sukanya gitu."
"Aku nggak tahu kenapa diriku jadi aneh gini, Bi. Aku ingin sekali merasakan kehidupan tenang seperti dahulu."
"Bagaimana kalau kita ke dukun saja, Na. Siapa tahu bisa bantuin masalah kamu."
"Ya kali ke dukun, memangnya mau ngapain, Bi? Bibi pikirannya aneh-aneh saja deh."
"Ya kan siapa tahu bisa membantu menyelesaikan kasus kamu itu karena Bibi nggak tahu yang tentang hal ghaib. Melihatnya saja amit-amit jabang kebo, intinya jangan sampai deh. Bibi nggak sanggup melihat mereka, cukup dengar cerita dari orang-orang saja deh."
"Ya Ana juga maunya gitu, Bi. Bayangkan saja ketika Ana lagi di jalan tiba-tiba melihat orang yang tak kasat mata. Terkadang Ana tuh nggak bisa membedakan mana yang manusia dan mana yang hantu. Makanya saat ini Ana jadi seperti ini."
"Loh Kenapa gitu, Na? Bukannya beberapa orang ada yang menginginkan punya kelebihan seperti kamu itu?" Tanya Bibi Sanah cukup bingung karena setahu dirinya kalau ada orang yang bisa melihat alam ghaib maka artinya orang tersebut juga bisa tahu bagaimana keadaan buruk yang akan terjadi. Hal itu dia anggap sebagai keberuntungan karena setidaknya orang tersebut bisa jaga-jaga sebelum hal buruk terjadi.
"Bibi mah kebanyakan nonton film fantasi jadinya ngawur gitu. Iya sih memang suatu kelebihan karena tidak semua orang bisa, tapi kembali lagi kepada diri sendiri bahwasanya kuat atau tidak. Kalau tidak kuat ya jangan ditanyakan lagi, bisa-bisa nanti berakhir gila," jawab Ana.
"Jadi, pada intinya kamu kuat atau tidak?"
"Tengah-tengah, Bi, tapi terkadang aku mikir saja sih, masa iya seorang Ana jadi gila. Apa kata orang nantinya? Viral banget mungkin ya."
"Kalau mau viral ya hal yang membanggakan dong Ana, bukan hal aneh seperti itu. Kamu tuh sukanya berpikir aneh, heran deh."
"Ana cuma tertular virusnya Bibi, buktinya tadi saja Bibi berpikir aneh kan? Gara-gara hal macam itu saja mau dibawa ke dukun."
"Bibi pula yang kena, kamu tuh memang nyebelin banget."
"Ya kan Ana nyebelin seperti ini juga karena sedikit tertular dari Bibi. Terkadang kan Bibi suka godain aku kalau lagi kerja kelompok di rumah sama temen cowok, huft!"
Jari kanan Bibi Sanah pun menusuk pelan pipi Ana. "Jadi gimana? Tapi suka kan?"
"Suka apa?"
"Itu loh, masa pura-pura nggak tahu gitu. Memangnya sekarang dia apa kabar?"
"Bibi ngomong apa sih? Ana nggak tahu apa yang dimaksud Bibi. Gemas deh, jadi ingin cubit lengan Bibi. Untung aku tuh orangnya sabar dan tidak sombong."
"Itu loh, suka sama si anu. Bibi tahu kok kalau kamu suka salah tingkah."
"Bibi!" Rengek Ana sambil bergelayut manja di tangan Bibi Sanah.