Part 15

1705 Kata
"Ada apa, Ana?" Tanya Bibi Sanah sambil cengengesan. Dia memang terkadang sedikit suka menggoda Ana karena menurutnya Ana itu masih seperti anak kecil yang suka salah tingkah. Bisa dibilang sih imut dan menggemaskan. Terkadang saja dia tidak tahu pasti apa yang membuat dirinya berperilaku seperti itu, dulu sih awalannya karena iseng saja, akan tetapi lama kelamaan malah menjadi hal candu bagi dirinya. Sesekali Bibi Sanah mengelus puncak kepala Ana agar dirinya sedikit merasakan kenyamanan. Hanya cara seperti itulah dirinya bisa melampiaskan rasa kangennya kepada anaknya yang kini terpisahkan oleh jarak. Selain itu, memang kebetulan bahwa anak Bibi Sanah adalah seorang perempuan yang kuat dan dia merasa bahwa beberapa sifat ajaknya banyak yang mirip dengan kepribadian Ana. Beberapa kali Bibi Sanah membayangkan nasib dirinya jika tidak ada Ana, entahlah akan bagaimana perasaannya yang setiap waktu akan selalu membuat dirinya sedih karena kepikiran anaknya terus. Mau sejauh apa pun jarak, kalau yang namanya darah daging sendiri maka akan terasa sangat dekat. Hanya senyum tipis dan kecut yang bisa Bibi Sanah lakukan ketika sadar memikirkan hal itu. Bisa dikatakan sih kalau dia itu benar-benar bahagia dengan kehidupan bersama keluarga sendiri, apa pun itu keadaannya. Keluarganya memang dari keluarga yang pas-pasan, makan enak pun paling seminggu sekali atau bahwa dua minggu sekali. Semua itu tergantung dengan pemasukan, sehingga gaya hidup pun harus bisa menyesuaikan. Banyak gaya hanya membuat seseorang semakin memiliki rasa gengsi yang tinggi. Masih mending kalau cukup itu saja, terkadang sih malah ada beberapa yang sampai terlena hingga lupa segalanya. Makan enak adalah sebuah hal yang paling Bibi Sanah syukuri. Semenjak menjadi asisten rumah tangga dan juga ikut merawat Ana, Bibi Sanah seringkali makan makanan yang enak, lebih tepatnya sih seringkali memenuhi lima sehat empat sempurna. Di saat mendapatkan makanan yang enak, dia malah kepikiran anak dan kedua orang tuanya yang berada di kampung membayangkan lauk apa yang dimakan oleh mereka. Bahkan jika tidak kuat saja Bibi Sanah akan menitikkan air mata karena tak kuasa membendung segala rasa dan luka yang telah bercampur, hingga Bibi Sanah pun bingung atas apa yang dirasakannya. Kali ini mereka berdua saling menatap seperti mencari sesuatu dari kedua sorot matanya. Bibir mereka berdua tercetak sebuah senyuman tipis. Ana pun menyipitkan kedua matanya. "Kenapa Bibi melihat Ana gitu? Pasti Bibi lagi kepo sama Ana ya?" Tuduh Ana semakin menajamkan tatapannya dengan cara semakin menyipitkan kedua matanya. Bukannya menjawab, Bibi Sanah malah balik bertanya, "Kenapa apanya, Ana?" "Ya nggak gimana-gimana, tapi Bibi lihatin Ana nya gitu banget. Ana yakin kalau Bibi pasti penasaran banget sama Ana." "Oh kalau itu jelas penasaran. Anak seusia kamu belum mengenal cinta, rasanya wow banget." "Apaan sih cinta-cintaan, sekolah dulu yang benar terus bahagiain orang tua. Ana mau fokus sekolah dulu, biar cita-cita Ana bisa tercapai. Bibi pikirannya nggak usah aneh-aneh deh." "Ana, kamu itu gemesin banget sih." "Sudah dari dulu kali, Bi. Dari dulu kemana saja? Kenapa baru nyadar kalau Ana gemesin banget." "Ya Bibi di rumah saja lah, Ana, bersih-bersih dan mengurus rumah. Paling kalau keluar ya ke pasar buat beli kebutuhan." "Iya juga ya, Bi. Nah terus kenapa Bibi ngeliatin Ana seperti itu? Apakah ada yang salah dari diri Ana? Kalau ada, Ana mau minta maaf." "Ada kok, Ana." "Loh, memangnya kesalahan Ana apa, Bi?" "Wajah kamu itu seringkali mengingatkan Bibi kepada anak Bibi yang berada di kampung. Bibi kangen banget sama dia, hanya setahun sekali Bibi pulang ke rumah." "Oh yang Bibi pernah cerita sama Ana itu?" "Iya, Ana. Sebenarnya Bibi nggak ingin seperti ini terus, akan tetapi keadaan menuntut Bibi untuk bisa seperti ini. Realistis saja bahwa hidup itu butuh makan." "Iya juga sih, Bi. Kalau seperti itu, anak Bibi diajak ke sini saja, tinggal di sini sekalian sama Bibi." "Mana bisa Ana, Bibi di sini kan kerja, lagian anak Bibi tuh masih kecil, sangat nggak mungkin kalau dibawa ke sini, nanti yang ada malah bikin ribet saja." "Iya juga ya, Bi." Bibi Sanah kembali tersenyum menatap Ana, dia benar-benar sangat menyayangi Ana. Melihat kondisi Ana yang seperti saat ini cukup menampar hatinya, apalagi kalau melihat Ana benar-benar sakit, bisa membuatnya meneteskan air mata. Selama ini, Bibi Sanah hanya memendamnya sendirian tanpa memberitahu kepada siapapun itu mengenai kondisi hatinya. Kedua mata Bibi Sanah kembali menatap wajah Ana secara inti. Kedua alisnya mengerut dengan dahinya membentuk gelombang-gelombang kecil, kemudian di menyipitkan kedua matanya untuk mencari tahu apa yang sedang dirasakan oleh Ana. Namanya juga orang yang ikut campur dalam mengurus dan merawat Ana, tentunya dia jug tahu mengenai Ana, baik ketika Ana sedih maupun senang. Dia sudah berjanji kepada dirinya sendiri akan selalu ada buat Ana selama dirinya mampu mengenai hal ini. Bisa dibilang cukup aneh dan ribet, akan tetapi mau bagaimana lagi jika hal itu membuat ketentuan. "Bibi kenapa?" "Nggak apa-apa kok. Bibi cuma heran saja sama raut wajah kamu." "Kenapa heran?" Tanya Ana masih tidak percaya atas apa yang menimpa dirinya. Dia pun membalikkan badan dan sangat terkejut ketika tahu bahwa Bibi Sanah masih tetap memperhatikan dirinya, hanya dengan cara itulah bukti bahwa And juga menyukai dan sayang kepada Bibi Sanah. "Wajah kamu terlihat pucat, pasti masih kepikiran sama masalah ya? Kamu tuh butuh waktu untuk istirahat, Ana. Kamu harus ingat bahwa kesehatan itu bukan hal yang murah. Ya memang terlihat sepele, akan tetapi banyak sekali orang yang lupa akan kesehatannya demi mendapatkan apa yang dirinya suka. Bisa dikatakan bahwa dirinya sedikit memaksakan diri untuk bisa menjaga apa yang seharusnya dirinya tidak lakukan. Kalau malu sih iya, akan tetapi kesehatan adalah hal yang paling utama di kampus. Beda dengan beberapa orang yang memang sengaja melakukan hal itu yang sudah sesuai dengan rencana. Kalau orang biasa sih kemungkinan besar tidak memiliki rencana ke depannya. Selama masih sehat maka mereka masih akan tetap oke saja. Beda lagi respon orang yang lagi sakit karena satu harapan utama bagi orang yang sedang sakit adalah sebuah kesembuhan. "Ana nggak apa-apa, Bibi." "Jangan bohongi Bibi, Ana, Bibi bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Sekarang kita selesaikan secara bersama-sama mengenai masalah ini. Kamu minum obat dulu ya, kesehatan kamu yang paling utama. Bibi juga nggak ingin dimarahi sama Mama dan Papa kamu hanya karena hal ini," jelas Bibi Sanah. Ana pun menghela napas dan awalnya Disa sedikit memalingkan muka karena tahu bahwa sekarang dirinya harus minum obat lalu istirahat. Memang benar sih semenjak tadi dirinya sedikit merasa pusing dengan penuh pikiran yang menuntutnya untuk bisa seperti rencana maupun tuntutan kebutuhan yang berkaitan dengan keadaan. Ya memang sih awalnya cukup menyakitkan, akan tetapi Ana juga ingin melakukan sesuatu baru. Dia jenuh dengan hal-hal yang sudah seringkali dirinya lakukan. Saat ini, dia hanya ingin sebuah tantangan baru. Hanya dengan tantangan baru membuat dirinya terlihat bahagia karena tantangan itulah secara tidak langsung memicu timbulnya banyak orang yang semakin semangat. "Tapi kan cuma seperti ini saja, Bi. Beneran deh kalau sebenarnya Ana nggak mau mempermasalahkan hal ini, Ana hanya nggak pakai lipstik. Jadi, ya seperti ini." "Sudah ya kamu jangan ngeyel, lebih baik makan, minum, terus istirahat." "Hm, ya sudah deh kalau seperti itu." "Sebentar ya biar Bibi ambilkan dulu. Oh, atau kamu nunggu di kamar saja, Na? Nanti biar Bibi bawa makanannya ke sana." "Ah nggak usah, Bi, kamar kan buat tidur, bukan buat makan. Nanti yang ada kamar Ana jadi bau masakan, kan di dalamnya ada AC, Bi." "Oh iya ya. Hm, kalau gitu Bibi ambilkan sekarang. Kamu tunggu di sini saja." "Siap, Bibi," sahut Ana dengan tangannya hormat seperti upacara bendera. Setelah Bini Sanah pergi dari hadapannya, Ana pun kembali merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang berada di ruang tamu. Sebenarnya di ruang santai pun ada sofa panjang, hanya saja dia sudah terlanjur malas gerak untuk pindah posisi tempat duduk. Lagian badannya masih saja terasa lemas. Buktinya saja tadi saat berjalan kepala pusing dengan pandangannya sedikit kabur dan bergerak-gerak, lebih tepatnya seperti orang yang sedang terbang melayang. Ana juga tidak tahu mengapa hal itu terjadi kepada dirinya, padahal yang selama ini yang dirinya tidak pernah merasakan hal tadi. Rasanya cukup berat dan sulit dimengerti. Selain itu, dia juga semakin merasakan hal aneh. Tubuhnya benar-benar pegal seperti ada yang menindihnya. Lebih tepatnya di bagian kedua kaki. "Hari ini aku kenapa sih?" Tanya Ana kepada dirinya sendiri sambil mengacak rambutnya frustasi. Kini rambut Ana jadi terlihat berantakan dan hal itu bukan akhir dari segalanya, Ana malah sekarang merasakan bagian tangannya seperti ada yang menusuk menggunakan jarum. Menurut Ana, apa yang dirasakannya sekarang seperti orang yang sedang menghalu tanpa tahu kepastian yang jelas karena apa yang dirinya rasakan itu tidak ada barang yang membuatnya sakit, semua terlihat baik-baik saja. "Ah gila, kalau seperti ini caranya lama-lama aku bisa gila!" Pekik Ana kembali mengacak rambutnya frustasi. Kini tatapan Ana beralih ke arah langit-langit rumah. Dia memikirkan bagaimana nasib dirinya jika rasa sakit ini terus menyerang. Ana tidak tahu harus melakukan apa karena dirinya tidak paham apa yang terjadi pada saat ini. Andai saja ada nenek dan kakeknya, pasti Ana akan ditolong oleh mereka. Hanya saja sekarang nenek dan kakeknya sedang pulang kampung di mana tempat tinggal mereka yang sebelumnya. Tin… Tin… Suara klakson mobil yang berhenti di halaman rumah Ana. Biasanya sih kalau Ana itu akan miliki rasa ingin tahu tinggi, terutama untuk mengetahui siapa yang datang. Namun, kali ini dia memutuskan untuk tetap rebahan saja. Jika orang tersebut adalah tamu, maka secepat mungkin Ana akan pindah, meskipun dengan kondisi kaki yang sedang sakit. "Ana!" Panggil seseorang yang berada di ambang pintu. Ana menatap ke arah sumber suara tersebut. "Loh Mama!" "Iya ini Mama pulang. Kenapa kamu sudah berada di rumah? Acaranya sudah selesai kah?" Tanya Arumi. "Belum sih, Ma, hanya saja Ana memilih untuk izin karena pusing banget," jawab Ana. "Terus kondisi kamu saat ini bagaimana? Apakah mau periksa saja biar Mama antar ke klinik. Mama nggak mau kalau kamu kenapa-napa." "Nggak usah, Ma. Ana mau minum obat yang ada di rumah dulu saja. Bentar lagi pasti datang, lagi diambilkan Bibi." "Terus kenapa kamu tidurnya di sini? Nanti kalau tiba-tiba ada tamu bagaimana?" "Ya maaf, Ma, Ana ngerasa lemas banget, mau jalan saja susah." "Pagi, Bu!" Sapa Bibi Sanah yang tiba-tiba datang membawa nampan yang berisi makanan, teh hangat, dan obat. "Pagi, Sanah!" Sahut Arumi. "Tumben Bu Arumi jam segini sudah pulang?" "Iya, kebetulan memang saya ingin libur saja karena tiba-tiba memiliki firasat nggak enak, eh ternyata rupanya Ana lagi sakit." Huek!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN