Part 16

1746 Kata
"Kamu kenapa, Ana?" Tanya Arumi panik. Dia meletakkan tas nya di sembarang tempat hanya untuk mendekati Ana yang sedang muntah-muntah. Beberapa isi perut Ana keluar mengotori lantai. Bukannya Arumi marah, dia malah merasa sangat khawatir. Tubuhnya saja sedikit bergetar karena bingung harus berbuat apa ketika dirinya sudah tidak mampu dan tidak tahu lagi dalam menangani Ana yang benar-benar lemas. Keadaan panik cukup membuatnya sulit untuk berpikir, meskipun jika dalam keadaan biasa saja dia masih bisa berpikir jernih. Andai saja di rumah ada suaminya, biasanya Arumi akan meminta tolong suaminya untuk mengurus Ana. Ikut panik membuat Arumi berkeringat dingin. Jika seperti ini, dia hanya bisa menangis sesenggukan karena otaknya dipenuhi rasa takut, bingung, dan bimbang. Kedua matanya juga sudah berkaca-kaca hingga air matanya pun berhasil lolos membasahi kedua pipi karena dia suka tidak kuat untuk membendungnya. Ketika menahan tangis membuat d**a Arumi menahan sesak, akan tetapi hal tersebut tidak dia rasa karena rasa khawatir kepada anaknya lebih mendominasi. Saat ini tubuh Ana benar-benar lemas seperti sudah tidak kuat menahan beban tubuhnya sendiri. Berdiri dengan kedua kaki menopang tubuhnya sendiri saja cukup sulit. Entahlah apa yang membuat dirinya seperti ini hingga membuat orang-orang disekitarnya merasa khawatir. Bukan hanya Arumi saja, melainkan Bibi Sanah yang juga sangat ketakutan melihat kondisi Ana yang semakin tak berdaya. Dia langsung berlari menuju ke halaman rumah untuk meminta tolong Pak Tarjo, yaitu sopir pribadi keluarga Arumi. Di saat sampai di halaman depan, napasnya tersenggal-senggal karena sudah tidak kuat dengan debaran jantung yang pacuannya cukup cepat. "Ada apa, Sanah? Kenapa kamu terlihat tergesa-gesa seperti itu?" Tanya Pak Tarjo mendekati Bibi Sanah. Jari telunjuk Bibi Sanah menuju ke arah dalam rumah, akan tetapi bibirnya masih bungkam karena cukup sulit untuk digerakkan. Beberapa kali Bibi Sanah sudah mencobanya, memanglah cukup susah. Rasanya seperti ada beban yang menggantung pada bibir Ana atau bahkan mulutnya seperti tertutup rapat karena terkena lem. "Ada apa?!" Pak Tarjo mendesak Bibi Sanah agar memberikan jawaban yang tepat karena tidak biasanya Bibi Sanah terlihat panik. Apalagi hal ini yang membuat dirinya agak sedikit merasa curiga, dia juga memiliki feeling yang membuat pikirannya kacau. Masih saja belum mendapatkan jawaban membuat Pak Tarjo sedikit kesal. Dia mendekati Bibi Sanah lalu mengguncangkan kedua bahunya. "Apa yang terjadi, Sanah?" Akhirnya Bibi Sanah pun berusaha untuk menjawab, meskipun terbata-bata. "I-itu, si Ana--" "Ana kenapa?!" Tukas Pak Tarjo. "Muntah-muntah," jawab Bibi Sanah. Dia bernapas lega karena akhirnya dirinya bisa mengungkapkan apa yang tadi dia lihat. Pak Tarjo melangkahkan kaki menuju ke dalam rumah untuk memastikan kondisi Ana. Benar, ternyata apa yang dikatakan Bini Sanah itu sesuai dengan fakta. Kini Pak Tarjo berdiri termenung di ambang pintu melihat majikannya sedang menangis karena anaknya tak sadarkan diri. Melihat hal itu membuat harinya sedikit teriris karena mengingat kejadian yang sebelumnya membuatnya cukup trauma. Bugh! Suara pukulan yang mendarat di punggung Pak Tarjo. Orang yang melakukannya adalah Bibi Sanah, dia gemas karena melihat Pak Tarjo yang malah bengong, padahal di depannya itu jelas-jelas ada orang yang mau minta tolong, lebih tepatnya majikannya. Pukulan tersebut cukup keras hingga membuat wajah Pak Tarjo seperti menahan rasa sakit, tepatnya seperti membentuk gelombang-gelombang kecil di bagian dahi. Reflek tangan kanannya pun mengusap pukulan tersebut, meskipun sebenarnya tidak sampai pada tepat pukulan tadi. Setidaknya hal itu merupakan respon yang biasa disebut sebagai peka terhadap rangsang. "Kenapa malah di sini sih? Itu tolongin Ana, kasihan Bu Arumi nya sedih dan panik!" Suruh Bibi Sanah sedikit mendorong tubuh Pak Tarjo hingga membuatnya cukup oleng. Untung saja Pak Tarjo bisa mengimbangi tubuhnya, jika tidak maka akan ada kemungkinan bahwa dirinya akan jatuh tersungkur di atas lantai. "Hah?" "Kok malah hah, itu tolongin Ana dan Bu Arumi!" Sentak Biniy Sanah. Pak Tarjo baru sadar akan melamunnya. Dia segera menghampiri Ana dan Bu Arumi. "Kita bawa ke klinik terdekat saja, Bu, atau ke rumah sakit?" Tanya Pak Tarjo ketika mensejajarkan tinggi Arumi, lebih tepatnya dengan cara dia jongkok di samping Arumi. "Baik, Bu." Pak Tarjo mengangkat tubuh Ana yang mungil menuju ke dalam mobil, diikuti Arumi yang berada di belakangnya. Saat sampai di halaman rumah, ternyata sudah ada Bibi Sanah yang membukakan pintu mobil. Sesegera mungkin Pak Tarjo masuk ke dalam mobil di bagian penumpang. "Kita berangkat sekarang ya, Pak!" Pinta Arumi ketika sudah duduk di samping Ana. Setelah itu, dia menatap Bibi Sanah. "Sanah, kamu jagain rumah ya, do'a kan Ana agar baik-baik saja." "Iya, Bu, hati-hati di jalan ya, semoga sampai tujuan dengan selamat dan Ana baik-baik saja." "Terima kasih atas do'a nya Sanah. Sekarang kita mau berangkat." "Pak Tarjo nyetir mobilnya jangan ngebut-ngebut ya." "Oke." Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang, mau sepanik apa pun keadaannya, Pak Tarjo harus terus memikirkan keselamatan karena dia sadar bahwa nyawanya hanya satu, bukan bisa digandakan seperti halnya game yang ada di dalam handphone maupun PS. Beberapa pun ada kendaraan lain yang membunyikan klakson karena ingin menyalip mobil yang dikendarai Pak Tarjo. Namanya juga dalam perjalanan, masalah tikungan dan menyalip itu sudah menjadi hal yang biasa. Hanya saja bagaimana seseorang dalam mematuhi peraturan lalu lintas, karena beberapa orang juga merasakan aneh dan juga hal yang tanpa diduga ketika berada di jalan, entah itu kebaikan ataupun keburukan. Kedua sorot mata Pak Tarjo menatap tajam ke arah sebuah keramaian yang ada di jalan. Ketika jaraknya sudah dekat, dia baru sadar bahwa ternyata ada kecelakaan yang membuat jalanan menjadi agak macet karena yang kecelakaan itu antara truk dan mobil yang tentunya membutuhkan banyak jalan untuk berkendara, beda lagi kalau kendaraan motor yang hanya memiliki dua roda saja, sehingga jalanan pun tidak banyak terpakai. Pak Tarjo menghela napas, mau tidak mau dia harus bersabar menunggu jalanan agak longgar. Lagi pula dia juga sedikit penasaran mengenai penyebab kecelakaan tersebut. Dia melihat beberapa darah segar yang berceceran di jalan dan beberapa body mobil sekaligus truk yang berserakan di jalanan. "Pak, jalannya macet banget ya?" Tanya Arumi cukup gelisah melihat jalanan yang padat pengendara. Dia semakin panik melihat kondisi Ana yang semakin pucat. Melihat beberapa pengendara motor yang bisa menyelinap kendaraan lain membuat Arumi cukup heran dan kecewa. Dia berandai-andai ketika dirinya berada di dalam posisi pengendara tersebut maka Ana akan cepat sampai di klinik. Namun, dia juga sadar diri bahwa memaksakan keadaan itu cukup sulit untuk dilaksanakan, apalagi postur tubuh Ana itu sudah bukan anak kecil lagi, sehingga kecil kemungkinan jika mereka akan bontri, yaitu bontong tiga. "Lumayan, Bu. Ana nya bagaimana, Bu?" "Ya seperti ini, Pak. Ana semakin pucat dan aku nggak tahu lagi harus berbuat apa agar masalah ini berakhir. Kamu juga tahu kan kalau Ana itu orangnya bagaimana dan di hanya satu-satunya anak ku. Aku nggak ingin kamu kenapa-napa," jelas Arumi sambil menatap dengan tangan kanannya membelai pipi kanan Ana. Rasa sayangnya Arumi kepada Ana itu tiada tanding. Dia lebih mengutamakan Ana dari segala hal segalanya tanpa melihat status dan keadaan. Jika ada sesuatu yang lebih penting maka dia akan respon baik. Bayangkan saja, dengan anaknya sendiri saja masa sayang banget, apalagi dengan pasangannya. Itulah beberapa hal yang seringkali diminati oleh banyak orang, kebahagiaan dalam sebuah hubungan, khususnya dalam lingkungan keluarga. Sebenarnya bahagia itu mudah kok, hidup dengan cara sederhana dengan penuh kasih sayang. Itulah prinsip yang menjadi keinginan setiap orang karena keharmonisan itu seringkali membuat seseorang menjadi merasa nyaman. Dibandingkan dengan beberapa orang yang hanya suka ada maunya saja atau bahkan dengan cara sikapnya yang masa bodoh. Hal itu jika dijadikan sebagai kebiasaan maka kemungkinan besar berakibat fatal. Oleh karena itu, Arumi seringkali mengajarkan Ana untuk menjadi anak yang kuat, meskipun dia adalah anak tunggal. Lagian hidup itu kan ada kalanya menjadi orang yang serius dan ada pula kalanya menjadi orang yang humoris. Hidup itu tidak usah dibuat pusing karena yang pusing itulah yang seringkali membuat orang mudah putus asa dan frustasi. Masih mending kalau masih normal, hanya saja dia tidak ingin kalau ada hal itu menjadi semakin aneh. "Semoga bisa cepat keluar dari sini ya, Bu." "Iya semoga. Memangnya benar ada kecelakaan, Pak?" Tanya Arumi menatap segerombolan orang yang berada di luar mobil. Beberapa ada yang merekam dan juga hanya sebatas nonton saja. Maklumlah namanya juga zaman modern yang segala sesuatunya dibuat menjadi serba teknologi yang canggih. Bahkan bisa dikatakan seperti robot sih. "Kemungkinan sih gitu, coba saja lihat arah mobil yang berlawanan terus kondisinya hancur." "Iya juga ya." "Tuh jalannya sudah terlihat cukup longgar. Kita lanjutkan perjalanan ya, Pak." "Siap, Bu, saya naikkan lagi kecepatannya ya biar cepat sampai tujuan." "Nggak usah, Pak, nyawa kita hanya ada satu, meskipun umur nggak ada yang tahu, tapi kan setidaknya berhati-hati lah dalam bertindak. Lebih baik mencegah, daripada mengobati. Masih mending kalau dalam hal mengobati, nah coba kalau menutup usia. Aku nggak mau ya, Pak, karena aku belum siap. Di sini kita hidup di dunia nyata, bukan di dunia game." "Oh iya, Bu, maaf ya." "Iya, Pak, nggak apa-apa, yang penting sekarang fokus menyetir saja." "Iya, Bu." Akhirnya Pak Tarjo pun melajukan mobilnya dengan kecepatan yang cukup santai. Dia sangat fokus menyetir karena setelah dinasehati Arumi jadi sadar bahwa sekarang ini dirinya membawa dua nyawa, yaitu kedua majikannya. Pak Tarjo sangat bersyukur karena diperlukan baik dan sopan oleh majikannya, meskipun dirinya hanyalah sebatas sopir pribadi. Hanya kerja di keluarga Arumi lah Pak Tarjo mendapatkan penghormatan tanpa melihat kedudukan maupun kasta, bahkan bisa dikatakan bahwa dirinya sudah terlalu nyaman dengan keadaannya sekarang. Tak lama kemudian, mereka bertiga telah sampai di tempat tujuan. Mereka segera turun dari mobil dengan Pak Tarjo menggendong Ana yang masih belum sadarkan diri. Dia segera melangkahkan kaki menuju ke dalam klinik diikuti Arumi yang berada di belakangnya. "Suster tolong saya!" Teriak Pak Tarjo ketika melihat perawat yang baru saja keluar dari ruangan. Perawat tersebut datang dengan cekatan membantu Pak Tarjo. Dia membukakan sebuah ruangan periksa yang di dalamnya sudah ada dokter. Bisa dikatakan klinik kesehatannya cukup besar sih, sehingga pasiennya pun cukup banyak. Ana langsung ditangani karena petugas di klinik tersebut banyak yang mengenal Arumi, bisa dikatakan bahwa Arumi berpengaruh dalam klinik tersebut. "Dokter Arini, tolong bantuin anak saya!" Pinta Arumi. "Iya, Bu, tunggu sebentar ya, Bu Arumi nggak usah panik." Dokter Arini pun langsung memeriksa kondisi Ana. "Kondisi Ana baik-baik saja, Bu. Hanya saja dia kurang istirahat yang membuat kondisinya kurang darah, bisa dikatakan darah rendah. Banyakin istirahat dan jangan terlalu banyak berpikir ya." "Iya, Bu, terima kasih sudah membantu anak saya." "Oh iya, Bu, perlu saya ingatkan kembali bahwa kondisi Ana itu rentang sakit. Oleh karena itu, Ana harus jaga pola hidup sehat, entah itu dari lingkungan maupun makanan," jelas Dokter Arini. "Kenapa Ana akhir-akhir seperti ini, Dok? Setelah umur lima belas tahun, dia banyak mengalami perubahan yang bahkan tidak masuk akal."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN