Part 17

1706 Kata
"Dia terlalu banyak pikiran, sehingga kurang istirahat. Coba nanti Bu Arumi lebih perhatikan lagi kegiatan Ana, terutama kegiatan apa yang membuatnya kecapekan. Saya yakin kok bahwa Ana itu kuat, dia mudah sakit ketika imunnya melemah," jelas Dokter Arini. Dia adalah dokter yang sangat ramah, ketika menyuntik pun sangat hati-hati, sehingga tidak meninggalkan bekas sakit maupun pegal. Banyak pasien yang menyukai dia, bahkan dari kalangan anak kecil pun sangat menyukainya. Pelayanan yang baik memang pasti mendapatkan hasil yang maksimal. Seorang dokter yang ramah tentunya pasiennya pun banyak. Setiap orang pasti ingin diperlakukan baik-baik, apalagi pasien itu dalam kondisi sedang kurang sehat. Merasakan sakit biasanya membuat seseorang lemas. Di saat seperti itulah setiap orang ingin diperhatikan dengan baik-baik. Apalagi tutur kata Dokter Arini sangat tertata dan juga sangat halus. Dari beberapa dokter yang bekerja di klinik Teratai hanya Dokter Arini lah yang paling memiliki kesabaran dan ramah. Senyumannya itu seringkali tak luput dari bibirnya karena disaat ada pasien yang masuk ke dalam ruangan dia pasti senyum kepada pasien tersebut. Arumi menghela napas sambil memandangi putri semata wayangnya yang tidak berdaya. Hatinya hancur karena melihat separuh jiwanya yang sedang merasakan sakit. Beberapa kali Ana memang sering pingsan, akan tetapi hal itu tidak membuat Arumi bisa tenang, malah dia semakin panik melihat kondisi putri semata wayangnya yang seringkali tak sadarkan diri. "Aku nggak tahu lagi Dok, aku seringkali merasa stres ketika melihat Ana tak berdaya seperti ini, hatiku sangat hancur," ujar Arumi dengan raut wajah sedih. Tidak dapat dipungkiri bahwa dia sangat menyayangi Ana. Rasa sayangnya itu tiada banding dengan apa pun. Hanya Ana lah orang yang paling dia sayang. "Saya tahu itu, Bu, apalagi Ana ini anak satu-satunya Bu Arumi. Oleh karena itu, Bu Arumi juga harus waspada terhadap pola hidup dia. Kondisinya yang seringkali mengalami imun rendah membutuhkan perhatian yang lebih." "Iya, Dok, aku akan memperhatikan Ana lebih dari biasanya. Sebenarnya ini juga salahku sih karena akhir-akhir ini aku sibuk dengan pekerjaan." Dokter Arini pun kembali tersenyum. Tangan kanannya memegang bahu kanan Arumi, lalu dia berkata, "Bu Arumi, saya tahu kok siapa ibu dan saya yakin bahwa Bu Arumi akan mengorbankan segala jiwa, raga, dan waktunya demi anak. Saya tahu bahwa Bu Arini orangnya sangat bertanggung jawab. Lagian kan kita sudah kenal sejak lama, Bu. Oleh karena itu, saya yakin bahwa Bu Arumi dan keluarga bisa melewati masa yang cukup menegangkan ini." "Iya, Dokter Arini, terima kasih atas kepercayaannya dan aku juga yakin kalau Dokter sangat baik dan ramah ketika melayani pasien. Oh iya, ngomong-ngomong jangan panggil menggunakan panggilan saya ya, kesannya seperti formal banget. Panggil saja menggunakan panggilan aku-kamu. Lagian kita kan sudah kenal lama, masa iya mau formal terus, nggak enak tahu. Kesannya aku merasa seperti gimana gitu." "Hehehe iya, Bu Arumi. Aku juga nggak tahu kalau mulut ini sukanya bilang saya-saya terus, mungkin karena sudah terbiasa dan lebih hormat saja," ujar Dokter Arini sambil menunjuk ke arah bibirnya. Sampai detik ini dia juga suka heran ketika dirinya menggunakan panggilan saya, meskipun itu dalam hal acara biasa, seperti halnya ketika nongkrong dengan teman-teman sebayanya. Beberapa kali temannya pun seringkali protes karena panggilan dari Dokter Arini sangatlah formal. Hal yang dia rasakan dan menganggap bahwa hal itu hanya karena dirinya lebih sering bertemu dengan pasien, sehingga bahasa yang dipakai pun seringkali bahasa formal untuk menghormati pasien. "Dokter Arini tuh kebiasaan." "Hehehe ya maaf." "Bu, ini obat-obatnya Ana ya, di sini sudah saya tuliskan aturannya dan ini vitamin harus dihabiskan untuk membantu imun tubuh Ana agar tidak mudah sakit. Ini obatnya diminum setelah makan semua ya." "Iya Dokter terima kasih." "Sama-sama," sahut Dokter Arini. Tak lama kemudian, jari-jari Ana bergerak dengan kedua matanya mengerjap berkali-kali untuk menetralkan cahaya yang masuk ke dalam ruangan. Arumi dan Pak Tarjo segera menghampiri Ana. Kini senyum di bibir Arumi pun kembali terbit. Dia sangat bahagia melihat ada perkembangan kondisi Ana. Tangan kanannya mengelus puncak kepala Ana dengan penuh kasih sayang. "Mama khawatir banget sama kamu sayang," ujar Arumi lalu mencium puncak kepala Ana. "Ma, Ana mau pulang ke rumah saja, Ana mau istirahat di rumah, bukan di sini," pinta Ana dengan suaranya masih serak. "Tapi kan kamu baru sadar dari pingsan, lebih baik kamu tiduran di sini dulu sebentar," saran Arumi dengan tangan kanannya yang terus mengelus puncak kepala putri tunggalnya dengan penuh kasih sayang. "Tapi aku inginnya pulang, Ma," rengek Ana manja. Hanya dengan rengekan tersebut hati Arumi akan mudah luluh. Dia tidak bisa menahan diri ketika melihat putri tunggalnya merengek, apalagi rengekan Ana itu tidak pernah dalam hal beli barang. Jika Ana merengek, biasanya sedang tidak enak badan. Oleh karena itu, sulit untuk menolak permintaan Ana. "Hm, ya sudah kalau itu mau kamu." "Kita pulang sekarang ya, Ma. Ana nggak betah di sini." "Iya, Ana," sahut Arumi, dia membalikkan badan menatap Pak Tarjo. "Pak, kita pulang sekarang ya, tolong gendong Ana." "Ma, Ana bisa jalan sendiri. Kasihan Pak Tarjo kalau harus mengangkat tubuh Ana yang sudah gede seperti ini. Lagian Ana malu kali!" Protes Ana, kedua pipinya muncul semburat malu. "Maaf, Ana, kali ini Mama nggak bisa menuruti permintaan kamu. Mama nggak mau kalau nanti kamu kenapa-napa. Sudah ya kali ini kalau kamu mau pulang maka kamu harus menuruti permintaan Mama. Jangan bantah perkataan orang tua, Ana, ini semua Mama lakukan juga demi kamu." "Ya sudah kalau seperti itu, Ana nurut saja deh yang penting Ana bisa pulang." "Iya, Ana, lagian Pak Tarjo nggak akan ngapa-ngapain kamu kok. Dia kan sudah menganggap kamu sebagai anaknya sendiri. Jadi, kamu nggak usah takut sama dia." "Nah, betul tuh, Ana," sahut Pak Tarjo. Dia pun tersenyum hangat untuk Ana. Dia seperti halnya Bibi Sanah yang sangat menyayangi Ana dan keluarganya. "Iya oke, kali ini Ana nurut, tapi kita pulang sekarang saja, Ana benar-benar sudah nggak betah." "Dokter Arumi, terima kasih ya sudah membantu Ana." "Sama-sama Bu Arumi, sudah menjadi tugas saya. Eh, sudah menjadi tugasku maksudnya, hehehe." "Dokter-dokter." Arumi menggelengkan kepala karena geli melihat tingkah Dokter Arumi yang bisa dikatakan cukup lucu. "Hati-hati di jalan ya, Bu." "Iya, Dokter," sahut Arumi. Pak Tarjo berjongkok untuk memudahkan Ana dalam meraih punggungnya. Setelah itu, dia menggendong Ana menuju ke pintu luar dengan diikuti Arumi yang berada di belakangnya. Namun, langkah Arumi semakin cepat karena dia akan membukakan pintu masuk mobil untuk Ana, sehingga sedikit meringankan beban kerja Pak Tarjo. Semua orang di mata Arumi itu sama, tidak ada bedanya dan tentunya semua orang akan mendapatkan perlakuan yang sama. Sebab itulah dia tidak pernah dan tidak mau berbuat semena-mena kepada orang lain. Prinsipnya masih kekeh bahwa jika mau dihormati maka harus menghormati orang lain terlebih dahulu. Setidaknya belajar menghormati dan menghargai. Arumi membuka pintu mobil belakang dan dia pun segera masuk setelah Ana sudah masuk ke dalam mobil, di susul Pak Tarjo yang masuk ke tempat duduk sopir. Mereka melanjutkan perjalanan untuk menuju ke rumah. Kecepatan laju mobilnya pun sedang seperti tadi ketika akan menuju ke klinik. Di dalam perjalanan, Ana hanya kembali tiduran bersandar di bahu Arumi. Tangan Arumi pun mengelus-elus pipi Ana sebagai tanda sayang. Tak lama kemudian mereka sampai di rumah. Arumi memapah tubuhnya Ana yang jalannya agak sempoyongan. Kali ini Arumi memang sengaja memperbolehkan Ana jalan kaki karena semenjak di perjalanan tadi pikirannya kacau memikirkan penolakan permintaan Ana tadi, meskipun itu memang yang terbaik untuk Ana. Setidaknya Arumi tahu bagaimana rasanya ketika dikekang. Pintu rumah pun dibuka oleh Bibi Sanah, dia memang asisten rumah tangga yang sangat peka. Tanpa dimintai maupun diperintah pun dia cepat sadar dan tahu apa yang harus dirinya lakukan. Senyum di bibir Bibi Sanah pun tak pernah luntur. Dia akan tetap tersenyum, meskipun hatinya sedang kacau. Terlihat bahagia di depan orang lain itu memang terkadang perlu, meskipun itu sangat menyakitkan. Setidaknya tidak dipandang rendah maupun disepelekan oleh orang lain. "Syukurlah kalau kamu sudah sadar, Ana, Bibi khawatir banget sama kamu," ujar Bibi Sanah menyambut kedatangan Ana. Ana tersenyum menatap Bibi Sanah yang sedang tersenyum kepadanya. "Terima kasih, Bibi, tapi sekarang Ana sudah nggak apa-apa kok, buktinya sudah bisa menyahuti ucapan Bibi kan? Hehehe." "Iya, Ana." Arumi tersenyum melihat kebahagiaan anaknya yang sangat diperhatikan oleh asisten rumah tangga dan sopir pribadi. Dia sangat bersyukur ketika putri tunggalnya dikelilingi oleh orang-orang baik yang begitu tulus menyayangi Ana. Dia sudah menaruh kepercayaan kepada Bibi Sanah dan Pak Tarjo dalam merawat Ana ketika dirinya sedang tidak berada di rumah. Setidaknya bisa meminimalisir rasa khawatirnya. Sanah mendekati Arumi yang sedang berdiri di samping ranjang kamar tidur Ana. Dia pun bertanya, "Bu Arumi, mau minum apa? Tadi setelah pulang belum sempat minum." "Ya mana sempat minum Sanah kalau melihat anak sendiri tidak sadar diri, panik banget." "Hehehe iya sih, saya juga akan seperti Bu Arumi kalau dalam kondisi seperti tadi." "Nah, kamu punya anak pastinya tahu lah rasa khawatir sebagai orang tua, apalagi kamu, saya yakin kamu merasakannya lebih berat karena terpisahkan oleh jarak." "Hehehe, sudah menjadi resiko seorang single parents, Bu. Saya seperti ini karena demi menghidupi keluarga saya, khususnya anak dan orang tua yang menjaga anak saya di kampung." "Nggak apa-apa, Sanah, saya tahu kok bagaimana perasaan kamu dalam menghadapi kondisi tersebut. Apalagi kita sama-sama hanya memiliki satu anak." "Terima kasih, Bu. Oh iya, Bu Arumi sama Pak Tarjo saya bikinin teh hangat ya biar nggak panik terus." "Kamu ini ada-ada saja, Sanah. Ya sudah saya teh hangat saja, eh tapi minta tolong air panasnya dibanyakin ya biar agak panas gitu, ngilangin angin." "Siap, Bu. Sebentar ya." Bibi Sanah keluar dari kamar Ana menuju ke arah dapur. Ting… Tong… Suara bel tanda ada tamu. Dia pun penasaran siapa tamu tersebut, sehingga Arumi memutuskan untuk menuju ke pintu depan untuk membukakan pintu. Langkah kakinya dipercepat agar tamu tersebut tidak menunggu cukup lama karena dia tahu kalau menunggu itu merupakan hal yang membuat diri sendiri merasa jenuh. Bisa dibilang membosankan, apalagi menunggu tanpa kepastian, rasanya seperti digantungkan oleh sebuah kepastian. Tidak berwujud sih, akan tetapi sebuah kepastian tersebut yang membuat seseorang bisa merasakan jantungnya berdebar karena terlalu banyak pikiran negatif yang masuk ke dalam pikirannya. Ceklek! Suara pintu dibuka. Kedua mata Arumi membulat sempurna dengan penuh rasa terkejut. Jantungnya berdebar, dia tidak menyangka bahwa orang yang datang adalah mereka yang sudah lama diharapkan dan dirindukan. Bahkan kedua matanya pun berkaca-kaca. Dia tidak menyangka dengan kedatangan mereka dan bahkan rasanya sangat terharu. "Ibu, Ayah!" Panggil Arumi lalu berhambur ke dalam pelukan mereka berdua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN