"Ibu sama Ayah ke sini kenapa nggak ngasih kabar? Aku belum mempersiapkan tempat buat kalian, ada sih cuma nggak maksimal saja, masa iya aku menjamu orang tua sendiri dengan keadaan yang tidak maksimal, nanti malah membuat Ayah dan Ibu jadi nggak nyaman," ujar Arumi setelah selesai menatap wajah mereka berdua.
"Ya nggak apa-apa, Arumi. Kamu ini masih saja sama," sahut Tumi, orang tua Arumi.
"Ya bukannya gitu, Ibu, hanya saja tamu adalah raja, apalagi kalian berdua itu kan orang tua Ana, mana mungkin Ana mau menyia-nyiakan kalian."
"Terserah kamu deh. Oh iya, bagaimana keadaan Ana?" Tanya Tumi dengan raut wajah cukup serius. Hal itu sedikit membuat Arumi merasa sedih. Semua itu kembali lagi kepada keadaan yang sesungguhnya. Mengingat keadaan Ana tadi cukup membuatnya sedih. Setidaknya dia tidak mau mengingat kepahitan yang ada. Rasanya tidak mungkin saja ketika nanti dirinya harus meratapi kesedihan.
Melihat perubahan raut wajah anaknya membuat Tumi merasa ada yang aneh. Dia tidak mau tahu, akan tetapi jiwa dan pikirannya menuntutnya untuk tahu akan hal tersebut, sehingga dia pun memutuskan untuk bertanya daripada bingung sendirian dan mendapatkan kenyataan yang salah. Bukannya dia tidak mau tahu, hanya saja dia tidak ingin kalau nanti dirinya malah ribet dengan hal-hal yang membuatnya sulit untuk dimengerti dan juga dipahami.
"Ayah yakin pasti terjadi sesuatu pada diri Ana," ucap Slamet tegas. Dia memang sudah terlihat tua, akan tetapi tubuhnya masih terlihat berwibawa, hanya saja kulitnya yang terlihat kering dan agak keriput. Padahal aslinya dia masih kuat dengan hal-hal yang membutuhkan tenaga.
Arumi bungkam dan dia merasa seperti tidak bisa berkata-kata lagi. Dia cukup takut dan juga tidak kuat ketika menghadapi kenyataan yang ada. Kini kedua matanya tak sanggup membendung air mata, hingga pada akhirnya air matanya pun berhasil lolos membasahi kedua pipi.
"Kamu kenapa, Arumi?" Tanya Tumi. Mau sekeras apa pun yang namanya hati perempuan itu sensitif atau bisa dikatakan mudah merasa sedih maupun mudah merasa marah. Bukan hanya satu maupun dua orang saja, melainkan banyak orang, entah itu perempuan maupun laki-laki, baik anak kecil, remaja, maupun orang dewasa, mereka semua itu sama. Hanya saja bagaimana orang tersebut dalam menghadapi keadaan yang sulit untuk dijelaskan karena berkaitan dengan masalah hati. Mungkin orang lain bisa melihat seberapa sedih dan khawatir orang dalam melihat orang lain sedang bersedih. Satu hal yang menjadi permasalahan bahwa setiap orang tersebut tidak akan pernah bisa dan tahu dalam merasakan sakit tersebut, kecuali merasakannya sendiri dengan cara terlibat dalam hal suatu permasalahan tersebut.
Bukannya menjawab, Arumi malah menundukkan kepala karena sedikit merasa takut untuk menjawab pertanyaan dari kedua orang tuanya. Bisa dikatakan sih cukup sulit untuk dimengerti, apalagi kalau sudah menyangkut soal keluarga karena harta satu-satunya yang berharga hanyalah keluarga. Tidak ada hal yang bisa mengalahkan kekuatan keluarga, hanya saja jika ada salah satunya yang berpaling.
Tumi yang melihat keadaan anaknya yang kacau langsng mendekap dengan cara merangkulnya. Dia memapah Arumi agar masuk ke dalam ruang tamu, diikuti Slamet yang berada di belakangnya. Bisa dikatakan bahwa Slamet hanya mengekor saja, lagian dia juga seringkali diam bukan malah banyak bergerak. Wajahnya langsung terlihat membalik dan dia terlihat seperti gugup. Lebih tepatnya karena dia itu merasa paling hebat sih, meskipun dia sadar bahwa di atas langit masih ada langit. Oleh karena itu, menghadapi situasi yang melibatkan orang lain dan tentunya belum pasti hanya akan membuat bimbang saja. Oleh karena itu, sejak tadi Slamet hanya menunggu jawaban, dia sangat yakin bahwa Ana pasti akan memberikan jawaban tanpa dimintai maupun dipaksakan. Slamet hanya butuh pengertian untuk orang lain agar tidak mudah untuk putus asa karena rata-rata hampir semua orang akan putus asa ketika mendapatkan permasalahan yang berkaitan dengan perasaan.
Mereka bertiga duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Tumi mengelus pundak Arumi berkali-kali untuk merendahkan tangisnya. Setidaknya agar Arumi merasa tenang dan diperhatikan karena tidak pernah merasakan kesendirian. Rasa hancur yang seringkali orang rasakan itu ketika merasa seperti sendiri, meskipun sebenarnya masih memiliki orang-orang di sekitar yang banyak peduli. Apalagi mengingat bahwa jaman sekarang mencari yang serius itu cukup sulit, baik teman sendiri atau bahkan keluarga sendiri.
Setelah tangis Arumi cukup reda, Arumi memberanikan diri untuk kembali bertanya, "Jadi, apa yang sebenarnya terjadi, Arumi?"
"Ana--"
"Ana kenapa?!" Tukas Tumi terkejut. Dia memang paling anti mendengar berita buruk karena responnya itu cukup sulit untuk dijelaskan. Tidak semua orang itu sama dan tidak sama pula permasalahan yang dihadapinya.
"Kamu ini, biarkan Arumi bercerita, jangan kebiasaan suka memotong pembicaraan orang lain, nggak baik!" Saran Slamet kepada istrinya. Sudah tak heran lagi kalau mereka berdua seperti itu karena kebiasaan rasa ingin tahu Tumi memang cukup tinggi, meskipun dia itu sudah menjadi orang tua. Namanya juga jiwa seseorang yang biasa disebut sebagai sifat seseorang. Mau sampai kapan pun kalau yang namanya sifat itu pasti mendasar dalam setiap diri seseorang dan sulit untuk dirubah, kecuali memang memiliki niat untuk dirubah. Hidup bersama Tumi membuat banyak hal yang harus dilakukan oleh Slamet agar Tumi bisa merasakan kenyamanan. Sebab, kembali lagi kepada sikap dan sifat Tumi yang begitu sensitif. Bahkan cukup satu kata saja jika menyinggung tentu akan menyinggung. Mau gimana lagi, namanya juga anak muda yang suka tongkrongan. Lagian tidak semua tempat tongkrongan memberikan efek yang negatif, semua tergantung bagaimana seseorang menyikapi lingkungan sekitar. Apalagi disaat sudah tumbuh menjadi seorang remaja tentunya tahu dan paham bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
"Ya maaf, Mas, hehehe," sahut Tumi dengan sedikit cengengesan seperti orang yang tidak memiliki salah dan juga beban.
"Oke, sekarang jawab pertanyaan tadi, Arumi!" Desak Slamet sudah tidak sabar dalam menghadapi Tumi dan Arumi yang menurutnya terlalu banyak drama. Padahal terlalu banyak drama itu terkadang secara tidak langsung dapat diterapkan secara nyata. Namun, kesan yang diberikan memang terlalu banyak buang-buang waktu karena sedikit bertele-tele.
"Ana semakin aneh," ucap Arumi dengan tatapan kosong. Dia benar-benar sedih mengingat semua hal yang terjadi pada akhir-akhir ini.
"Sudah Ayah duga," sahut Slamet lalu menghela napas. Tangan kanannya memijit pada bagian pelipis untuk sedikit menghilangkan rasa pusing yang ada di dalam otaknya. Apalagi sekarang ini memang dipenuhi banyak pertanyaan yang belum terjawab.
"Maksud Ayah bagaimana?" Tanya Arumi terkejut. Dia segera mengusap air matanya menggunakan punggung tangan. Tak lupa pula tangannya yang masih terlihat gemetaran semenjak mendengar dan melihat kondisi Ana tadi. Semakin banyak hal yang Arumi lihat mengenai Ana, maka semakin was-was pula hati Arumi. Maklum sih karena namanya juga seorang ibu, sudah selayaknya dan sewajarnya jika memang terjadi hal tersebut.
Bukannya menjawab, Slamet malah tersenyum getir, lalu dia bertanya, "Kamu lupa kalau Ayah ini indigo?"
Lagi-lagi kedua mata Arumi membulat sempurna karena berhasil terkejut untuk kedua kalinya. Dia baru ingat kalau Ayahnya sendiri keturunan orang Jawa dan kebetulan dia memang indigo dari semenjak kecil. Dulu sempat sih hampir saja tidak kuat, hanya saja jika dirasa semakin biasa saja, hingga pada akhirnya Arumi dan suaminya memilih untuk hidup tenang dan mandiri tanpa ikut campur orang tua. Arumi juga baru ingat beberapa nasihat yang dulu seringkali dia dapatkan dari Ayahnya sendiri. Setidaknya banyak cobaan yang pada akhirnya akan mendapatkan ending yang sama.
Memiliki orang tua indigo memang sedikit membuat hati bahagia karena tidak semua orang akan bisa melakukan hal tersebut. Setidaknya tidak ada hal yang membuat diri sendiri lebih waspada. Akan tetapi jika mau melakukan hal-hal yang aneh takut diketahui juga karena atas dasar kemampuan indigo tadi. Soal indigo yang Slamet miliki bukan hanya persoalan hal ghaib saja, melainkan bisa merasakan hal-hal yang akan terjadi.
"Nggak seperti itu, Yah, cuma aku terkejut melihat Ayah dan Ibu tiba-tiba sampai di depan rumahku," jawab Arumi dengan senyum manisnya yang sejak tadi tercetak di bibirnya.
"Ayah tahu kalau Ana itu sekarang seringkali diganggu makhluk ghaib dan sekarang ini dia juga masih diganggu. Ini adalah salah satu alasan kepada Ayah datang ke sini tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Bisa dikatakan sangat dadakan bagai tahu bulat," jelas Slamet.
Kedua alis Arumi mengkerut dengan dahinya yang membentuk gelombang-gelombang kecil, dia benar-benar bingung dan gagal paham atas apa yang sebenarnya terjadi. Nampak dari raut wajah Arumi yang begitu menegangkan dan juga penasaran. Kedua hal tersebut bercampur, sehingga menghasilkan beberapa pertanyaan yang sulit untuk dipahamkan.
"Ayah kok tahu banget."
"Kan Ayah sudah bilang kalau Ayah dan Ibu kamu ke sini karena ada hal yang tidak beres terhadap diri Ana. Kita takut kalau nanti cucu kita satu-satunya akan terjadi hal-hal aneh."
"Iya, Ayah. Memangnya saat ini, apa yang akan terjadi dan saat ini apa penyebab Ana bisa seperti ini?" Tanya Arumi. Harapan dia sih ingin sekali ayahnya menceritakan atas apa yang telah terjadi.
"Sulit untuk dijelaskan, Arumi. Ayah juga belum tahu pasti, tapi yang jelas auranya masih terus negatif. Kamu tenang saja dan percayalah bahwa semuanya akan aman. Nggak usah dibuat pusing, Ayah dan Ibu nggak mau kalau kamu jatuh sakit. Ayah tahu kalau kamu itu nggak mau makan ketika menghadapi dalam kondisi panik, contohnya seperti tadi. Ayah tahu kalau sampai saat ini kamu belum makan atau bahkan hanya dengan minum teh hangat saja tidak sempat membuat. Jadi, pada intinya kamu harus sabar karena semua ini butuh proses dan nggak akan ada yang instan. Apalagi ini soal keselamatan."
"Nah terus kalau seperti ini caranya bagaimana Arumi bisa menjaga Ana, Yah? Ayah dan Ibu jangan buat aku jadi takut seperti ini."
"Caranya cuma satu, Arumi, tapi entahlah Ayah juga nggak menjamin akan berhasil atau tidak karena yang menyerang itu benar-benar kuat."
"Setidaknya dicoba dulu agar tidak membingungkan. Memangnya apa yang harus aku lakukan untuk Ana?" Tanya Arumi menatap dalam ayahnya.
"Ayah cuma mau bilang kalau nanti saat Ana tidur, bawah bantalnya dikasih satu siung bawang merah dan putih."