Part 19

1739 Kata
"Apakah itu bisa untuk menangani, Yah?" Tanya Arumi untuk memastikan bahwa hal yang dikatakan Slamet adalah solusi karena Ana itu tidak suka bau bawang putih, katanya bikin perut mual, ya meskipun perempuan itu harus bisa masak yang tentunya berhubungan dengan bumbu masak. Membayangkan saja Arumi tidak sanggup karena jika Ana merasa mual maka akan tersiksa, belum lagi kalau nanti kepalanya sakit ataupun pusing karena pandangannya terlihat berputar. Sesekali Arumi mengusap ingus yang keluar dari hidungnya menggunakan punggung tangan, meskipun di atas meja ada tisu. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya hingga lupa akan kebersihannya sendiri. "Ayah kan sudah bilang nggak tahu, Arumi, setidaknya lebih baik mencegah daripada mengobati. Apalagi ini hal ghaib yang tentunya semua orang tidak bisa melihatnya dan hal ghaib itu bisa menyerang kapan saja atau bahkan bisa membunuh tanpa menyentuh," jelas Slamet. Entah mengapa harinya terasa nyeri ketika mendengar hal tersebut. Dia benar-benar takut kehilangan anaknya, meskipun di dunia ini semua orang akan mengalami kematian. Hanya saja dalam waktu yang berbeda dan juga dalam kesiapan masing-masing pribadi seseorang. Tidak ada yang tahu bagaimana seseorang dalam menghadapi takdir terakhir, hanya tangisan lah yang mengiringi setiap hal yang terjadi. Ada kalanya baik dan ada pula kalanya buruk, tidak ada yang kekal, kecuali Tuhan. Jika membayangkan kematian tentu semua orang akan merasa merinding. Arumi bukan orang pintar dan bukan pula dukun, sehingga dia pun tidak tahu apa yang harus dirinya lakukan ketika berhadapan dengan hal ghaib. Satu hal yang dia takutkan hanyalah kesakitan yang belum siap mental, dia hanya takut gila karena tidak bisa menerima kenyataan yang ada, meskipun setiap orang itu harus bisa menanamkan perilaku sabar. Sebab, di dunia ini memang banyak sekali masalah yang tentunya bukan soal yang mudah pula. Terlalu banyak masalah juga membuat diri sendiri merasa tertekan atau bahkan bisa sampai depresi. Separuh jiwa Ana merasa dalam diri Arumi, pun sebaliknya. Mereka akan merasakan apa itu feeling yang sama dan bagaimana menghadapi masalah yang cukup sulit untuk dimengerti dan dipahami. Kini Arumi merasa bahwa hidupnya itu bagai gambar, sedangkan Ana sebagai warna, sehingga hidupnya terasa begitu indah ketika keduanya saling melengkapi. Selama ini sih mereka berdua saling memahami dan juga saling tahu bagaimana seseorang dalam menghadapi keadaan tersebut dan cara untuk saling menyayangi, meskipun saling menyayangi antara hubungan orang tua dan anak itu sudah alamiah sejak lahir karena ikatan batin. "Semoga saja sesuai dengan apa yang diharapkan," ucap Arumi lalu menghela napas. "Oh iya, sekarang Ana di mana?" Tanya Tumi. "Ana berada di kamarnya," jawab Slamet. Bukan hal aneh lagi bagi mereka, meskipun pertanyaan tadi sebenarnya yang wajib menjawab adalah Arumi. Lagian Arumi tidak mempermasalahkan hal tersebut, apalagi hanya soal keberadaan Ana saja. Kemampuan Slamet dalam hal indigo memanglah agak sulit dipercaya karena bisa dikatakan kebetulan saja bagi orang yang tidak percaya mengenai hal ghaib. Masih banyak hal lain yang harus dia lakukan agar semuanya berjalan dengan lancar. Apalagi soal yang dilogika tidak mungkin dan tidak masuk akal, terkadang hal tersebut bisa menjadi suatu pro dan kontra. Banyak kok di luar sana yang masih percaya hal-hal yang sulit dipahami karena tanpa nyata secara fisik, hanya dengan menggunakan batin saja bagi orang yang mampu dan tahu. Senyum pun kembali tercetak di bibir Arumi, dia tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi kepada dirinya. Gantinya gampang sekali untuk dibolak-balikan, sehingga mood nya pun bisa mengalami perubahan yang bisa dibilang aneh saja. Namun, kalau menurut Arumi sih tidak ada yang tidak mungkin selama hidup di dunia. Terkadang yang diharapkan malah pergi menghilang atau bisa dikatakan sulit untuk diterima dan dimengerti, akan tetapi yang biasa saja dan tidak dianggap malah datang membawa kabar baik. Itulah yang namanya takdir karena setiap orang itu hanya bisa berencana dan berusaha, untuk masalah hasil bisa dikatakan berhasil maupun tidak itu hal terakhir dan bagaimana pula seseorang dalam menyikapi hal tersebut. Kebahagiaan Arumi itu sebenarnya simpel, bisa bertemu dengan kedua orang tuanya kembali merupakan hal yang sangat dirinya nantikan. Banyak sekali hal-hal yang dia rindukan dalam kebersamaan, terutama dalam hal kasih sayang. Apalagi semenjak menikah, Arumi harus bisa belajar hidup mandiri tanpa melibatkan orang tua dalam menjalani hidupnya, sehingga susah ataupun senang dia jalani bersama keluarga kecilnya. Lagian setiap orang tentu pernah mengalami masa sulit, di mana sedang terpuruk akan tetapi tidak mendapatkan apa yang seharusnya diinginkannya. Lagian hidup ini tidak ada yang ideal di dunia ini. Masih banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan. "Sudah ya, jangan sedih terus. Ayah dan Ibu nggak ingin melihat kamu sedih. Tersenyumlah sebelum dunia kejam yang terus memihak kepada dirimu," ujar Slamet lalu menepuk bahu kanan anaknya. "Iya, Arumi nggak akan sedih lagi kok, kan sekarang ada Ayah sama Ibu, Arumi sayang dan kangen banget sama kalian. Oh iya, Ayah dan Ibu apa kabar?" Tanya Arumi. "Ayah dan Ibu baik-baik saja, sehat terus kok," jawab Tumi lalu tersenyum dengan jari-jarinya yang sedang menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya. Perlakuan dia memang masih terlihat seperti anak kecil karena yang ada di dalam pikirannya itu bahwa Arumi adalah putri kecilnya, apalagi dia hanya memiliki anak tunggal. Hidupnya seringkali kesepian di rumah, itulah mengapa sebabnya Tumi sangat menyayangi Arumi, karena memang tidak ada persaingannya juga. "Syukur deh kalau seperti itu. Lain kali hubungi Arumi ya kalau mau main ke sini." "Iya, sayang iya," ucap Slamet memanggil Arumi dengan panggang sayang, sedangkan Arumi dan Tumi hanya biasa saja dan tidak pernah mempermasalahkan. Lagian bagaimana Tumi mau cemburu kalau orang yang dipanggil sayang oleh suaminya itu anaknya sendiri. Sangat tidak mungkin dan aneh bila hal itu benar-benar terjadi. "Ayah dari dulu masih tetap sama saja, huft!" Ketus Arumi pura-pura ngambek karena dia tidak ingin kalau nanti dianggap terlalu masa bodoh dan tidak peduli lagi dengan lingkungan sekitar. "Ya memang sama, Arumi, sekarang ini Ayah masih tetap sama-sama menjadi seorang laki-laki dan ibu kamu yang menjadi seorang perempuan," jelas Slamet dengan nada terlalu menyebalkan. Andai saja tidak melihat usia, maka kemungkinan Arumi akan sedikit menyentil otak Slamet agar sedikit waras. Kalau seperti ini kan benar-benar tidak masuk akal dan aneh banget. "Nah, itu yang Arumi maksud. Ayah masih sama, yaitu sama menyebalkan seperti dulu. Heran deh sama Ayah yang sukanya gitu. Padahal kan Ana nggak maksud apa-apa." "Sudah lah, Rumi, Ayah kamu memang suka seperti itu, lebih baik sekarang Ibu mau lihat kondisi cucu Ibu, apakah kamarnya masih tetap sama seperti yang dulu?" Tanya Tumi. "Iya, Bu, masih sama kok. Ayo, kalau kita mau ke sana! Ana baru pulang dari periksa." "Ayah dan Ibu ke sana sendiri, kamu ambil bawang merah dan bawang putih saja sana. Ingat ya, yang harus mengambil kamu atau Ana sendiri," perintah Slamet. Arumi mengacungkan kedua jari jempol kanan kirinya, lalu berkata, "Siap, Ayah!" "Ya sudah Ayah dan Ibu mau ke sana langsung saja ya, sana kamu ambil ke dapur sebelum terlambat." "Iya." Slamet dan Tumi berjalan menuju kamar Ana yang sudah lama tidak dirinya kunjungi. Mereka berdua benar-benar kangen kepada cucu tunggalnya. Selama dipisahkan oleh jarak sih mereka masih bisa saling berhubungan dengan cara melalui video call, meskipun itu tidak bisa mengobati sepenuhnya. Setidaknya bisa sedikit menghibur rasa kangen tersebut. Hanya setahun sekali yang wajib mereka bertemu, itu pun karena hari raya. Kalau waktu lain bisa jadi karena ada suatu hal penting, entah itu masalah pekerjaan ataupun soal hajatan. Akhirnya mereka berdua pun sampai di depan pintu kamar Ana. Dia segera membuka pintu kamar Ana dan ternyata di dalamnya masih ada Bibi Sanah dan Pak Tarjo. Mereka berdua pun saling menatap dan melemparkan senyuman. "Bapak, Ibu, apa kabar?!" Sapa Bibi Sanah dengan sangat sopan. "Saya dan istri saya kabar baik, bagaimana dengan kabar kamu sendiri?" Tanya Slamet. Dia memang orangnya ramah dan tidak pernah mempermasalahkan siapa yang memiliki kedudukan, bisa dikatakan bahwa sikapnya sama seperti Arumi. Mungkin sih karena Arumi itu anaknya, sehingga sifat pun menurun dan tentunya itu sudah menjadi hal yang biasa saja. "Baik kok, Pak. Kita semua sehat. Ngomong-ngomong sampai di sini jam berapa?" "Baru saja sampai." Reflek kedua bola mata Bibi Sanah dan Pak Tarjo membulat sempurna. Mereka berdua masih tidak menyangka jika kedatangan Slamet dan Tumi begitu dadakan seperti tahu bulat. Apalagi biasanya jika mereka berdua akan datang, maka Bibi Sanah dan Pak Tarjo lah yang berperan dalam membantu mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatangan mereka berdua. Baik itu dari lingkungan rumah maupun masak banyak untuk makan malam karena mereka berdua memang sering tiba di waktu sore. "Tumben banget, Bu?" "Iya karena memang sengaja membuat kejutan," sahut Slamet, padahal sih itu hanya alasan saja agar Bibi Sanah dan Pak Tarjo tidak terus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Lagian masalah Ana ini memang sengaja tidak boleh diperluaskan, semakin banyak yang mengetahui maka nyawa Ana pun semakin terancam. Memang itulah konsekuensi yang ada. Cukup mengerikan, akan tetapi mau bagaimana lagi jika memang hal itu yang menjadi pilihan terbaik. "Ana nya masih tidur dari tadi, Bi?" Tanya Tumi menatap Ana yang terbaring lemah dengan seragam SMP yang masih merekat pada tubuhnya, lebih tepatnya sih seragam yang tadi digunakan untuk kegiatan MPLS. Tanpa diberitahu pun Tumi sudah tahu karena memang sebelumnya Ana sudah menceritakan bahwa hari ini adalah hari pertama kali dia menginjakkan kaki sebagai siswa baru di SMA. Dia bahkan sangat semangat dan bahkan sarapan maupun makan siang saja sampai lupa hanya karena sangat bersemangat. Ana beranggapan bahwa di bangku kelas SMA ini, dirinya bisa menggapai apa pun yang dirinya inginkan dan dia pun berusaha untuk tetap terus berjuang. Lagian jika gagal itu bukan akhir dari segalanya, tapi dengan cara gagal lah merupakan awalan yang terbaik untuk menuju hal yang lebih baik lagi. Tumi tersebut melihat Ana yang sudah tumbuh menjadi gadis remaja, dia masih ingat betul bagaimana Ana masih bayi dan pas lucu-lucunya di umurnya yang masih menginjak 2 tahun. "Baru tidur sih, dia baru saja minum obat." Ceklek! Suara pintu kamar Ana dibuka dan di sana ada Arumi yang sedang melangkahkan kaki dengan kedua tangannya yang sedang membawa dua siung bawang, satu bawang merah berada di tangan kanan dan satu lagi berwarna putih berada di tangan kiri. Dia semakin melangkahkan kaki mendekati Ana yang sedang terbaring di atas ranjang, bahkan dia tidak menyangka kalau Ana bisa tidur dengan nyenyak. Padahal sebelumnya dia terlihat gelisah. Keringat dingin pun keluar memenuhi dahi Ana, mungkin sih karena reaksi dari obat. "Ana nya rewel nggak, Sanah?" Tanya Arumi ketika kembali menutup kamar Ana. "Nggak kok, Bu, dia malah tidur nya cepat banget sesudah minum obat." "Arumi, cepat lakukan apa yang tadi Ayah katakan! Bibi Sanah dan Pak Tarjo mohon keluar dulu ya karena ada hal penting yang akan saya bicarakan dengan Arumi," ujar Slamet dengan penuh hormat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN