Part 20

1844 Kata
"Iya, Pak," sahut Bibi Sanah dan Pak Tarjo secara bersamaan. Mereka berdua pun saling menatap lalu mengendikkan bahu karena tidak menyangka jika dirinya akan bisa kompak. "Kita pamit mau keluar dulu ya, Bu, Pak," pamit Pak Tarjo sedikit membungkukkan badan sebagai rasa hormat. Dia memang begitu sabar, telaten, dan hormat kepada keluarga Arumi, meskipun dia sudah kenal lama. Tidak ada sedikitpun niat dalam diri Pak Tarjo untuk bersikap lancang. Jika ada jajan sisa pun dia tidak akan berani memakannya jika tidak disuruh oleh majikannya, meskipun pada waktu sebelumnya majikannya sudah pernah bilang jangan canggung dan anggaplah sebagai orang biasa, dengan cara itulah tidak ada rasa muncul dalam diri sendiri mengenai sebuah kedudukan yang berdasarkan kaya dan miskin. Berkali-kali Arumi sudah mengingatkan hak tersebut, akan tetapi memang Pak Tarjo sudah nyaman dengan caranya itu sendiri. Dia terlalu sulit untuk mengubah hal-hal yang tidak biasa dirinya lakukan. Oleh karena itu, proses perubahan dalam diri Pak Tarjo membutuhkan waktu yang lama. Bahkan Pak Tarjo itu orangnya sangat pendiam, dia hanya bercanda dan sering bersikap konyol ketika berada di hadapan orang-orang yang sudah dianggapnya dekat. Banyak orang yang salah paham bahwa Pak Tarjo itu terlihat cool, padahal sih sebenarnya karena dia malu saja bertemu dengan orang-orang baru yang tentunya membutuhkan adaptasi. Beda lagi dengan Bibi Sanah, dia malah berbanding terbalik dengan Pak Tarjo. Sekarang ini, rasa percaya diri bukan karena laki-laki ataupun perempuan. Hanya saja bagaimana seseorang tersebut bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Kalau mau dibahas satu persatu memang agak lama dan juga akan sedikit membosankan. Membicarakan topik yang tidak hot itu sama halnya seperti hati para jomblo, yaitu terasa hampa. "Iya silahkan, kalian lanjutkan saja pekerjaannya, kalau sudah selesai istirahat biar nggak capek," ujar Slamet. "Iya, Pak, terima kasih atas perhatiannya. Saya bersyukur banget punya majikan seperti Bapak dan Ibu," kata Bibi Sanah sangat tulus. "Iya sama-sama, Sanah." Akhirnya Bibi Sanah dan Pak Tarjo pun langsung membuka gagang pintu untuk keluar menuju ke arah tempat yang setelah ini akan dikerjakan. Pak Tarjo biasa bagian luar, sedangkan Bibi Sanah bagian dalam. Pak Tarjo memang sopir pribadi, hanya saja dia memang suka merawat halaman rumah. Lagian majikannya tidak pernah ada yang melarang. Selagi tidak merugikan sih pasti akan dilanjut terus, entah itu bagaimana caranya dan yang terpenting adalah ikhlas. Satu hal yang mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan adalah rasa ikhlas, seperti halnya apa yang sedang dirasakan Slamet pada saat ini. Dia tidak rela ketika melihat cucu satu-satunya terbaring lemah hanya karena ada sesuatu yang menyerang dia. Bagaimana dia bisa ikhlas kalau tiap waktu hatinya selalu bertanya-tanya mengenai Ana. Hanya saja dia masih bersikap baik dengan cara menutupi dirinya dengan cara sabar. Memang itulah realita kehidupan yang sesungguhnya. Tidak ada yang mudah tahu bagaimana yang benar dan mana pula salah selagi kedua matanya sedang mabuk cinta. Pikirannya jangan sampai seperti hal buruk apa yang akan terjadi. Setelah Pak Tarjo dan Bibi Sanah sudah keluar kamar, Slamet mendekati Arumi yang sedang menatapnya heran. Jika dipikir-pikir hanya memberikan efek pusing saja, beda lagi kalau kalau pikiran dipenuhi oleh hal positif, maka nanti menjalani hidup pun akan terasa tenang. Slamet pun memejamkan matanya sebentar lalu menghela napas. "Arumi!" Panggil Slamet. Arumi pun menjawab, "Bentar, Yah." Kini Arumi sedang meletakkan bawang merah dan bawang putih, tepatnya di bawah bantal yang biasa Ana gunakan untuk tidur. Semua yang khawatir seperti itu bukan hanya Arumi saja, akan tetapi kerabatnya yang terkadang juga ikut memprihatinkan, terutama kondisi ketika Ana yang masih berumur dua tahun, dia terlihat begitu memprihatinkan karena dia cukup lemah, sehingga mudah sakit karena diganggu oleh makhluk halus. Arumi membalikkan badan menatap seseorang yang tadi memanggil nama dirinya. Dia memang sengaja melakukan hal tersebut agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung fatal. Apalagi ini menyangkut hubungan seseorang yang salah satunya benar-benar mengagumi. "Iya, Ayah?" Sahut Arumi. "Suami kamu di mana?" Tanya Slamet bingung karena sejak tadi dirinya tidak bertemu dengan suami Arumi, biasanya dia disambut baik oleh suami Arumi. Arumi dan suaminya itu orangnya memiliki sifat yang hampir sama, sehingga dari kesamaan tersebutlah membuat diri seseorang menjadi lebih merasakan kenyamanan bila di dekat mereka, apalagi karena sikap keramahan mereka yang bisa dikatakan tiada tanding. "Suami aku lagi kerja, Yah. Biasalah mencari nafkah untuk keluarga," jawab Arumi lalu tersenyum. Memang apa yang dikatakannya itu benar, suaminya adalah seorang pekerja keras dan bertanggung jawab. Dia selalu memberikan apa yang harus dirinya berikan untuk keluarganya tanpa harus diminta karena dia sadar bahwa apa yang menjadi tanggung jawab haruslah dilakukan. Arumi sangat bersyukur memiliki suami yang begitu sangat menyayangi keluarganya. Dia senang karena selalu dinomor satukan dan bahkan anaknya pun selalu dididik dengan baik. Ada satu hal yang paling membuat Arumi merasa diperhatikan, disayangi, dan dicintai, yaitu karena Arumi tidak pernah diperlakukan kasar. Jika Arumi berbuat kesalahan pun malah dinasehati secara baik-baik, bukan malah marah-marah tidak jelas yang bisa menyinggung perasaan Arumi. "Pulang jam berapa?" "Biasalah, Yah, dia paling nanti pulang sekitar jam empat, nanti sampai rumah jam lima." "Oh." Slamet menganggukkan kepala dan mulutnya membeo membentuk lingkaran tanda paham. "Memangnya kenapa, Yah?" Tanya Arumi bingung karena tidak biasanya Slamet bertanya cukup detail. Dia merasa kalau Slamet tanya secara detail maka tandanya akan ada sesuatu yang terjadi. Namun, Arumi tidak berani bertanya akan hal itu karena dia takut kalau nanti dirinya malah semakin kepikiran. Cukup Ana saja membuat dirinya seperti stress, apalagi kalau nanti ditambah dengan suaminya. Arumi tak sanggup melakukannya karena membayangkannya saja dia sudah cukup malas dan tidak sanggup. "Nggak ada apa-apa," jawab Slamet bohong karena dia tahu betul bagaimana reaksi putri tunggalnya yang kini sudah menjadi seorang ibu. Dia tahu bagaimana rasa khawatir seorang ibu kepada keluarganya karena tidak hanya seorang ibu saja yang merasakan hal tersebut, melainkan seorang laki-laki juga bisa merasakan hal yang sama. Perlu diketahui bahwa setiap orang itu memiliki perasaan, sehingga apa pun itu tentu akan membuat pribadi seseorang merasakan bagaimana disaat terpuruk. Cukup sekali saja hal buruk tersebut terjadi karena saat ini, Slamet tidak ingin mengulangi hal yang sama. Dia lebih mementingkan jiwa Arumi, dibandingkan ramalan dirinya mengenai hal-hal yang kemungkinan akan terjadi. "Oh kirain ada apa-apa, Yah." "Nggak ada kok." "Ini nanti Ana nya di jagain ya, sementara kamu tidur sama Ana dulu. Ayah takut kalau terjadi apa-apa." "Iya, Yah, nanti malam Arumi akan tidur di sini." *** "Diandra, bagaimana dengan keadaan lo? Apakah sudah membaik?" Tanya Dafa penuh perhatian. Kali ini Diandra terkejut karena dia kali pertama melihat Dafa yang sebenarnya baik dan juga tidak sedingin yang dirinya pikirkan. Ketika seseorang tiba-tiba berubah, maka disitulah akan terasa ada yang aneh dan tidak seperti biasanya. Masih mending kalau cuma hal itu saja, terkadang dari perilaku yang dilihat sekilas saja memberikan kesan yang cukup buruk, meskipun itu hanya penilaian sebelah mata saja tanpa melihat dan mencari tahu kebenarannya. Biasalah hal itu sering kali terjadi di dunia ini. Bahkan bukan hanya beberapa kali saja, kemungkinan bisa sering. Seseorang melihat sesuatu pasti akan memberikan penilaian, entah itu baik ataupun buruk. "Gue sudah nggak apa-apa kok," jawab Diandra lalu tersenyum tulus. Mau seburuk apa pun orang lain memperlakukan dirinya maka dia tetap akan membalaskan dengan kebaikan karena dengan kebaikan itulah yang nantinya akan membuat orang lain sadar betapa pentingnya arti sebuah kesabaran yang memang sulit untuk diutarakan. Setidaknya dengan cara seperti itulah membuat dirinya semakin tidak memiliki rasa dendam. Sebab, rasa dendam sendiri bermula dari rasa tidak diterima diperlakukan yang tidak mengenakkan hati, bisa dikatakan yang sedikit menyinggung. Dia sendiri tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi kepada dirinya. Padahal sudah sangat jelas bahwa pilihannya itu cukup menyakitkan. "Syukur kalau gitu, gue nggak nyangka saja sih di awal kegiatan MPLS ini sudah banyak terjadi hal aneh," kata Dafa dengan pandangannya yang masih kosong, otaknya terus berputar memikirkan persoalan tadi yang menimpa diri Ana. Ya memang sih dia bukan siapa-siapanya, hanya saja dia antisipasi agar hal seperti tadi tidak terjadi kepada peserta lain. Apalagi dirinya sebagai ketua yang tentunya mengemban tanggung jawab yang cukup berat. Diandra pun tersenyum getir mendengar pertanyaan Dafa, dia tidak menyangka kalau Dafa akan mengutarakan keluh kesahnya di hadapan dirinya, meskipun itu bukan hal yang istimewa, tetapi hal yang cukup rumit untuk dimengerti dan jarang sekali dilakukan oleh Dafa. Setidaknya hal tersebut membuat Diandra bahwa kehadirannya terasa seperti dibutuhkan. Selama ini, yang Diandra tahu mengenai Ana, bahwa hidup Dafa itu terlalu kaku dan dia seperti masa bodoh terhadap lingkungan sekitar. "Gue juga heran, nggak cuma lo saja." Salah satu alis Dafa terangkat sebelah. "Maksud lo apaan?" "Ya karena kejadian ini di waktu pagi kan?" Bukannya menjawab, Dafa malah balik bertanya, "Gue malah lebih heran, kenapa lo masih sepagi ini sudah berangkat sekolah? Lagian kan ini hari pertama nggak akan ada KBM, atau biasa disebut sebagai kegiatan belajar mengajar." "Gue ke sini karena di rumah bosan. Gue nggak betah di rumah," jawab Diandra. Tiba-tiba raut wajahnya berubah menjadi sedih, seperti ada sesuatu yang memang sengaja ditutupi. Dafa sendiri tidak tahu apa hal tersebut, karena dia yakin kalau hal ini memang agak sulit untuk dimengerti. Lagian, Dafa juga yakin kalau pasti ada sesuatu yang membuat Diandra sedih, akan tetapi dia tidak berani melanjut pembahasan Diandra, dia hanya takut kalau nanti dirinya malah menjadi ikut campur urusan orang lain. Dafa paham kok bahwa setiap masalah yang terjadi pada diri seseorang, maka ada sesuatu yang memang menjadi pribadi dan tidak semua orang berhak mengetahui hal tersebut. "Ya sudah, kalau gitu lebih baik lo istirahat saja, jangan dipaksakan nanti malah kondisi lo semakin memburuk. Gue nggak ingin kalau nanti terjadi hal buruk pada diri lo." "Terima kasih atas perhatiannya," sahut Diandra lalu dia senyum-senyum tidak jelas. Entah apa yang membuat dirinya bersikap seperti itu, padahal kan dirinya tidak pernah senyum tulus kepada orang lain yang bukan teman dekatnya. "Ngapain lo senyum-senyum seperti itu? Nggak usah terlalu percaya diri ya, gue seperti itu karena gue nggak mau ribet dan nggak mau berurusan sama lo!" "Lah siapa yang percaya diri? Lo tahu nggak kalau senyum adalah ibadah?" Tanya Diandra cukup menaikkan nada bicaranya. Dia tersenyum getir melihat tingkah Dafa yang cukup menyebalkan. Dia cukup malu ketika dirinya tertangkap basah, meskipun di bibirnya dia berkata tidak, tapi untuk masalah hati tidak bisa dibohongi. "Kalian berdua ini pada kenapa sih?" Tanya Yoga yang tiba-tiba datang sambil membawa teh hangat. Dia baru saja dari kantin untuk membeli teh hangat dan juga nasi untuk Diandra. Untung saja sudah ada penjual kantin yang buka, dia adalah istri dari Satpam yang menjaga sekolah. Tempat tinggal mereka pun sekalian di dalam sekolah, sebagaimana yang memang sengaja disiapkan dari sekolah untuk mereka. "Lo yang apa-apaan, datang nggak diundang!" Ketus Diandra. "Bukannya terima kasih karena sudah diperhatikan, dibelikan makan dan minum, tapi malah sewot banget sama gue. Heran banget deh." Yoga meletakkan barang yang dibawanya di atas nakas sebelah ranjang UKS, di samping nakas tersebut ada beberapa obat yang memang sengaja diletakkan di sana. "Terima kasih sekali Mas Yoga, lain kali kalau mau memberi pertolongan yang ikhlas ya," ucap Diandra dengan sedikit menambahkan sindiran. "Gue capek kalau ngomong sama cewek, pasti nggak mau kalah, huft!" "Gue juga lebih capek kalau ngomong sama cowok buaya seperti diri lo itu, huft!" "Kalian tahu nggak sih kalau benci bakal jadi cinta?" Cletuk Gibran jengah melihat tingkah temannya yang cukup membosankan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN