Part 21

1716 Kata
"Gue sama buaya?" Tanya Diandra dengan menunjuk dirinya sendiri, lalu dia berkata, "Amit-amit jabang kebo deh. Gue nggak mau sama laki buaya macam dia!" "Hah, lagian siapa juga yang mau sama diri lo? Gue juga nggak mau sama cewek bar-bar yang nggak jelas seperti diri lo kali, lagian di luar sana masih banyak cewek yang mau sama gue kok, bahkan sangat cantik-cantik," ujar Yoga membanggakan diri, tapi memang seperti itulah pada kenyataannya. Apalagi dia memang senang jika disuruh tebar pesona, hal itu lah yang mampu mengikat perhatian perempuan di luar sana. "Nggak usah terlalu percaya diri deh lo, mereka suka sama lo itu hoax karena mereka lebih mengincar isi dompet lo. Gue tahu kok kalau diri lo itu seringkali memberikan barang-barang buat cewek yang sedang menjadi mainan lo dan dengan seperti itulah mereka mulai luluh. Lagian cewek mana sih yang tidak senang ketika diberi hal-hal yang bersifat barang, apalagi dalam bentuk uang." Yoga cukup terkejut mendengar pernyataan Diandra, dia tidak menyangka jika Diandra banyak mengetahui tentang dirinya. Awalnya sih dia agak ragu mengenai hal bahwa Diandra adalah anak indigo, tapi dengan hal itulah dia langsung percaya karena selama ini tidak ada yang tahu bagaimana strategi dirinya ketika akan mendapat perempuan yang sudah menjadi incarannya. Apalagi kali ini Diandra menyebutkannya secara detail di depan teman-temannya. Ya meskipun mereka itu saling mengenal, akan tetapi Yoga masih memiliki rasa malu, bahkan kali ini semburat malu pun muncul di kedua pipi Yoga dengan peluh yang membanjiri pelipisnya, terutama keringat dingin yang membasahi telapak tangan dan kakinya. Ada hal aneh yang saat ini Yoga rasakan, yaitu dia merasakan bahwa dirinya kalah dengan orang lain, apalagi seorang perempuan dalam perdebatan. Biasanya sih dia tidak mau kalah baik itu laki-laki maupun perempuan, sehingga dia seringkali disebut sebagai cowok yang menyebalkan. Di mata Yoga, jika salah ya tetap salah dan jika benar-benar tetaplah benar, akan tetapi hal tersebut akan berubah jika dirinya terlibat dalam suatu permasalahan. Jika dirinya salah, maka sebisa mungkin dirinya menyangkal agar tetap terlihat benar. Bisa dikatakan keras kepala juga sih atau bahkan tidak bertanggung jawab karena dia tidak berani mengakui kesalahan. Akhirnya Yoga pun berusaha untuk menetralkan ekspresi wajahnya agar tidak terlihat seperti orang yang benar-benar salah, meskipun itulah pada kenyataannya. Raut wajah dia terlihat datar, seakan seperti wajah orang yang memang cool, sehingga terlihat berwibawa. Akan tetapi hal tersebut tidak sedikitpun berpengaruh dalam diri Yoga, dia malah terlihat aneh dan tidak cocok, kesannya terlalu memaksakan diri. "Kenapa lo diam? Malu ya? Gue tahu kok kalau lo nggak malu karena memang pada dasarnya lo itu sangat malu-maluin dimana pun dan kapan pun itu. Gue bingung saja sama diri lo yang gengsinya minta ampun, gue nggak bisa menyebutkan, tapi yang jelas memang itulah yang gue rasakan," sindir Diandra secara terang-terangan, dia pun bangkit lalu menyandarkan tubuhnya di tembok sebelah ranjang. Terlalu banyak rebahan membuat dirinya malah semakin merasakan pusing dan perutnya malah sedikit mual. "Hm, nggak seperti itu juga konsepnya. Jadi, gue akan kasih tahu nih, dengarkan baik-baik. Lo ingat nggak sih bahwa diam nggak selamanya salah? Sebab, diam itu bisa dikatakan lebih baik karena malas tidak mau ikut campur urusan yang bisa dikatakan ribet saja sih. Lagian ya, itu kan urusan gue dan pertanyaannya kenapa diri lo malah yang sewot? Iri sama gue? Kalau iri bilang bos!" Yoga tersenyum miring, tepatnya seperti merendahkan ucapan Diandra. Mereka berdua saling melemparkan tatapan tidak suka. Andai saja Diandra bukan perempuan maka kemungkinan dia akan mengajaknya berantem. Hanya saja dia tidak mau citra dan harga dirinya turun drastis hanya karena berantem dengan perempuan, sehingga dengan cara ucapan lah dia bisa membalas tingkah Diandra. Lagian kan Diandra juga tidak menggunakan kekerasan fisik dan memang apa yang dikatakannya itu benar. Oleh karena itu, Yoga pun masih sadar diri atas apa yang dirinya lakukan selama ini. Namun, hal itu seperti sudah menjadi kebiasaan yang mengikat dirinya, sehingga dia pun tidak mau kalau nanti malah dirinya merasa kesepian jika meninggalkan perbuatan buruknya tersebut. Sebab, dengan cara itulah dirinya terhibur. "Iri? Gue nggak salah dengar kan? Ya kali cuma seperti itu saja iri. Heran banget sih sama diri lo itu, nggak banget deh sama otak lo. Ingat ya, gue nggak mau melakukan laki-laki seperti halnya lo melakukannya kepada perempuan, sehingga tidak sedikitpun gue merasa iri," jelas Diandra tidak mau kalah. Lagian dia juga tidak mau kalau dianggap sebagai perempuan yang suka menyakiti hati orang lain. Berbuat sesuatu saja dirinya sangat berhati-hati, apalagi berbuat kesalahan yang memang disengaja. Untung saja Diandra masih bisa bersikap tenang, sehingga tidak ada sedikitpun pada dirinya yang memang menunjukkan bahwa dia menahan malu, meskipun pada inti dan kenyataannya dia tidak seperti apa yang dikatakan Yoga. Menghadapi orang yang seperti Yoga tidak hanya sekali, dia beberapa kali pernah menghadapi orang seperti Yoga, sehingga dia tidak bisa terbawa emosi, malah dia yang sering membuat orang tersebut emosi, meskipun hanya dengan kata-kata. Namun, untuk kali ini dia masa bodoh saja tidak peduli akan Yoga yang memang sebenarnya perlu diberikan pelajaran. Diandra lebih mengutamakan kesehatannya daripada mengurus orang-orang yang menurutnya tidak terlalu penting. Masih banyak hal penting yang harus diselesaikan dan waktu tidak boleh disia-siakan. "Kalian ini pada kenapa sih? Gue pusing kalau mendengar kalian ribut terus. Lagian lo itu jadi cowok cerewet banget sih!" Ketus Gibran. Dia jengah melihat pertengkaran Yoga dan Diandra yang tiada hentinya. Apalagi mengingat kondisi Diandra yang sedang tidak baik-baik saja, seharusnya sebagai cowok kan harus peka, bukan malah mau menang sendiri. "Lo juga kenapa ikut-ikutan ngajakin ribut?" Tanya Yoga sedikit menaikkan nada bicaranya. "Jadi orang sensitif banget, gue kan cuma nanya, harusnya lo itu jawab bukan malah balik tanya. Heran deh sama otak lo itu. Oh, gue tahu karena otak lo itu hanya ada perempuan-perempuan yang akan jadi korban lo selanjutnya ya?" Tuduh Gibran menyipitkan kedua matanya dengan jari telunjuknya menuding tepat di depan wajah Yoga. Plak! Suara tamparan pada tangan Gibran yang dilakukan oleh Yoga guna menyingkirkan jari telunjuknya yang terus menuding dirinya. Dia tidak suka kalau ada orang yang seakan-akan menyudutkan dirinya, baik itu orang terdekatnya maupun orang lain. Sebab, dianggap tidak sopan. Dia selalu berpikir jika masih bisa didiskusikan maka tidak harus saling menjatuhkan. Semua hal masih bisa diselesaikan dengan cara baik-baik tanpa ada yang merasa tersakiti. "Jauhkan tangan kotor lo dari hadapan gue!" Sentak Yoga menatap Gibran tajam. "Apaan sih? Bisa santai nggak?!" "Gue akan santai jika lo santai sama gue, lo nggak mikir kalau kelakuan lo itu nggak pantas untuk dilakukan kepada orang lain?" Gibran membuang napasnya kasar. "Lo bisa nggak sehari saja nggak usah nyari gara-gara? Hidup lo terlalu nganggur atau bagaimana sampai di waktu seperti ini malah ngajakin ribut. Untung gue masih sabar dan hari ini gue malas untuk berbuat hal-hal aneh, kalau tidak--" "Apa? Kalau tidak maka lo mau ngajakin berantem? Ayo, gue akan tunggu setelah di luar jam sekolah dan jangan di sekolah ini, apalagi sekarang ini masih ada acara MPLS. Lagian siapa takut!" Tantang Yoga dengan senyum devilnya. Memang sih soal berkelahi, dia sering melakukan hal tersebut. Lagi-lagi Gibran membuang napas kasar, tapi kali ini dilanjut dengan menghela napas agar dirinya tidak emosi. "Huft, untung saja usus gue panjang. Andai kalau tidak, gue nggak tahu lagi harus berbuat apa biar gue nggak cepat tua. Capek banget ngomong sama cowok yang pikiran dan tingkahnya sok oke banget." Yoga menuding Gibran menggunakan jari telunjuk kanannya. "Lo tuh--" "Apa? Nggak mikir sama kelakuan lo sekarang ini? Butuh kaca?!" Tukas Gibran dengan beberapa pertanyaan yang langsung diucapkan. Dia juga tidak terima karena ternyata Yoga sama saja sebagai dirinya. "Diandra, lo pusing nggak? Mumpung kegiatan MPLS sudah selesai, lebih baik kita pulang saja, ayo!" Ajak Dafa sudah tidak betah mendengarkan keributan di antara mereka. "Gue sih inginnya gitu, tapi gue butuh jemputan dari sopir pribadi gue. Kalau masalah motor sih biarkan ditinggal di sini atau nanti sopir gue bawa asisten rumah tangga yang kerja di rumah. Gue benar-benar nggak sanggup kalau harus pulang sendirian bawa motor. Perut gue mual dan kepala gue sakit banget," ujar Diandra, sekarang ini dia memang masih terlihat lemas, tidak dapat dibohongi karena terlihat jelas dari warna bibirnya yang pucat. "Memang begitu ngaruh banget ya?" Tanya Dafa sedikit meringis membayangkan apa yang dirasakan oleh Diandra, meskipun dia tidak ada hubungan apa pun dengan Diandra, tapi entahlah jiwa simpatinya benar-benar merasuk ke dalam hati. "Gue nggak begitu tahu sih, tapi ada hal yang gue pernah dengar dari beberapa orang. Katanya kalau menghadapi hal ghaib tidak kuat, maka efek yang akan didapatkannya cukup bahaya. Bahkan dulu teman gue sampai ada yang muntah darah, tapi tidak sampai pingsan, hanya saja dia terlihat lemas banget," jelas Diandra mengingat kejadian tersebut hingga sampai saat sekarang ini, dia selalu bergidik ngeri ketika memorinya menuntut dirinya untuk bisa mengingat hal tersebut. "Wow, ngeri banget ya. Oh iya, memangnya lo menghadapi yang tadi nggak kuat ya?" Tanya Dafa untuk memastikan. "Ya lumayan sih, gue nggak begitu ahli dalam hal seperti itu. Entah kenapa terkadang jiwa gue tergerak sendiri tanpa diri gue minta, makanya terkadang gue lemah seperti tadi karena memang gue sendiri belum siap." Diandra memalingkan muka lalu menghela napas. Dia baru sadar bahwa makhluk tersebut sudah pergi dari ruangan. "Hm, ya sudah kalau seperti itu, lebih baik lo pulang saja biar gue antar, untuk masalah motor lo biar nanti sopir lo yang ngambil, nanti sopir lo pergi ke sini diantar gue biar nggak melibatkan asisten rumah tangga yang kerja di rumah lo," ujar Dafa. "Gue nggak salah dengar?" Tanya Diandra memastikan karena dia masih tidak menyangka saja. "Enggak, jawab iya atau tidak sebelum gue berubah pikiran karena dalam waktu satu menit saja gue bisa berubah jika hal itu menurut gue ribet." "Ya sudah iya," jawab Diandra tanpa pikir panjang karena sekarang ini dia sudah tidak kuat dan tujuan utamanya sekarang adalah rebahan di dalam kamar untuk melepaskan penat selama di sekolah. Dafa membantu Diandra turun dari ranjang, lalu memapahnya jalan untuk antisipasi agar tidak jatuh mengingat kondisi tubuhnya yang masih lemah. Sebenarnya sih Dafa ingin menggendongnya saja agar cepat sampai di parkiran, hanya saja dia masih ingat bahwa saat ini dirinya sedang berada di lingkungan sekolah. Ditambah lagi bahwa dirinya adalah ketua OSIS, dia tidak ingin merusak reputasinya. Di samping itu, Yoga dan Gibran masih terus berdebat mempermasalahkan hal tadi. Mereka berdua tidak peduli tempat. Hanya ego saja yang terus di besar-besarkan. "Loh, kalian berdua mau kemana?" Tanya Gibran terkejut. Bukannya menjawab, Dafa dan Diandra malah tetap jalan meninggalkan ruang UKS.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN