"Kenapa nggak dijawab dulu?" Tanya Diandra sambil memegangi pelipis kanannya guna menahan rasa sakit yang sejak tadi menyerang kepalanya. Dia juga bingung karena ini yang paling parah di antara yang pernah dirinya alami. Jika ditanya sakit atau tidak maka jawabannya sakit, apalagi saat ini dia selalu mengira bahwa apa yang dilakukan dirinya bisa berakibat fatal dan sekarang pun benar-benar terjadi.
"Nggak perlu, Di. Mereka itu orangnya menyebalkan dan kalau dijawab nggak akan ada habisnya," jawab Dafa.
"Iya juga sih. Mereka itu cowok, tapi seperti nggak ada bedanya sama cewek, banyak omong banget dan bikin telinga gue panas. Gila nggak sih mereka seperti nggak mau kalah."
"Nah, maka dari itu gue malas ngeladenin mereka, seperti buang-buang waktu saja."
"Hm, terserah lo saja deh, gue sih masa bodoh saja karena gue memang malas berhubungan dengan hal-hal yang mereka lakukan tadi, ya meskipun terkadang diri gue seperti mereka."
Dafa menghela napas sambil sedikit menggelengkan kepala. "Huft, terserah lo saja deh, gue nggak mau ikut campur."
"Iya, oke."
Mereka berdua berjalan beriringan menuju ke parkiran sekolah. Banyak beberapa pasangan mata yang menatap mereka heran. Apalagi melihat Dafa yang sedang memapah perempuan, padahal biasanya dia masa bodoh dan malah akan mengundang orang lain untuk membantunya dengan berdalih dirinya sedang ada urusan. Entahlah Dafa juga tidak tahu mendapat dorongan dari mana hingga dirinya mau membantu Diandra berjalan dan bahkan mengantarkannya pulang ke rumah. Padahal jika pada waktu sebelumnya, Dafa seringkali merasa bahwa hal tersebut adalah hal yang membuatnya cukup rumit dan ribet. Dia menganggap seperti itu, karena arah jalan yang beda jauh. Beda cerita lagi kalau satu arah, maka jika diminta pertolongan pun akan baik-baik saja. Jika disuruh jujur, sebenarnya Dafa tidak ingin, tapi terkadang kalah malu saja karena merasa tidak enak sendiri. Lagian dia juga masih memikirkan perasaan orang lain jika ditolak permintaannya. Dafa saja jika memiliki permintaan tidak terpenuhi seperti terasa aneh saja. Oleh karena itu, dia tidak mau melakukan hal tersebut kepada orang lain, kecuali jika keadaannya mendesak ataupun mood nya yang lagi hancur. Sebab, menolong orang tanpa mood yang baik maka pekerjaan yang dilakukan dengan dasar yang tidak ikhlas. Terkadang hal itu lah yang jarang disadari oleh orang lain dan mereka sadar jika sudah terjadi sebuah kerugian, baik itu sedikit ataupun banyak terjadi masalah dengan orang tersebut, baik sengaja maupun tidak sengaja.
Tak lama kemudian mereka berdua sampai di parkiran motor. Kedua mata Dafa menyapu halaman parkiran motor untuk mencari letak motornya, dia menatap dari ujung kanan sampai ke ujung kiri. Hal itu dia lakukan bukan berarti lupa letak motornya, hanya saja terkadang letak parkir motornya berubah karena di tata oleh pak satpam agar tertata rapi. Lagi pula memang itulah caranya agar tidak terlalu banyak menghabiskan banyak lahan. Terkadang memang ada beberapa anak yang suka parkir di sembarang tempat, meskipun di bagian depan itu sebenarnya masih ada. Mereka hanya ingin mengincar tempat di mana agar ketika pulang mudah diambil. Biasanya kalau berada di tengah-tengah maka pulangnya akan menunggu sampai agak longgar, khususnya bagi orang yang tidak mampu menarik ataupun menggeser motornya sendiri, terlebih lagi takut kalau terjadi gesekan yang membekas di bagian motor, sehingga akan mempengaruhi tampilan motor.
Arah pandang kedua mata Dafa berhenti tepat pada sudut kanan pojok atas, rupanya motornya di sana. Sedikit tidak terlihat jika di pandang dari depan karena sedikit tertutupi batang pohon mangga yang cukup besar. Padahal sebelumnya Dafa memarkirkan motornya agak di tengah-tengah. Namun, mau bagaimana lagi memang itu pekerjaan satpam untuk merapikan parkiran motor. Tugas satpam memang menjaga keamanan, akan tetapi di SMA Garuda tiap pagi memang bertugas merapikan dan mengatur siswa parkir motor, semua itu juga kembali lagi kepada keamanan dan kenyamanan. Dikatakan keamanan karena jika tidak tertata rapi maka akan membiarkan beberapa orang yang saling berdesakan.
Sebelum melanjutkan langkah kaki, Dafa menatap Diandra terlebih dahulu. Salah satu alisnya terangkat sebelah menunjukkan tanda bingung dengan raut mukanya yang sedikit tegang. Kali ini Dafa merasakan tegang karena biasanya dia akan terlalu masa bodoh mengingat hal tersebut.
"Diandra!" Panggilan Dafa tidak mendapatkan jawaban, dia malah masih tetap berdiri dengan tatapan mata lurus ke arah satu tempat, meskipun tidak ada sesuatu yang berada di tempat tersebut.
Satu kali panggilan tidak mendapatkan respon, maka tidak akan membuat dan membiarkan Dafa tinggal diam karena dia merasa malu jika diperlakukan seperti hal tersebut. Bayangkan saja ketika memanggil seseorang malah tidak mendapatkan respon baik, pasti akan sedikit kesal, seperti halnya yang Dafa lakukan. Dia pun menghembuskan napas kasar karena menahan marah.
Dafa tidak mudah menyerah begitu saja, dia pun kembali mendekati Diandra dan bahkan kali ini lebih dekat. Dia mengibaskan tangan kanannya tepat di depan wajah Diandra. Dafa sendiri sampai bingung karena Diandra sama saja belum ada respon. Bulu kuduk Dafa berdiri dengan pori-pori nya yang membuka, dia merasa merinding karena tingkah Diandra. Apalagi posisi mereka masih berada di lingkungan sekolah. Dafa hanya takut kalau ternyata nanti ada hal buruk yang tadi kembali lagi terjadi.
Sebuah ide pun terlintas dalam pikiran Dafa. Sebuah tepukan di bahu memberikan harapan kalau Diandra akan sadar dan baik-baik saja. Namun, dengan cara itulah tidak memberikan keyakinannya pada diri Dafa, tapi tidak ada salahnya jika dicoba terlebih dahulu. Sedikit demi sedikit dia mengulurkan tangan kanannya, hingga pada akhirnya dia berhasil mendaratkan tepukan tersebut dengan ditambah sedikit pukulan.
Bugh!
Satu kali tepukan dan pukulan tersebut membuat Diandra terkejut dan anehnya kedua matanya bisa terpejam sebentar. Dafa masih tetap berpikir positif karena hanya dengan cara itulah yang bisa dia lakukan. Dia benar-benar takut dan dia juga pernah mendengar bahwa berpikir negatif juga sama halnya mengundang aura bahaya, padahal sih sebenarnya tidak ada apa-apa.
Diandra pun menatap Dafa. "Ada apa?"
"Nggak ada apa-apa, lo baik-baik saja kan?"
"Baik-baik apanya? Gue sedang nggak baik-baik saja, gue capek dan ingin istirahat," jawab Diandra agak sedikit meninggikan nada bicaranya dan bahkan raut wajahnya pun terlihat agak kesal, bisa dilihat dari kedua alis dan bibirnya.
"Oke, tunggu di sini saja sebentar!" Pinta Dafa lalu melanjutkan melangkahkan kaki menuju motornya. Dia memakai jaket yang sudah menjadi ciri khasnya lalu dilanjutkan memakai helm. Setelah itu, dia menancapkan gas dan berhenti tepat di depan Diandra.
Tatapan wajah Dafa memberikan sesuatu yang seperti akan disampaikan, akan tetapi dia tidak tahu pesan apa. Satu hal yang sedang dia bingungkan karena Dafa terlihat biasa saja, meskipun tadi dirinya cukup menyentak Dafa dengan menaikkan tinggi nada bicaranya. Ada sedikit rasa bersalah dalam dirinya sih, tapi mau bagaimana lagi jika hal itu memang sudah terlanjur, lagian segala ucapan itu tidak bisa ditarik kembali dan pasti sudah melekat maupun membekas di hati, baik itu sesuatu yang baik ataupun sesuatu yang buruk. Hal tersebut sebenarnya masih bisa diobati maupun dihilangkan dengan cara diobati menggunakan permintaan maaf. Namun, di sini posisi Diandra adalah orang yang juga memiliki gengsi cukup tinggi, sehingga seperti percuma saja.
"Bonceng motor aman kah?" Tanya Dafa, wajahnya tetap terlihat biasa saja, tidak dingin seperti yang biasa Diandra lihat. Hal itulah yang membuat Diandra sejak tadi berpikir aneh karena rasanya orang yang berdiri di depannya ini bukan Dafa, melainkan orang yang tidak dirinya kenal. Nah, di sisi lain, dia melihat segala bentuk tubuh dan paras wajahnya itu memang milik Dafa.
Bukannya menjawab, Diandra malah bertanya, "Maksudnya?"
"Ya kan kondisi lo saat ini sedang lemas gitu, siapa tahu bonceng saja nggak kuat," jelas Dafa.
"Oh, kalau itu sih aman. Gue nggak akan kenapa-napa hanya karena bonceng motor saja kok. Lagian seperti itu saja ngapain takut sih."
"Heh, yang bilang takut tuh siapa? Gue cuma nanya akan kah aman atau tidak? Heran banget deh sama lo!"
"Lo tuh dari tadi heran mulu, kapan sih nggak akan herannya? Gue lebih heran kalau lo heran terus karena memang seperti itulah yang gue rasakan saat ini."
Dafa tersenyum sinis. "Lo nya juga kenapa harus dipikir dan bahkan dibuat heran coba? Kalau lagi ada yang ringan kenapa dibuat yang berat? Heran banget sama cewek yang suka ribet gitu."
"Tuh kan heran lagi dan heran lagi, nggak ada kata lain selain heran apa?" Tanya Diandra lalu mencebikkan bibirnya.
"Ada kok," jawab Dafa tegas.
"Apa tuh?"
"Heran banget, hahahaha."
Diandra pun memutar bola matanya malas, rasanya dia seperti sedang berbicara dengan air yang tiada batasnya seperti air terjun. Sedikit menyebalkan, akan tetapi sedikit terasa ada leluconnya. Hanya saja Diandra berusaha untuk tidak ikut tertawa. Gengsi saja lah kalau disuruh tertawa seperti itu, lagian kan Dafa itu orangnya suka garing, sepertinya selera humornya tinggi. Kalau dia receh maka tingkahnya itu tidak akan terlihat cool di depan orang. Nah, sedangkan Dafa itu memperlihatkan senyumnya di depan orang lain saja tidak, kecuali dalam hal yang begitu lucu.
"Lo tahu nggak sih kalau ucapan lo tadi nggak ada sedikitpun yang buat lucu, lagian apa bedanya heran dengan heran banget? Paling cuma ketambahan banget saja."
"Ya sudah sih nggak apa-apa karena yang terpenting ada bedanya."
"Huft, terserah lo saja deh, gue malas berdebat. Sekarang kita pulang!" Ajak Diandra langsung duduk di belakang Dafa.
Hampir saja mereka akan terjatuh karena Dafa belum siap. "Gila lo ya, kalau lo yang jatuh sih gue ikhlas, tapi bagaimana dengan nasib motor kesayangan gue ini? Lo nggak mikir banget jadi cewek!"
"Kalau motor lo kenapa-napa ya tinggal beli lagi saja, lagian lo kan anak orang kaya."
"Heh, lo pikir motor Vespa harganya murah apa? Lo pikir nyari duit itu seperti memetik daun? Nggak ngotak banget jadi cewek!" Ketus Dafa.
Inilah hal yang Diandra tunggu sejak tadi, dia baru yakin bahwa rupanya orang yang berada di depannya ini adalah Dafa, si ketua OSIS yang terkenal dengan cool, keras kepala, dan bahkan sulit bergaul dengan orang lain. Namun, di antara itu semua tidak mungkin sih karena Diandra yang sudah merasakan ketika berdekatan dengan Dafa secara langsung. Kalau hal tadi itulah yang beberapa kali diungkapkan mereka yang tidak kenal. Beda orang beda cerita karena disitulah akan tahu bagaimana arti kedekatan.
"Lo lebih nggak memikirkan nyawa gue? Lo tahu nggak sih kalau nyawa nggak bisa dibeli?" Tanya Diandra.
"Halah, terlalu banyak omong lo! Kalau takdirnya mati ya mati, lagian jatuh dari motor dalam kondisi motor mati nggak akan bikin nyawa lo hilang kali, paling sekarat sedikit kalau lo punya riwayat jantung," jawab Dafa.
"Lo menyebalkan banget sih, gue nggak ngapa-ngapain lo!"
"Sudahlah nggak usah banyak berisik lagi, gue pusing dengar suara cempreng lo. Pegangan atau lo akan jatuh diperlukan gue, nanti dikira gue yang modus!" Ketus Dafa.
"Lo tuh ya kalau ngomong suka--"
Brum!
Tanpa banyak berbicara lagi, Dafa langsung menancapkan gas dan hal itulah yang tanpa sengaja membuat Diandra menabrak punggung Dafa dari belakang. Bahkan tanpa sadar kedua tangannya dalam posisi memeluk Dafa dari belakang. Dia sangat terkejut, apalagi posisinya sekarang sedang berada di lingkungan sekolah. Untung saja di lingkungan parkiran sudah tidak ada orang.
"Dafa, modus banget sih!" Teriak Diandra tidak terima.