3. Istri Abian, juga.

1314 Kata
Kamar itu tampak terasa lengang dan sunyi. Hanya ada suara tarikan dan embusan napas milik Fatima, serta suara detakan pada pukul jarum jam yang ada di dinding kamar tidur milik Fatima dan Abian itu. Sepi, sesepi rasa hati Fatima. Seakan-akan kebahagiaan yang ia punya selama menikahi Abian, hilang lenyap tersapu oleh bayangan kesakitan yang telah diciptakan oleh Abian. Entah sudah berapa kali helaan napas yang Fatima lakukan. Berharap banyak dan sesekali tampak ia memejamkan mata, jika satu hal yang sudah merusak kedamaian dan kebahagiaan hatinya itu, hanyalah sebuah mimpi atau ilusi saja. Namun, ketika helaan napas itu akan terulang kembali, ia pun semakin menyadari bahwa itu memang terasa nyata, dan bahwa itu semua memang benar-benar sudah terjadi. Berkali-kali ia pun berdesis di dalam hati. Apa salahnya? Apa kekurangannya? Apa dan Apa? Namun, tidak jua mendapatkan jawabannya. "Kenapa kamu lakukan hal setega ini, Mas? Aku ini siapa untukmu? Bukankah sudah berpuluh tahun lamanya kita selalu baik-baik saja? Apa, cuma aku yang merasa baik-baik saja?" gumam dan tanya Fatima pada dirinya sendiri. Tampak ia meringis perih dengan raut wajah layaknya orang linglung. Fatima tampak menoleh ke arah dua benda yang teronggok damai di atas meja rias miliknya, yaitu dua benda yang berhasil membuat pagi harinya itu menjadi hancur dan menyedihkan. Satu map yang berisi formulir dan berkas-berkas pengajuan pembelian rumah. Serta satu buah ponsel milik sang suami. Sekali lagi Fatima pun menghela napas berat dan sakitnya. Hingga ia spontan menepuk tepuk pelan d**a dengan kepalan telapak tangan kanannya itu. Seolah-olah ingin berharap bisa mengusir rasa yang sangat menyesakkan itu. Kemudian, Fatima pun beranjak dari tepian tempat tidur. Di kamar itu, ia sendirian. Lebih tepatnya memilih untuk menyepi untuk sementara waktu. Dengan alasan tidak enak badan, akhirnya Fatima pun membatalkan pergi ke kantor tempatnya bekerja. Bahkan di depan kedua putra dan putrinya pun, Fatima hanya mengaku sedang sakit kepala dan flu saja. Terbukti dari suaranya yang serak karena menahan tangisan yang lebih keras. Fatima tidak ingin, kesakitannya pagi itu, diketahui oleh kedua anaknya. Sedangkan sang suami setelah berusaha menenangkan hati Fatima, dan sedikit memberikan alasan yang tetap saja bagi Fatima itu tidak masuk akal. Abian pun berpamitan kepada istrinya itu, untuk mengantar sang putri, Fabia, pergi ke sekolah sesuai dengan janjinya semula. Berbeda dengan Akhalana, atau yang sering dipanggil Aka itu, memilih berangkat sendiri ke sekolah dengan menggunakan motor miliknya sendiri. Walaupun ada sebersit rasa penasaran di wajah Aka, ketika melihat keadaan dari bundanya itu. "Bunda, bener hanya sakit biasa saja?" tanya Aka, saat itu ingin memastikan. "Iya, Kak. Bunda, hanya sedikit pusing dan flu. Makanya mau istirahat saja dulu," jawab Fatima, berusaha menutupi perasaannya di depan sang putra jagoan. "Baiklah.Kalau ada apa-apa, bilang saja. Aka bukan anak kecil lagi kok," "Iya, Sayang. Udah, berangkat sekolah sana. Nanti bisa terlambat kalau Kakak kelamaan di sini," Dan Akhalana pun memberikan salim pada telapak tangan kanan bundanya tersebut, dan mengecup lembut kening sang bunda. Kembali lagi pada lamunan dan kesepian yang dimiliki oleh Fatima. Dalam kesendiriannya itu, Fatima pun hanya bisa terdiam tanpa tahu harus melakukan hal apa. Sungguh, goncangan pada jiwa dan hatinya itu terlampau berat, hingga memaksa otak dan pikirannya itu juga menjadi melemah karena lelah. Bahkan hanya untuk mengingat kembali semua ucapan dan alasan suaminya saat itu pun, Fatima merasa sudah tidak sanggup lagi. Berkali-kali ia tampak menggelengkan kepala, lalu mengibaskannya lagi, seakan-akan ingin mengenyahkan semua ingatan dan bayangan pagi kelamnya itu. Namun, tetap saja tidak mungkin bisa. "Aku hanya berpikir satu hal. Kamu sudah berkhianat. Bagiku kamu itu sudah selingkuh di belakangku. Kamu sudah menduakan statusku, Biyan." "Beri aku waktu. Aku akan menyelesaikan semua ini secepatnya," sangkal Abian saat itu. "Apa aku harus percaya?" "Untuk kali ini. Aku sangat berharap, kamu masih mau bisa percaya padaku, Fa." "Percaya? Percaya untuk apa?" tanya Fatima bahkan dengan nada meremehkan. "Masih kurang, dengan kepercayaan yang aku berikan selama ini?" "Please ... aku memang salah, Fa. Untuk kali ini, tolong beri aku waktu untuk membereskan semuanya," janji Abian pagi tadi. "Dibereskan? Dibereskan gimana maksud kamu?" tanya Fatima dengan nada sinis. Apakah semua pria seperti ini jika satu rahasianya sudah terbongkar? Berusaha mengubur dan melupakan sebuah fakta kejahatannya. Abian pun menganggukkan kepalanya. "Ada banyak alasan dan hal yang harus aku selesaikan dulu dengan Nura," "Ouh! Nura namanya? Nama yang cukup indah," sahut Fatima dengan suara pelan tetapi masih terdengar di telinga suaminya itu. "Orangnya pasti juga sangat indah. Sampai kamu bisa terpikat dan merasa nyaman bersamanya," lanjutnya masih dengan nada pelan, tetapi cukup sarkas bagi Abian. "Bukan begitu, Fa. Aku___" "Aku bukan bodoh, Biyan! Apa yang akan kamu bereskan dengan wanita itu? Ha! Menceraikannya? Membuangnya? Bahkan ... mataku ini enggak buta, hei! Kamu, begitu terlihat sangat sangat bahagia saat berbicara di telepon dengannya. Kamu tahu, aku sudah berusaha untuk enggak curiga setiap mempergoki tingkah laku kamu akhir-akhir ini. Karena apa!!? Karena, aku selaluuu percaya padamu, Biyan. Masih kurang? Ha! Masih ...?" sela Fatima memotong sangkalan yang akan dilontarkan kembali oleh suaminya itu. Sangat jelas terdengar nada geram dan amarah yang tertahan bercampur dengan gemetar nya bibir sang istri. Abian pasti tahu dan menyadari, Fatima sudah hancur atas ulah dan pengkhianatannya tersebut. "Aku bisa jelaskan, Sayang. Bagaimana pun aku gak pernah lupa dirimu___" "Persetan dengan penjelasan kamu, Bi. Aku bahkan bingung. Kamu, hanya sedang bercanda denganku atau sengaja membuatku seolah-olah seperti pecundang?" ucap Fatima dengan bibir yang masih bergetar pedih, perih, dan sedih. "Fa? Kamu tega menilaiku begitu?" tanya Abian dengan wajah sendunya. Dan tentu saja hal tersebut membuat Fatima yang masih sedang bersedih sakit semakin menunjukkan aura sinisnya. Kalau Fatima tega, lalu apa kabar dengan diri Abian sendiri? "Oke! Aku ... akan berusaha untuk percaya lagi dengan janji kamu, untuk kali ini. Urus segera! Bereskan dan selesaikan! Aku enggak butuh alasan yang lain lagi." Dengan nada tegas dan tanpa melihat ke sisi wajah suaminya sama sekali, Fatima pun tanpa berasa basi lagi akhirnya mengeluarkan ultimatum tersebut. Dan dengan perasaan yang bercampur aduk, ia pun menghempaskan tubuhnya di tepi ranjang tempat tidur. Memang sangat terdengar begitu tegar dan tegas semua kata-kata yang keluar dari bibir Fatima itu. Namun, tetap saja setiap manusia akan bisa menilainya. Ada gurat-gurat kehancuran juga pada dirinya. Terdengar nada dering, pertanda panggilan masuk. Entah dengan alasan apa, Abian memang meninggalkan ponsel miliknya tersebut begitu saja di hadapan Fatima. Bahkan tanpa Fatima meminta itu semua. Karena bagi Fatima, semua sudah terjadi dan terlambat untuk mengembalikan ke posisi dan suasana awal. Fatima pun tampak tersadarkan dari lamunan dukacitanya itu, lalu meraih benda persegi panjang tersebut, dan segera melihat ke arah layar utamanya. Nama 'ketua' yang dibuat sang suami sebagai nama kontaknya untuk menyamarkan rahasia dari status barunya yang lain, telah terpampang nyata di sana. Dengan pikiran yang masih kalut berkabut, Fatima pun langsung segera mematikan daya ponsel tersebut, lalu membuka dan mengeluarkan kartu SIM dari ponselnya. Tujuannya pun hanya satu saat itu, mengenyahkan benda kecil tersebut, agar sang pengganggu rumah tangga mereka tidak akan bisa menghubungi suaminya kembali. Dan Fatima pun tanpa berpikir panjang lagi, segera mematahkan benda tipis kecil itu menjadi beberapa bagian. Ada sesak yang semakin menghimpit ulu hatinya, semakin erat hanya menunggu waktu kapan akan meledak saja. Setelah beberapa menit, terdengar kembali nada pesan masuk. Dan tentu saja bukan pada ponsel milik Abian lagi. Dikarenakan ponsel milik suaminya itu sudah dalam keadaan mati daya. Fatima segera meraih ponsel miliknya sendiri. Dan segera membuka aplikasi berwarna hijau, untuk membuka pesan chat yang terkirim ke nomornya itu. Jangan lancang kamu. Pakai sita-sita HPnya Mas Abi. Asal kamu tahu ya. Mas Abi itu juga suamiku, sekarang. Aku juga punya hak yang sama lah kayak kamu. Lihat sekarang. Biarpun HPnya kamu sita, tetap ajaa kan, dia datang ke tempatku. Jangan lebay deh. Suami udah capek-capek kerja, gak usah dah dibikin pusing. Makanya sekarang, dia lebih merasa nyaman kan sama aku. Karena apa? Karena aku lebih ngertiin perasaan dan keadaan dia, daripada kamu, yang katanya istri sahnya. Gak usah baper. Aku juga udah sah jadi istri Mas Abi. . . Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN