"Jangan tanyakan perasaan padaku. Satu kali bertemu dengannya adalah hal pertama yang belum pernah kurasakan." ~ Horizon Cakrawala
*****
Kedua mata lelaki itu nyalang menatapi tak suka ke arah Sauna, sebab gadis itu menatapnya seperti sedang melihat hantu saja. Tubuh Sauna seolah mati rasa susah buat digerakkan sesaat mendapati bola mata hitam legam milik lelaki asing di depan itu, terarah padanya. Ia merasakan aura dingin dari dalam manik Horizon menjalar menyentuh tubuhnya, saat bibir merah bervolumenya tak lagi bergerak.
"Apa kau tuli?!" sentaknya. Butuh persekian detik bagi Horizon membuka mulut.
Sauna terjingkat kaget, "a-aku." Ia menunduk lagi, tak berani menemui wajah Horizon. Ia juga merasa ketakutan mendengar suara bentakan barusan.
Lelaki itu merasa sedikit bersalah, atas ekspresi ketakutan yang jelas terlihat di wajah gadis di depannya. Suara yang bisa membuat siapapun melebarkan bola matanya.
"Aku gak suka mengulang kata yang sama," ujarnya pelan.
Mendengar suara lelaki tersebut menggema pelan tak lagi setinggi sebelumnya, perlahan Sauna mengangkat wajah meskipun ekspresi takut dan ragu-ragu masih melekat di wajahnya. Ia mencoba menemui bola mata Horizon, si lelaki tampan tapi menyeramkan bagi dia.
"Ma-maaf, aku hanya terkejut dengan ucapanmu tadi. Bagaimana bisa dua orang asing langsung menikah. Itu aneh bagiku," balas Sauna, ia mencoba kuat, tapi bukan berarti itu bertahan lama untuknya menatap Horizon.
Horizon mendesahkan napas ke udara. Pikirannya ikut membenarkan perkataan Sauna barusan. Tidak ada yang salah dengan ucapan gadis polos dalam pandangannya. Hanya saja, Horizon masih memiliki niat dan pikiran yang sama dengan tujuan awalnya menemui Sauna. Ia harus bisa membujuk Sauna untuk menikah dengannya.
"Begini maksudku, Nona. Aku paham dengan ucapanmu tadi dan itu sama sekali gak salah. Jika aku jadi dirimu, aku juga akan berpikir demikan. Namun, dari informasi yang kuterima dari Stevano, kau sudah menjomlo selama dua tahun karena ditinggal nikah sama kekasihmu. Aku gak suka membuang waktu, Nona. Aku gak mau kita masuk ke dalam tahap pacaran, itu rasanya buang-buang waktu saja. Dan di satu sisi, kau bisa membalaskan perbuatan laki-laki yang pernah kau cintai. Adil bukan?"
Desahan kasar dari napas Sauna mengudara. Bukan karena marah atau frustasi, gadis tersebut memilih menundukkan kepala. Ia sesungguhnya sedang malu.
"Segitu detailnya kau tahu tentangku, Tuan? Apa ada lagi yang kau ketahui tentang aku selain dari yang kau sebut barusan?" tanyanya dengan suara lirih.
Horizon mengangguk, meskipun Sauna tidak melihat ke arahnya.
"Kau ditelantarkan oleh papamu karena dia menikah lagi dan memilih keluarga barunya. Lalu, kau memilih keluar dari rumah untuk tinggal di apartemen milik Gangika. Apa aku salah?"
Seperti sedang ditelanjangi terang-terangan oleh lelaki asing yang tampak tenang di posisinya, Sauna enggan mengubah pandangan, ia memilih memejamkan singkat kedua matanya. Telapak tangan satunya terangkat menutupi wajah.
"Aku benar-benar malu dengan ulah keduanya," gerutunya kesal.
"Jangan merasa malu, Nona. Aku dan kau sama-sama memiliki kisah yang sama. Bagaimana dengan permintaanku tadi? Apa kau setuju?" tanyanya dengan sedikit desakan.
Dengan sisa keberaniannya, Sauna menggerakkan kepala ke atas, ia melayangkan tatapan penasaran ke Horizon.
"Apa maksudmu kita memiliki kisah yang sama?" Bola mata Sauna sama sekali tak bergerak menanti jawaban.
Hening beberapa detik, sebelum Horizon kembali membuka suara.
"Sudah kukatakan, aku nggak suka mengulangi ucapanku. Berikan jawabanmu sekarang," balasnya tanpa merubah mimik wajah.
"Apakah harus sekarang?"
"Ya, aku mau secepatnya. Jika kau menerima tawaranku, besok aku akan membawamu mendaftarkan pernikahan kita."
"Ngah? Kau sudah gila? Kenapa secepat itu?" tanya Sauna merasa kaget. Ucapan Horizon sukses membuat matanya hampir keluar.
"Aku masih waras! Aku butuh pendamping hidup, apakah alasanku cukup memuaskanmu? Jangan banyak tanya lagi, tentukan saja pilihanmu. Aku berikan kau waktu satu malam untuk memikirkannya. Berikan saja besok jawabanmu. Jika kau sudah siap, aku akan utus asisten pribadiku untuk menjemputmu. Segala urusan tentang pernikahan, aku yang siapkan. Semuanya tanpa terkecuali." Tidak perlu diragukan lagi kekuasaan yang dimiliki lelaki sepertinya.
Sebulan yang lalu tepatnya, Horizon meminta Xelo—asisten pribadinya, ntuk mencari tahu tentang kehidupan Sauna secara mendetail. Ia tertarik dan menerima tawaran Stevano dan menerima perjodohan yang ditawarkan oleh teman dari berbinisnya itu.
Hanya saja ia tidak mau memadu kasih dalam ikatan pacaran. Horizon ingin langsung menikahi Sauna, karena ia lelah dipaksa menikah dengan gadis pilihan papanya demi sebuah keuntungan bisnis yang membesarkan nama perusahaan keluarganya.
"Baiklah ... berikan aku waktu untuk berpikir."
"Oke. Kemarikan hapemu," balasnya.
"Untuk?"
"Selalu saja memberikan pertanyaan atas pertanyaanku sebelum memberikan jawaban. Berikan saja padaku." Horizon mengulurkan tangannya membuka telapak tangan yang menggantung di udara ke arah Sauna.
Dengan rasa terpaksa, Sauna mengambil hape dalam tas jinjingnya. Bibir itu memberut, merasa tak suka dipaksa. Bola matanya masih meneliti ke arah Horizon, yang sama sekali tidak berpindah tatap.
"Ini." Dia meletakkan hape layar sentuh model lama ke atas telapak tangan Horizon.
Sekilas ia melirik wajah Sauna, sebelum menyentuh benda pipih gadis tersebut dan mengetikkan sesuatu di sana. Suara ponselnya berdering untuk beberapa detik, sebelum ia mengembalikan benda tersebut ke Sauna.
"Aku udah simpan nomorku dengan namaku. Nanti kau bisa menghubungiku, jika kau sudah tahu jawaban apa yang sebaiknya kau berikan padaku."
"Baiklah," balasnya menurut.
"Gadis penurut," gumam Horizon dalam hati.
"Kalau begitu aku pergi." Horizon beranjak dari atas tempat duduknya. Ia hampir melaju langkah, namun terhenti mengingat sesuatu.
Kakinya mundur satu langkah, tepat berdiri di samping Sauna, "kita tidak memesan apapun tadi. Kalau kau ingin minum atau makan sesuatu, pesanlah. Aku sudah membayar mahal di sini," ucapnya datar.
Sauna berdiri dengan anggunnya. Ia melesatkan ekor matanya ke arah Horizon yang masih memandang ke aranya. Kedua sudut bibir Sauna tertarik, tipis nyari tak terlihat.
"Tidak perlu, Tuan Horizon. Aku permisi," balasnya setengah menunduk, sebelum mengayun langkah meninggalkan Horizon yang masih diam di posisinya.
Gerakan pupil Horizon mengikuti kepergian Sauna hingga memudar dari tatapannya, sesaat gadis itu keluar dari pintu kafe. Bayangan gadis itu pun ikut lenyap bersamaan dengan kesadaran Horizon yang kembali.
"Gadis seperti apa yang kuhadapi?" Horizon kembali melanjutkan langkah kakinya dan meninggalkan restoran tersebut.
***
"Bagaimana bisa aku menikah dengan lelaki seperti dia? Apa harus kuterima saja sebagai pembalasanku ke Lucky. Arghhhh ... aku benar-benar bingung dengan semua ini. Ini terlalu cepat," ucap Sauna. Gadis tersebut tidak langsung pulang ke apartemen yang dipinjamkan oleh Gingka untuknya. Melainkah, dia memilih berjalan-jalan.
Di bawah langit gelap bertaburkan bintang di atas sana, ia berjalan sendiri di tengah keramaian orang-orang yang berlalu lalang di Bundaran HI. Ia duduk di salah satu tempat, menengadah ke arah langit yang juga disinari dengan cahaya bulan.
"Sepi, selalu saja sendiri di tempat sebagus ini," menarik napas dalam-dalam. Terlintas kembali ucapan Horizon memenuhi ingatannya.
"Ma ... aku harus bagaimana sekarang? Apa aku terima aja dan menikah dengan lelaki asing sepertinya? Hanya dia yang berani mengajakku menikah. Apakah dia akan sama seperti papa nantinya, ma? Aku takut terluka sepertimu," gumamnya dalam hati. Sauna berpikir, langit adalah tempat tinggal baru mamanya yang sudah tiada sejak ia berumur sebelas tahun.
Kepergian sang mama yang terlalu cepat, membuatnya terpukul ditambah dengan sikap papanya yang tak masuk akal membuat dirinya semakin tersakiti, saat sang papa memilih menikah lagi dengan wanita selingkuhannya. Di mana, saat itu kematian sang mama baru saja memasuki bulan ke dua.
Sejak saat itu, Sauna bertekad untuk menyelesaikan sekolahnya dan keluar dari rumah. Meskipun batinnya tersika selama bertahun-tahun karena papanya lebih memedulikan keluarga baru, ketimbang dirinya.
"Ternyata memang benar itu kau!" sergah seseorang.
Air mata Sauna yang terhenti di sudut pelupuk mata, pun sukses mengalir membasahi pipinya ketika ia terjingkat kaget. Buru-buru Sauna menyekah air matanya.
Ia menatap sosok wanita yang paling dibencinya selama ini, tepat dihadapannya. Dia menatap Sauna tak suka. Di sampingnya ada sosok pria yang sempat ia sayang di tengah hidupnya. Pria itu tak lain adalah Papanya, sosok yang ia rindukan kasih sayangnya selama sembilan tahun belakangan. Kasih sayang tulus di masa kecilnya tak bisa terlupakan. Dan kenyataannya, pria tersebut tidak berani menatap Sauna berlama-lama.
"Kakak?" tegur Joy, adik yang lahir dari rahim ibu tirinya.
"Jangan sok baik dengannya, Joy. Anggap aja kau tidak punya kakak selama ini. Mama nggak punya anak berandalan seperti dia. Kabur dari rumah demi hidup di jalanan. Apa kau menjual dirimu di jalanan?" lontar Juli, Mama tiri Sauna.
"Juli!" hardik Susanto, Papa Sauna.
"Kenapa Mas marah sama aku. Marah itu sama anak gadismu, Mas. Uda berapa tahun nggak pulang-pulang, tahunya ada di sini. Apa yang dia dapat selama ini? Malahan sendiri kayak lagi nunggui mangsa aja. Malu dong punya anak kayak gini! Aku pikir dia pergi udah menghasilkan sesuatu!" cibirnya.
"Ma," tegur Joy.
"Jangan ikut campur kamu! Anak kecil nggak tahu apa-apa." Dia melototkan mata ke sang anak. Joy menatap Sauna merasa gak enakan.
Kedua tangan Sauna terkepal di bawah sana. Emosinya mulai memuncak hingga menjalar keubun-ubun. Bola matanya mulai memerah. Rasanya ia selalu saja mendapatkan penghinaan dari wanita bermulut jahat itu, sejak dia sah menjadi istri sang papa.
"A—"
"Saya Horizon Cakrawala," pangkas lelaki asing tadi, seraya merangkul pinggang Sauna dari arah belakang tubuh mungil Sauna. Mesra.
Seluruh tubuh yang semula menegang karena luapan perasaan kekecewaan bercampur rasa sakit hati oleh hinaan-hinaan untuknya tadi, perlahan-lahan melonggar saat sebuah tangan kokoh dari lelaki asing memberikannya kenyamanan.
"Calon suami—Sarayu Aruna," imbuhnya dengan tatapan mengarah ke Sauna yang tak percaya akan kehadiran lelaki tersebut. Air mata Sauna kembali menetes haru.
Bersambung.