"Terpaksa adalah kata yang tepat untuk mewakilkan perasaanku." ~ Sarayu Aruna
****
"Jangan menangis, Sayang," bisik Horizon sembari mengusap air mata Sauna dengan ibu jarinya. Kini keduanya saling melempar pandangan penuh arti.
Kedua paruh baya di depan mereka menatap penuh bingung akan kedatangan anak muda yang terlihat sangat menawan dan berkharisma, sedang merangkul Sauna. Mesra.
"Agh ... maaf," balas Sauna kemudian ia menunduk kepala.
Horizon mengulas sebuah senyum sebelum berpindah fokus mata ke arah orang tua Sauna.
"Apakah kalian masih membutuhkan sesuatu? atau ... masih ada yang kurang dari satu persatu hinaan tadi?" tanya Horizon tanpa takut, ia melesatkan pandangannya ke arah Juli.
Ekor mata pria yang dianggap Sauna seorang Papa itu, melempar tatapan membunuh ke arah Horizon.
"Lebih baik kita pergi dari sini," perintah Susanto pada anak dan istrinya penuh tekanan.
"Saya akan menikahi Sauna dalam minggu ini," saut Horizon ke arah Susanto yang hendak berjalan pergi.
"Tepatnya besok." Sauna menimpali, ia pun mendapatkan tatapan dari Horizon. "Iya, besok. Aku sudah putuskan."
Kedua kaki Susanto seperti sedang terpaku di posisinya. Tubuhnya enggan memutar ke belakang, melirik sekilas wajah Sauna yang ia rindukan. Gadis yang ia besarkan secara tidak utuh.
"Kalau Papa masih menganggap Sauna anak, hadirlah sebagai wali Sauna. Jika tidak ingin datang atau memberi restu, berikan hak untuk wali lain buat Sauna, Pa. Sauna akan mengirimkan tempat berlangsungnya pernikahan kami besok. Hanya Papa ...," jelasnya sekilas melirik ke arah July yang memasang wajah berang.
Rasa bersalahnya terhadap Sauna sangat besar. Sejujurnya Susanto malu muncul di hadapan Sauna. Selama hidup sendiri di luaran sana, Sauna bahkan tidak pernah menyapa atau sekadar meminta pertolongan darinya selama itu. Sekarang, ia melihat hidup Sauna jauh lebih baik dari dugaannya. Susanto mengenali Horizon, lelaki muda itu adalah bukti nyata Sauna hidup bahagia tanpa dia. Ada lelaki hebat di samping anaknya.
"Ayo jalan," ajak Susanto lagi ke anak istrinya.
Sekilas Juli memerotkan bibir dan menatap sinis pada keduanya. Joy, adik yang sangat disayangi oleh Sauna, sebentar mendekati Sauna dan memeluk tubuh Sauna yang masing dirangkul oleh Horizon.
"Joy rindu sama Kakak," bisiknya kemudian melepaskan pelukan dan tak berani menemui mata sang Kakak. Anak lelaki itu pun berlalu pergi tanpa menanti jawaban Sauna.
Kedua mata Sauna terarah pada kepergian Joy, anak lelaki berusia enam belas tahun yang kini tumbuh menjadi anak yang manis dan dewasa. Sayangnya, mereka tidak bisa bersama seperti dulu lagi. Ia dan Joy, selalu saja dilarang untuk main bersama oleh Mama tirinya sejak mereka tumbuh bersama. Sauna menyayanginya.
"Hanya Joy yang menyayangiku dengan tulus," gumamnya dalam hati.
"Aku bukan tanpa tujuan datang ke sini. Tolong jangan salah paham." Perlahan tangan Horizon terlepas dari pinggang Sauna. Lelaki itu memiliki gengsi yang tinggi.
Gadis di sampingnya kini melempar pandangan ke arahnya.
"Terima kasih. Tapi, bagaimana kau bisa ada di sini? kau mengikutiku?" Sauna melirik ke arah pakaian yang masih sama dikenakan oleh Horizon tadi di restoran.
Kedua pupil Horizon berkeliling sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal, pun salah tingkah yang tidak bisa dia hindari. Ia merasa payah akan situasi yang diambilnya tanpa pikir panjang tadi.
"Entahlah, aku tidak sengaja melihatmu turun dari bus dan singgah di sini. Aku hanya penasaran saja," dia berkilah. Padahal Horizon memang mengikuti Sauna karena melihat wajah gadis tersebut murung, juga hari yang sudah menggelap.
"Oh." Jadi hanya itu saja yang bisa Sauna katakan. Ia tidak bisa berlama-lama menatap wajah Horizon, takut saja membeku. Tidak ada lagi air mata yang semula membasahi kedua pipi, Horizon menghapusnya.
"Kalau begitu, kau sudah memberikan jawabanmu, 'kan?"
Sauna mengangguk pelan hingga memberanikan diri mengangkat wajahnya. Kini, kedua pasang mata mereka saling bertukar tatap.
"Iya. Aku sudah putuskan untuk menerima permintaanmu. Apa ada syarat yang akan kau berikan sebelum kita menikah, Tuan?" tanya Sauna.
Sejurus kemudian Horizon berpikir sebelum memberikan jawaban.
"Kita bicarakan di dalam mobilku. Aku akan mengantarmu ke apartermen." Dia memutar tubuhnya dan berjalan pergi meninggalkan Sauna.
Hendak membalas ucapan Horizon, namun suara Sauna tercekat melihat punggung lebar milik Horizon mulai menjauh dari posisinya. Bukan parasnya saja yang mampu membekukan tatapan Sauna, melainkan postur tubuh Horizon yang tegap dan berisi itu, terlihat sangat dominan di tengah keramaian pengunjung.
"Ck! Bahkan dia tidak memberikanku waktu untuk menolak ajakannya. Dia lelaki yang seenaknya," gerutu Sauna.
Kedua kakinya berlari kecil mengejar Horizon yang jaraknya sudah lumayan jauh dari Sauna, hingga keduanya saling melangkah bersampingan tanpa sepatah kata pun.
"Besok, pagi-pagi sekali Xelo akan datang menjemputmu. Dia asisten pribadiku. Kau hanya perlu mandi, Nona. Dia akan membawa segala keperluanmu."
"Ma-maksudmu?"
Horizon mendesahkan napas ke udara.
"Sepertinya, aku memang harus berbicara lebih lamban agar kau paham, Nona," sindirnya datar.
Sauna memilih menggerakkan kepala ke arah jalanan. Ia menatap gedung-gedung pencakar langit yang mereka lintasi. Suasana malam memang sangat hangat bila dipandang. Lampu-lampu menyala menghiasi setiap jalan atau pun gedung-gedung, seakan ingin mengunci mata berlama-lama memandang kilauan cahayanya. Sauna terpukau sesaat, sebelum ia mengingat kejadian tadi.
"Kau tidak perlu mempersiapkan pakaian dan kebutuhan lainnya. Orangku akan mempersiapkan untukmu, Nona. Apa kau paham?"
"Ehemmmmm ...."
Sauna hanya berdehem tanpa berniat menoleh ke arah Horizon yang kini sedang menatapnya. Dia sedang memandangi pantulan wajah Sauna dari kaca mobil di samping Sauna.
Gadis malang itu sedang merenungi nasib. Ia tidak pernah menduga, kisah hidupnya sangat menyakitkan, sampai mengharuskan dia menikah dengan lelaki asing yang aneh. Terkadang dia dingin, terkadang juga perhatian, terkadang bisa bersikap sopan, kadangnya lagi berubah dingin, dan kadang lembut. Sauna tidak memedulikan hal-hal tersebut. Yang ia pedulikan hanyalah omongan mama tiri tadi.
"Agh, soal syarat. Apa kau bisa memberitahukannya sekarang?" tanya Sauna sembari memutar kepala mengarah Horizon. Ia menemui wajah Horizon yang fokus ke depan jalan dengan mata yang tegas.
"Ehemmmm ...."
"Ehemmmmm?" Sauna mengernyit mengulang balasan dari Horizon.
Dengan gerakan pelan, Horizon memutar leher yang ia arahkan ke Sauna.
"Kau yang lebih dulu mengacukanku," balasnya.
Sauna dibuat bingung lagi oleh sikap lelaki barusan. Apa pedulinya?
"Kau pendendam sekali," cibir Sauna berani.
"Aghh, akhirnya kau paham sikapku. Itu harus kau garis bawahi, Nona." Sekilas melirik ke arah jalanan dan kembali menemui wajah Sauna. "Soal syarat, aku nggak akan memberikan syarat apapun padamu. Aku hanya tidak menginginkan perceraian di antara kita, karena pernikahan bagiku sangat sakral. Kau boleh tidak menganggapku sebagai suamimu bila di luaran sana, Nona. Lebih tepatnya ke orang-orang yang kau kenal. Aku memberikan kebebasan untukmu. Hanya saja, jangan jatuh cinta denganku selama kita bersama. Jangan libatkan perasaan. Jika itu pun terjadi, kita akan bicarakan bersama. Kau boleh memilih jalan yang kau suka, tapi di depan keluargaku atau sahabatku sekalipun, tolong akui aku sebagai suamimu. Apa kau paham?" Dia melirik ke Sauna, "agh, satu lagi. Kau tidak bisa merubah jawabanmu tadi. Jangan pernah menyesalinya, karena aku serius soal pernikahan ini. Kalau pun nantinya kau meminta perceraian, sebisaku tidak akan pernah menyetujuinya, Nona. Hanya kematian. Ingatlah." Dia menatap serius ke Sauna sebelum beralih pindah ke jalan.
Sempat berdiam dan hanya mendengarkan ucapan Horizon dengan seksama, Sauna merasa aneh dengan sikap lelaki tersebut. Seperti ada sesuatu yang ia tutupi.
"Aku paham," balas Sauna singkat.
Berlalu beberapa menit, mobil kini memasuki apartemen mewah milik keluarga Gangika di daerah Jakarta Pusat.
"Terima kasih." Sebelum menarik handle pintu, ada baiknya Sauna mengucapkan terima kasih karena telah diberikan tumpangan gratis oleh lelaki itu.
"Sampai jumpa besok. Beristirahatlah, dan jangan memikirkan hal-hal yang membuat beban pikiranmu. Aku nggak mau kau merusak pernikahan kita besok."
Sauna mengangguk pelan, "baiklah. Kalau begitu, aku turun."
Hanya memberikan anggukan sekali, Sauna pun turun dari mobil tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia berlalu pergi tak juga menoleh ke belakang, hanya untuk sekilas mengantar kepergian Horizon dari parkiran apartemen bawah tanah. Ia merasa seluruh tubuhnya sedang lelah hari ini. Hari yang ia anggap bahagia, namun tak sama dengan yang ia bayangkan sebelumnya.
Sementara Horizon, lelaki itu masih setia memandangi punggung gadis malang di depan sana. Tatapannya tegas dan pasti. Tidak sekalipun ingin berkedip melewatkan setiap gerakan tubuh Sauna, karena ia ingin memastikan Sauna masuk ke dalam lift, hingga siluet gadis malang itu menghilang dari pandangannya.
"Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu, Sarayu. Sama sepertiku. Aku tidak akan membiarkan satu orang pun mengendalikan diriku."
Bersambung.