"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Sauna tanpa sadar.
Senyuman Horizon menyurut seiring dengan tangan yang sempat menggantung di udara perlahan-lahan menurun. Tatapan Sauna seakan mampu membuat pandangan Horizon membeku. Dia terpaku di fokus yang sama pada manik milik wanita itu. Tenggorokannya bagaikan tercekat dan tak bisa mengeluarkan kata-kata. Sorot mata milik Sauna yang tidak biasa itu yang Horizon takutkan.
"Ma-maaf," kata Sauna tersadar.
Diamnya Horizon adalah hal yang tidak mungkin kalau dia adalah kenalan Sauna. Bahkan Sauna sendiri merasa asing dengan pria di depan itu ketika pertama kali mereka bertemu.
Bagaimana mungkin dengan satu senyuman yang baru pertama kali Horizon berikan bisa memunculkan spekulasi, kalau dia pernah bertemu dengan Horizon sebelumnya.
"Agh, apa kamu lapar?" Horizon mencairkan suasana.
Sauna mengangguk. "Ya , mungkin aku lapar karena belum makan siang selesai pernikahan kita tadi. Apa kita bisa makan siang dulu?" Apa kamu telat untuk bekerja?"
Keduanya sama-sama dilanda gugup.
"Aku temani kamu makan dulu. Kita ke cafe yang ada di apartemen ini. Tapi tunggu dulu, apa kamu nyaman dengan pakaian itu?"
Sauna sekilas menatap Horizon sebelum menyoroti dirinya yang masih mengenakan pakaian pengantin berbahan kebaya dan bawahan berbahan kain songket. Lalu, dia kembali menatap Horizon dengan tatapan khawatir serta menggeleng, "aku nggak nyaman."
Horizon membuang napas berat dengan pundak yang jatuh ke bawah. Benar saja dugaannya, kalau Sauna memang tampak tidak nyaman mengenakan pakaian itu sejak awal. Terlihat dengan caranya berjalan menarik ke atas bawahan songket yang ia kenakan.
"Aku bawa kamu ke butik lebih dulu. Lalu, kita makan siang bersama." Horizon benar-benar bertanggung jawab atas Sauna. Buru-buru, Horizon mengembalikan kaus tadi ke dalam lemari.
Sauna yang melihat kebaikan Horizon, benar-benar merasa bersyukur mendapati pria itu sebagai suaminya. Walaupun tidak ada cinta pada keduanya, bagi Sauna sudah lebih dari cukup perhatian Horizon padanya.
"Tunggu sebentar. Aku mau merapikan rambutku. Duduklah dulu," titahnya dan bergegas mengarah cermin.
Sauna cuma mengangguk canggung. Dia benar-benar nggak bisa memungkiri rasa kagumnya akan Horizon. Pria itu memiliki daya tarik yang cukup kuat untuk Sauna pribadi. Dengan mendapati suaranya yang lembut atau perhatian dari matannya saja, Sauna merasa sangat nyaman.
Hanya dua hari, cukupkah buatmu mengagumi pria di depan sana, Sauna? Bahkan, kau saja belum tau bagaimana kepribadian aslinya.
"Kamu melamun lagi? tidak capek berdiri terus di situ?" tanya Horizon seraya menyisir rambut.
"Agh, tidak. Kita sudah banyak duduk sejak tadi. Aku suka begini," balas Sauna canggung, kemudian dia menunduk. Padahal, Horizon sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Pria itu masih sibuk menyugar rambutnya dengan foam untuk cowok.
"Aku sudah selesai. Ayo," ajak Horizon. Pria itu berbalik badan dan berjalan mendekati ranjang. Dia mengambil barang-barang yang diperlukan untuk ia bawa.
Sauna cuma bisa menanti dalam diam, hingga pria itu berdiri tepat di depannya, Sauna masih terpaku di posisinya.
Horizon menjentikkan jemarinya di kening Sauna, hingga wanita itu mengadu sakit dan menyentuh bagian kening yang terasa bergetar.
"Sakit?"
Sauna mengangguk. "Iya. Ini sudah termasuk ke dalam bentuk KDRT."
"KDRT? agh, aku tidak percaya ada wanita sepertimu. Bisa-bisanya melamun di depan orang yang berdiri tepat di depanmu, Sauna. Apa itu kebiasaanmu?"
"Jangan marah-marah. Ayolah," Sauna lebih dulu memutar tubuhnya dan bergegas keluar kamar. Dia merasa tidak enakkan kedapatan terus di depan Horizon.
Pria itu malah tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepala sebelum mengikuti langkah kaki Sauna. Sampai di lantai bawah, Sauna sudah lebih dulu pergi ke arah pintu. Berbebeda pula dengan Horizon, pria itu berjalan ke arah mini bar kitchen untuk mengambil air minum.
"Kenapa dia lama sekali?" Wajah Sauna melirik ke arah depan ruangan.
Kedua mata Sauna mengedar pandangan menantikan kedatangan Horizon dari balik lorong penghubung ruang tamu ke ruang lainnya.
"Apa harus kususul lagi?"
Merasa gundah dan merinding sendirian di tempat sunyi itu, Sauna memilih berjalan untuk mencari kembali keberadaan Horizon. Baru berbeolok ke lorong penghubung, dia sudah mendapati Horizon dengan tangan membawa gelas bening berbahan kaca berisi air mineral.
Keduanya saling bertemu tatap dan terhenti di tempat masing-masing. Horizon malah menggerakkan ke atas gelas kaca dalam genggaman, sebelum memaju langkah menghampiri Sauna.
"Minumlah. Sejak tadi, kita tidak ada minum." Dia menyerahkan gelas tersebut ke arah Sauana.
"Terima kasih," jawabnya sambil mengambil gelas.
Seusai meneguk isi dalam gelas, Sauna kembali memandang ke Horizon. "Aku letak—"
"Biar aku saja," pangkas Horizon dan menarik gelas kosong dari tangan Sauna. "Pergilah ke depan dan pakai sepatumu. Aku akan menyusul."
Horizon berlalu pergi ke arah dapur. Pun dengan Sauna yang mengikuti perintah pria itu. Keduanya semakin akrab meskipun canggung dan malu-malu masih menyelimuti mereka. Dan Horizon sendiri memang tidak bisa mengacukan Sauna begitu saja. Entah apa yang membuatnya berubah untuk tidak mengabaikan Sauna. Padahal, sebelumnya ia ingin sekali tidak peduli dengan pernikahan mereka. Dengan kehidupan pernikahan yang ia pilih.
"Sudah selesai?" teguran Horizon mendapati tatapan Sauna.
Gadis itu sempat bersandar pada dinding di samping rak sepatu. "Sudah."
"Ok, tunggu sebentar."
Horizon mengambil sepatu casual yang dipadu padankan dengan pakaian yang ia kenakan dari dalam rak.
Seusai mengenakan sepatu di kedua kakinya, pria itu membukakan pintu untuk meminta Sauna keluar lebih dulu. Mereka pun berlalu pergi dari lantai 22. Setibanya di dalam lift, Sauna memilih diam saat Horizon tak membuka suaranya, hingga suara pintu lift terbuka memecahkan keheningan mereka.
"Lantai 19, aku bawa ke butik pakaian perempuan." Horizon memandu Sauna keluar dari dalam lift.
Berjalan bersampingan menyusuri tempat di lantai 19 itu, akhirnya mereka berbelok ke salah satu butik yang terdapat di apartemen itu. Tampak dari luarnya saja, pakian itu terlihat mewah. Sauna bisa menebak, kalau barang-barang di situ pasti mahal.
Sauna menarik ujung lengan baju yang dikenakan oleh Horizon, hingga menarik atensi pria itu ke arah Sauna dan menghentikan pergerakan kedua kaki mereka.
"Ada apa?"
Sauna mendekatkan wajahnya ke arah lengan tegap pria itu. "Di sini pasti sangat mahal. Gajiku tidak setara dengan harga-harga pakaian di sini."
Horizon sempat terperanga sebelum membenarkan posisi untuk menatap ke Sauna. "Apa aku ada memintamu untuk membayarnya?"
Bola mata Sauna membulat sempurna seraya menggeleng. "Nggak."
"Sudah kukatakan aku ini suamimu. Kamu harus terbiasa dengan itu, Sauna. Aku tidak akan memintamu untuk berhenti bekerja, tapi segala urusanmu dan kebutuhanmu adalah tanggung jawabku. Tidak perlu sungkan meminta atau kamu membutuhkan sesuatu. Kamu bisa katakan itu kepadaku, Sauna," katanya kini serius menatap Sauna.
Sauna memberut. "Aku tidak suka meminta-minta. Apa lagi sampai berhutang ke orang. Aku nggak mau. Kita pulang saja," Sauna hendak berbalik badan meninggalkan Horizon.
Dengan bergerak cepat, telapak tangan lebar milik Horizon menggapai punggung tangan Sauna dan mencegah Sauna pergi darinya.
Kembali bertemu tatapan, ketika Sauna menoleh ke belakang, ia mendapati tatapan dingin dari Horizon, yang sama sekali tidak berkedip memandang.
"Aku sudah katakan padamu, aku akan bertanggung jawab untuk kebutuhan istriku. Dan aku bukanlah orang lain. Kamu paham?" Horizon tidak menunggu jawaban. Kakinya kembali melangkah maju ke depam. Yang berbeda kini, dia genggam tangan Sauna dan membawnaya masuk ke dalam butik.
"Selamat siang, Pak Horizon. Ada yang bisa saya bantu?" sapa salah satu staff butik dengan ramah. Siapa yang gak tau Horizon di sini.
"Siang, Mbak. Tolong bantu saya untuk mencarikan pakaian buat istri saya. Pakaian santai yang nyaman untuk dikenakan bekerja." Horizon menarik Sauna dan mengarahkan istrinya ke staff tersebut. "Tolong dibantu."
"Baik, Pak Horizon."
Sauna melirik ke Horizon yang masih tampak dingin ketika tangannya dilepas, sebelum meninggalkan pria itu dan mengikuti staff perempuan tadi dari belakang.
Banyak yang berbisik-bisik ketika mendengar Sauna adalah istrinya. Merasa aneh dengan tatapan staff lainnya yang sempat berdiri tidak jauh dari Horizon dan Sauna, wanita itu memilih menunduk hingga tiba di stand pakaian casual. Sauna dibantu dengan sangat baik.
Memilih beberapa pakaian yang pas, Sauna hanya membeli satu pasang pakaian yang menurutnya nyaman untuk ia kenakan. Setelah mengenakan pakaian ganti, kini Sauna berjalan dengan membawa paper bag berisi pakaian sebelumnya dan menghampiri Horizon yang duduk di sofa butik.
"Aku sudah selesai."
Memainkan gadgetnya sejak tadi membalas pesan dari Xelo dan sekretaris perusahaan, karena ia tak kunjung tiba di jam yang sudah ditentukan. Horizon tidak peduli dengan jam perusahaan, yang diapedulikan sekarang adalah Sauna.
"Hanya itu?"
"Ya. Emangnya mau apa lagi?"
"Tidak membeli beberapa potong pakaian lainnya?"
Sauna menarik napas dalam-dalam. "Tidak perlu, Pak Horizon. Aku tidak butuh semua itu."
Horizon memandang kaget ke arah Sauna yang memanggilnya dengan sebutan 'Pak'. Tidak suka saja mendengar dirinya dipanggil kayak gitu.
Kaki yang sempat saling bersisian, kini teruarai satu persatu bersaaman dengan beranjaknya Horizon dari duduknya.
"Baiklah. Kalau begitu, aku bayar dulu. Tunggula di luar."
"Aku takut," jawab Sauna cepat.
Horizon memberhentikan langkahnya. "Takut?"
"Ya, kalau aku nggak bisa ketemu sama kamu lagi gimana? Aku takut diculik." Perkataan Sauna membuat staff lain tertawa kecil mendengar penuturannya.
Dingin dan manja. Kombinasi yang baik bukan?
"Baiklah. Ikut aku." Sauna tersenyum dan mengikuti Horizon di sisi kanannya. Bagi para staff yang mengenal betul siapa Horizon, pria itu termasuk ke dalam kategori pria romantis.
Sampai di meja kasir, Horizon menyerahkan kartu debitnya untuk membayar sejumlah nominal yang dibelanjakan Sauna. Mengucapkan terima kasih, mereka pun bergegas pergi ke tempat makan yang ada di lantai bawah dekat lobby.
"Restoran Italia dengan menu makanan khas Itala. Kamu bisa memakannya?" tanya Horizon, sesaat keduanya keluar dari lift.
Banyak pandangan mengarah tatapan ke Horizon dan Sauna dari seluruh staff yang berpapasan atau pun mendapati keberadaan Horizon yang tiba-tiba membawa seorang perempuan di sisinya. Tapi pria itu biasa saja seperti tidak ada kejadian.
Sauna mengangguk. "Itu adalah makanan kesukaanku."
"Benarkah?"
"Ehem ... emmm. Aku sangat suka menu makanan Italia. Sejak kecil, mamaku suka membawa aku dan papa ke restoran Italia. Setelah itu, aku mengubur dalam-dalam."
Sama. Aku juga suka makanan yang sama denganmu.
Horizon paham ke arah mana perkataan Sauna barusan.
"Kalau begitu, aku tidak sia-sia mengganti tempat. Ayo, masuklah," ajak Horizon sesaat mendapati pintu restoran terbuka dan mempersilahkan keduanya masuk.
Diantar ke meja yang terletak di bagian ujung pinggiran dinding berbahan kaca. Horizon dan Sauna sama-sama menyuarakan pesanan mereka ke pegawai restoran. Seusai memasan, keduanya kembali berdiam. Horizon memilih untuk sibuk dengan hapenya. Sedangkan Sauna, dia hanya bisa memandangi pemandangan di sampingnya.
Sesekali Horizon melirik ke arah Sauna yang sedang berpangku tangan dalam diam. Seolah tatapan wanita itu kosong.
Ia dapati tatapan Sauna yang tak bisa Horizon selami, di dalam sana ada sesuatu yang menyisahkan kesedihan di benak Horizon sendiri.
Apakah aku masih punya tempat dalam ingatanmu, Sauna?
Bersambung.
***
Tinggalkan jejaknya ^^