"Membunuh mamaku?"
Pertanyaan itu keluar dari dalam hati Sauna. Pantas saja, Horizon berubah menjadi seperti ini pikirnya. Tidak seperti Horizon yang ia kenal kemarin dan hari ini.
"Jaga ucapanmu, Hori!" teriak Henry berang.
"Aku tidak pernah membunuh mamamu. Bagaimana bisa kau menuduhku seperti itu." Diana memulai aktingnya dengan sangat baik. Dia terlihat menangis dan sok tersakiti di depan Henry.
"Kau memang tidak mengakuinya! tapi aku tau bagaimana kejahatanmu, Diana!"
"Horizon!"
"Hori, ayo kita keluar sekarang. Aku mohon padamu. Aku benar-benar takut di sini," bisik Sauna dengan air mata yang kini mengalir. Jari-jari tangan Sauna saling bertaut di antara buku-buku jemari milik Hori. Dan itu sangat dingin yang disertai gugup dan berhasil menarik atensi Horizon ke arah wajah Sauna yang memucat. Sorot mata pria itu tajam disertai kebencian.
Ketakutan Sauna bukan tidak beralasan. Dia memiliki trauma atas kejadian yang pernah ia alami sebelum keluar dari rumah keluarganya. Seperti yang Horizon alami hari ini, Sauna pernah diteriaki, dimaki dan disalahkan atas kesalahan yang tidak pernah dia lakukan, seperti yang dituduhkan oleh mama tirinya kepada Sauna.
Mendapatkan kemarahan dari papanyalah yang membuat Sauna menjadi anak yang penakut. Nada tinggi yang dilayangkan sang papa padanya, hampir membuat Sauna menjadi anak yang pendiam. Tidak ada pembelaan dan kurangnya kasih sayang sang papa terhadapnya, sukses membuat mental Sauna terguncang. Ditambah lagi dengan hilangnya kepercayaan sang papa, membuat Sauna terpukul.
"Hori," panggil Sauna terisak sedih.
"Keluar kau dari sini dan jangan pernah kembali ke rumah ini. Kau tidak layak untuk tinggal di sini dengan wanita itu!"
Horizon kembali menoleh. "Aku juga tidak sudih untuk membawa istriku tinggal dengan kalian. Ingatlah, Pa, kau sudah menghancurkan mimpi mamaku dan anak yang dia tinggalkan untukmu demi seorang wanita yang tidak memiliki cinta untuk keluargamu. Aku harap kau bisa sadar suatu hari nanti," kata Horizon menggenggam erat Sauna dan mengajaknya keluar dari ruangan kerja Henry.
"Sampai kapanpun, aku tidak akan memberikanmu restu, Horizon."
Teriakan itu mengiringi kepergian keduanya dari ruangan kerja Henry.
"Jangan menangis, Sauna," kata Horizon kini memberanikan diri mengusap air mata Sauna, sesaat mereka hampir berada di depan anak tangga.
Tangan Sauna terus gemetar dan Horizon tak melepaskannya.
"Aku gak bisa melihat kayak gitu, Hori," lirih Sauna.
"Maafkan aku. Lebih baik kita ke atas agar tidak membuang waktu. Aku ingin mengemas barang-barangku. Setelah dari sini, kita ke apartemenmu dan menginap satu malam di sana."
Sauna cuma bisa mengangguk kepala di sela isakannya. Dia tidak bisa bepikir jernih saat ini. Merasakan hawa gak enak di rumah Horizon saja sudah sangat menyiksa bagi Sauna.
Sampai di dalam kamar Horizon, kedua manik mata Sauna seolah terhipnotis. Khas kamar laki-laki sudah tampak jelas dari wallpaper motif angkasa dan dikombinasikan dengan warna putih biru dari meja kecil berbahan kayu kokoh di dekat sisi ranjang kecil dengan bahan yang sama dan warna serupa. Pun dengan kain sprei yang berwarna biru langit dengan motif kartun membalut ranjang. Sauna beranggapan ini jauh dengan kamar Horizon di apartemennya.
"Kenapa kamu diam di situ?"
Teguran Horizon mengagetkan Sauna. Dia yang sempat terpelongok tersadar menoleh ke arah pria itu yang sedang mengemas pakaiannya ke dalam koper.
"Kemarilah, Sauna." Horizon tak sabar dengan respon Sauna yang tak bergerak dari posisinya.
Dia berdiri dan menghampiri sang istri. Tangan Horizon menarik jemari Sauna penuh kelembutan dan dikuti oleh Sauna yang dituntunnya mengarah ke tempat tidur. Horizon menyentuh kedua pundak Sauna dan memintanya untuk duduk di tepi ranjang.
Mengarah pada nakas, Horizon mengambil satu gelas teh hangat yang sempat diminta olehnya ke pekerja rumah.
"Minumlah," titah Horizon mengarahkan gelas.
"Untukku?"
Horizon mengangguk. "Untukmu. Habiskan saja dan hapus air matamu. Kita akan keluar dari sini setelah aku mengemas barang-barang."
Setelah mengatakan itu, Horizon kembali mengarahkan langkah kakinya ke depan lemari. Sebenarnya, banyak pakaian yang sudah ia pindahkan sebelum menikah dengan Sauna di rumah baru yang akan dia dan Sauna tempati. Hanya saja, Horizon tidak ingin terburu-buru untuk menempati rumah kediamannya.
Sauna memperhatikan pria itu dengan lekat. Tangan yang sempat dingin itu, kini menghangat dari efek gelas yang berisi teh. Inilah yang dikatakan oleh Horizon kemarin, kalau dia dan Horizon sama. Sama-sama memiliki kisah yang hampir serupa dalam kehidupan mereka.
"Kenapa ke sini?"
Horizon terperanjat mendapati Sauna duduk di sampingnya.
"Aku bantui berkemas."
"Tidak usah. Aku sudah hampir selesai," jawabnya.
Sauna bingung, tapi kedua manik matanya mendapati sesuatu yang baru.
"Foto mama mertuaku?" Pertanyaan Sauna menyejukkan hati dan telinga Horizon.
Pria itu tersenyum dan menatap teduh ke Sauna. Sejak kapan dia senyaman ini dengan Sauna? entahlah, Horizon juga bingung dengan dirinya yang cepat sekali berbaur dan akrab dengan wanita di sampingnya.
"Iya, itu mama kandungku, Sauna."
"Sangat cantik," gumam Sauna tanpa melepas pandangannya dari foto mendiang mama Horizon yang terbingkai indah.
Sama sepertimu.
"Terima kasih," jawab Horizon.
"Dia sangat mirip denganmu, Hori."
Horizon yang masih mengambil lipatan pakaian dari etalase paling bawah, pun tersenyum. "Secara tidak langsung, kamu memujiku, Sauna."
"Itu memang benar," katanya kini mendapati tatapan Horizon.
"Kamu memujiku?"
Sauna mengangguk. "Benar. Aku tidak bisa berbohong soal itu."
Sauna secepatnya meletakkan foto tadi ke dalam koper. Dia salah tingkah, karena sudah keceplosan memuji suaminya dengan terang-terangan.
"Aku bantu yang mana?" tanyanya, karena Horizon masih tak melepas pandangannya.
Horizon malah mengusap puncak kepala Sauna dengan penuh kelembutan, "tidak perlu. Ini sudah selesai. Kita harus pergi sekarang dari sini."
Sauna beranjak bersama dengan Horizon yang membawa koper siap ditarik keluar. Dia melirik sekilas ke arah Sauna yang terus menunggu di sampingnya tanpa memaju langkah lebih dulu. Dia terlihat sangat takut dan Horizon benar-benar tidak bisa memungkuri itu.
"Tetap di sampingku," kata Horizon.
Sauna mengangguk selagi tangan Horizon menyentuh tombol saklar lampu untuk dimatikan. Keduanya kini memaju langkah melewati lorong kamar. Itu sangat sepi, seperti tidak ada kehidupan di sini. Bagaimana tidak. Horizon adalah anak tunggal di kediaman megah keluarganya. Tentu saja rumah itu terlihat seperti bukan rumah yang memiliki kasih antar keluarga setelah kepergian salah satu penghuni inti.
"Masih di sini?" Diana kembali berulah mendapati Sauna dan Horizon yang barusan tiba di lantai bawah.
Sauna hendak menoleh, tapi Horizon mencegahnya dan menarik punggung tangan Sauna sebagai reaksi refleks.
"Jangan dilihat. Kalau kamu melihatnya, aku tidak bisa jamin, kalau aku bisa menguasai diriku lagi, Sauna," bisik Horizon.
Sauna merasa terancam. Dia mengeratkan pegangannya di jemari milik Horizon dan menahan kepala agar tak bergerak ke arah Diana.
"Tidak tau malu! nggak punya sopan santun. Apa kalian melakukan hal yang memalukan sampai menikah diam-diam? apa kalian dengar anak kurang ajar!" teriakkan Diana sama sekali tidak digubris keduanya yang terus berjalan menjauh dari posisi Diana.
Tiba di dalam mobil, Sauna menghembuskan napas lega. Jiwa dan pikirannya kembali tenang. Rasa takutnya perlahan berkurang. Tapi wajahnya masih tampak pucat dengan kedua mata yang sembab. Memejamkan mata, dia tidak sadar kalau Horizon di sampingnya itu menatap terang-terangan.
"Kamu bisa bernapas dengan baik sekarang?"
Teguran Horizon tidak merubah posisi Sauna yang masih menenangkan pikirannya. Horizon pun tersenyum dan mulai melajukan mobil untuk meninggalkan kediaman yang memiliki banyak kenangan indah dan buruk. Sekilas, dia memandang rumah kecil yang dibangun sang papa untuk tempatnya bermain bersama mama dan papanya sendiri. Ada kesedihan di manik milik Horizon.
"Aku berasa seperti di surga."
Senyum samar menghiasi wajah Horizon dengan kedua mata yang melirik ke kaca spion luar melihat jalanan. "Apa sebelumnya, kamu pernah ke surga, Sauna?"
Pertanyaan Horizon membuat kelopak mata Sauna terbuka. "Tidak. Itu hanya perumpamaan."
"Ouuu," balasnya singkat.
"Hori," panggil Sauna.
Sekejap dia menoleh pada wanita yang memandangnya. "Ya?"
"Boleh aku mengajukan pertanyaan?"
"Silahkan. Tidak perlu pakai izin."
"Agh, soal tadi. Apa karena kamu menikah denganku yang membuat pertengkaranmu dengan papa terjadi?"
Horizon menggeleng sambil melihat ke jalan depan. "Tidak. Sejak dia menikah lagi dan aku bertumbuh dewasa, Sauna. Aku dan papa tidak lagi pernah akur, saat Diana masuk ke keluarga kami. Bukan karena dirimu."
"Lalu? apa yang membuatmu menikah denganku?"
"Kamu tidak mendengar alasanku tadi?"
Sauna menggeleng. mana mungkin dia bisa mengingat sesuatu di dalam ketakutannya yang hampir membuat dirinya pingsan.
"Alasannya apa?" tanya Sauan lagi, ketika Hori masih tidak membuka mulutnya.
"Seperti perkataanku kemarin," jawabnya kini membalas tatapan Sauna. "Aku tidak suka mengulangi perkataanku, Sauna."
Seketika Sauna menelan salivanya. Kalau Horizon mengatakan ucapan kebesarannya, Sauna wajib bergidik ngeri. Tatapannya kembali datar meskipun tak membunuh seperti pertemuan di awal.
"Sungguh pelit," gerutunya dan menatap ke depan.
Kedua sudut bibir Horizon tertarik dalam diam. Selama bermasalah dengan sang papa atau Diana. Horizon biasanya mengemudikan mobil sendirian, ketika dia harus meninggalkan rumah yang tak memberikan ketenangan untuknya.
Tapi lain hal dengan malam ini. Ada Sana di sampingnya. Gadis kecil yang pernah memberikan kekuatan terhadap dirinya untuk bertahan hidup. Dan sekarang? gadis kecil yang menjelma menjadi wanita cantik dan dewasa, juga memberikan kekuatan padanya. Meskipun rasa takut bersarang dalam diri wanita itu.
"Kamu mau makan apa, Sauna?"
"Hemmmm?" dia malah terjingkat kaget.
"Aku benar-benar bingung denganmu. Bukan cuma penakut, tapi kamu suka melamun. Aku sudah mengenalimu untuk yang dua ini."
Sauna memberutkan wajah dan menatap Horizon dengan mata nyalang. "Jangan mengejekku."
"Tidak. Aku berbicara sesuai fakta. Tentukan pilihanmu. Kamu mau makan di luar atau kita makan di apartemenmu?"
Baru kali ini Horizon mengalah pada Sauna. Dia mengulang pertanyaan yang sempat Sauna tidak dengar.
"Di apartemen aja. Mbak Zian pasti uda masak untukku."
"Untukmu? bagaimana denganku?"
"Aku akan memasaknya untukmu."
"Kamu bisa masak?"
Sauna menganguk cepat. "Hemmm. Aku dilatih dari kecil dengan mama tiriku di dapur, Hori."
Seketika perkataan Sauna membuat Horizon menatap ke arahnya.
Sauna melanjutkan perkatannya, "dia memaksaku untuk menjadi gadis yang mandiri selama papa tidak ada. Memasak, menyapu juga setrika pakaian. Aku menjadi gadis yang sempurna karenanya. Bahkan, membersihkan rumah meskipun ada bu Lisa yang bekerja saat itu. Dia juga yang membuatku pintar untuk hidup di luaran sana," kata Sauna membalas tatapan Horizon dengan senyuman yang terulas.
Satu hal yang menjadi kebanggaan Horizon pada Sauna. Meskipun ketakutan menyergap dirinya, ada kekuatan yang terselip dalam senyuman Sauna.
Dua orang yang terpisah sejak 16 tahun lalu itu memiliki kisah dan cerita yang sama dengan situasi yang hampir serupa, tapi mampu bertahan dengan cara masing-masing.
Bersambung.
***