Aku Tidak Gila

1407 Kata
Matahari tampak naik ke atas tempat peraduannya. Itu menandakan, fajar kembali menyambut pagi untuk mengingatkan pada insan di dunia, kalau hari baru telah tiba. Tidak ada celah di kamar Sauna untuk menarik kedua orang yang kemarin malam bersepakat memilih berbagi tempat tidur bersama. Untuk pertama kalinya, mereka tidur satu tempat yang sama. Dengan catatan, bantal menjadi pembatas mereka di bagian tengah. Berbeda keadaan dengan tadi malam dan pagi ini. Bantal yang menjadi pembatas berjajar rapi di tengah-tengah mereka. Tapi tidak untuk pagi ini yang sudah berhamburan di tengah-tengah tempat tidur. Merasakan tangan Sauna di wajahnya, kelopak mata Horizon bergerak hendak terbuka. Perlahan dia tersadar, bahwa tubuh mereka pun menempel sangat dekat. Tapi ada yang berbeda Horizon rasakan. Tangan dan sebagian kulit Sauna yang bersentuhan dengan kulit Horizon terasa hangat. "Apa dia sakit?" tanya Horizon dalam hati. Kini dia bergerak perlahan untuk mengarahkan dirinya ke sisi Sauna. Kedua mata Horizon mendapati wajah Sauna yang memucat dengan peluh membanjiri keningnya. "Kamu kenapa, Sauna?" Tampak sangat panik, Horizon merubah posisinya menjadi duduk. Dia mengusap cairan berupa keringat di kening milik Suana menggunan jemarinya. "Kamu sakit? Bagaimana bisa?" Horizon kebingungan. Dia menepuk pelan pipi Sauna. "Bangun, Sauna." "Aku takut," ngigau Sauna. "Aku di sini, Sauna. Buka matamu," ucapnya lagi. "Aku takut," Sauna kembali mengigau. Dengan cepat Horizon menyadarkan Sauna dengan menepuk pipi putih Sauna tanpa menyakitinya. "Ada aku di sini, Sauna. Bangunlah ...." Air mata mengalir melewati pelupuk mata Sauna yang masih tak terbuka. Horizon malah menggigit bibir bawah dengan tangan yang ia usapkan ke telepak tangan Sauna. "Ini sangat panas." Beranjak dari tempat tidur, kedua kakinya memijak lantai, lalu berlari ke luar kamar untuk memanggil Zian. "Mbak Zian," teriak Horizon. "Iya, Mas?" Mbak Zian ada di dapur mempersiapkan sarapan. Mendengar terikan Horizon yang terdengar panik, dia berinisiatif memutar knop untuk mendekat ke arah anak tangga. "Ya, Mas?" "Sauna, dia panas. Apa pernah seperti ini? Tolong ambilkan handuk kecil dan air dingin." "Baik, Mas." Horizon kembali berlari menuju kamar dengan kepanikannya. Jantung Horizon berdegup sangat kencang. Sebelum naik ke atas ranjang menghampiri Sauna yang masih menutup rapat matanya, Horizon melepas kaus yang ia kenakan. Entah apa yang dia pikirkan. Kedua kaki Horizon kembali menaiki ranjang. Dia tarik tubuh Sauna ke dalam dekapan, berharap bisa menyalurkan rasa panas di tubuh Sauna ke dalam bidang dadanya yang kini tak terbalut apa pun. Sangkin panasnya tubuh Sauna, rambut panjang hitam legam milik Sauna pun basah oleh keringat. "Bangunlah, Sauna. Aku di sini," bisiknya dan tanpa sadar mencium dalam kening Sauna. "Ini, Mas." Zian datang dengan wadah kaca berisi air dingin dan handuk kecil. Dia letak di atas meja kecil di samping ranjang dan membantu Horizon mengompres kening Sauna. "Apa sebelumnya, Sauna pernah begini, Mbak?" "Pernah, Mas. Mbak Sauna, kalau sedang stress atau pun ketakutan, suhu badannya pasti naik. Kadang juga Mbak Sauna jadi suka ngigau sembarangan." "Terus ... apa yang Mbak lakukan?" Sejujurnya Mbak Zian sempat ragu untuk masuk ke kamar melihat Horizon yang bertelanjang d**a dengan memeluk tubuh Sauna. Itu seksi banget menurutnya. Bisa-bisanya, dia berpikir seperti itu dalam keadaan yang genting. "Hanya saya kompres, Mas." "Hori," gumam Sauna mengagatken pria itu. Kini, kedua matanya bertemu tatap dengan manik mata sayu Sauna. "Kamu bangun?" Sehisteris itu dia melihat kelopak mata Sauna terbuka. "Apa aku membuatmu sakit, Sauna?" Sauna menggeleng pelan. "Tidak." Hendak membaringkan Sauna kembali pada posisinya di atas tempat tidur, Sauna menahan tangan Horizon di sisa kekuatannya. "Biarkan, Hori. Aku kedinginan," pinta Sauna pelan. "Tolong matikan pendinginnya, Mbak Zian. Lalu, jangan lupa tutup pintu." Secara tidak langsung, Horizon meminta Mbak Zian untuk keluar. Mbak Zian mengiyakan dan melakukan apa yang diperintahkan Horizon. "Apa yang tidak enak. Katakan padaku?" Sauna menggeleng pelan seraya menutup matanya. Dia seolah melemah. "Aku hanya lelah, Hori." "Tapi suhu tubuhmu sangat tinggi. Kita ke rumah sakit, kalau nggak turun juga." "Aku cuma butuh istirahat dan obat rumahan aja, Hori. Tolong tetap di sini, aku merasa lelah." Horizon kembali mendekap Sauna. Sungguh beruntungnya dia, bisa memberikan pelukan ke Sauna di saat wanita itu melemah. "Kamu harus cepat sembuh, hem? Aku mana bisa meninggalkanmu kalau begini." "Hanya satu jam, Hori. Aku rasa, karena traumaku semalam." Wajah Sauna bersentuhan dengan kulit bidang daada milk Horizon. Dan itu, sungguh membut Sauna merasa sangat nyaman. "Apa begini cukup?" Sauna menganguk. "Sangat cukup. Maaf, kalau aku membuatmu khawatir." Horizon menggeleng. "Ini sudah kewajiban seorang suami bukan?" Horizon tidak lagi mendengar jawaban Sauna. Wanita itu malah sudah tidur dalam dekapan Horizon. Menarik sedikit tubuh Sauna, dia dapati ketenangan dalam wajah Sauna. "Apa bebanmu seberat yang kumiliki, Sauna?" tanya Horizon dalam hati. Jadwal yang dibuat Horizon sejak kemarin gagal sudah. Bermaksud hati pagi ini membawa Sauna dan Zian sehabis sarapan lebih dulu untuk ke apartemennya, kini terhalang dengan keadaan Sauna. Seusai dari apartemen, Horizon bermaksud mengantarkan Suana lebih dulu untuk berangkat kerja bersama. Itulah yang Horizon rencanakan kemarin. Dua puluh menit kemudian. Horizon cukup merasa pegal memeluk tubuh Sauna. Sekuatnya dia menahan agar tak mengganggu Sauna. Tapi batin istri memang terikat kuat di antara mereka. "Apa kamu sudah baikan, Sauna?" Melihat Sauna bergerak dari dekapannya dan hendak duduk, Horizon menelusuri mimik wajah Sauna yang masih melemah. "Aku lapar," gumamnya. "Agh, syukurlah. Itu normal. Kamu mau makan di sini atau di bawah?" Sauna menoleh pelan. "Aku makan di bawah. Nggak terbiasa untuk makan di kamar. Aku rasa ... ini hanya sementara, Hori." "Bagimu sementara. Tapi bagiku ini mengerikan. Aku tidak pernah merawat orang sakit, asal kamu tahu, Sauna." Keduanya saling pandang-pandangan. Dalam pikiran Sauna, pantas saja pria itu tampak panik sendiri. "Maafkan aku," gumam Sauna. "Tidak masalah. Ayo ... kita sarapan dulu sebelum bersih-bersih." Horizon langsung menarik tubuh Sauna ke dalam gendongannya. "Aku bisa berjalan sendiri, Hori." "Gak masalah aku gendong. Ini situasi darurat," protes Horizon tidak peduli. Kedua kakinya tetap saja melangkah keluar kamar dan menuruni anak tangga sambil menggendong istrinya. Sauna yang mulai berasa enakkan dari rasa trauma yang ia dapati ketika melihat pertengkaran Horizon dengan kedua orang tuanya dan itu sangat percis dengan kejadian yang ia rasakan selama bersama keluarga barunya, membuka luka lama yang sempat ia pendam sendiri. "Selamat makan," ucap Sauna pelan. Keduanya sudah duduk berhadap-hadapan di depan meja yang kini sudah terhidang menu makanan rumahan. Itu membuat Horizon berasa memiliki ibunya terdahulu. "Selamat makan. Apa kamu tidak butuh ke dokter, Sauna?" tanya Horizon memastikan, seraya menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. "Apa itu harus?" Dia menatap Horizon lekat-lekat. "Kamu sering seperti ini kata Mbak Zian, Sauna." Sauna dan Mbak Zian saling pandang-pandangan. Gadis berumur tiga puluh tahun itu mengerutkan kening merasa bersalah. "Aku rasa tidak perlu, Hori." "Kamu memiliki trauma, Sauna. Itu harus diobati. Jika saja tidak ada aku di sampingmu seperti tadi, apa Mbak Zian bisa tau?" "Diobati seperti apa maksudmu?" Horizon melepas alat makannya dan melipat kedua telapak tangan di atas meja sembari mengunyah makanandan berpikir. "Karena itu trauma dari masa lalu, bagaimana kalau kita ke psikiater," saran Horizon. Alat makan Sauna refleks terlepas dari genggamannya dan menimbulkan suara dentingan saat berbenturan dengan piring berbahan kaca. Kedua mata itu menatap nyalang ke arah sang suami yang kaget dengan respon Sauna. Saran itu membuat Sauna merasa kecil di mata Horizon. "Apa kamu pikir aku gila?" "Gila? Apa maksudmu?" "Kenapa aku harus ke psikiater. Aku masih normal dan bisa menjalankan aktivitasku seperti biasa. Kamu jangan memikirkan hal-hal yang gak masuk akal, Hori." "Kenapa kamu jadi marah begini, Sauna?" tanya Horizon tidak terima. "Aku cuma memberikan saran atas apa yang kulihat kemarin dan hari ini. Itu saja. Rasa takutmu sangat berlebihan dan aku bisa merasakannya. Apa aku salah memberikan masukan baik untuk istriku sendiri?" "Tapi aku nggak gila!" protes Sauna lagi. "Siapa yang bilang kamu gila? Aku menyarankan alternatif terbaik untuk kasus sepertimu ini. Aku ingin kamu tidak terlihat seperti orang yang kehilangan akal, Sauna." "Secara tidak langsung kamu mencap aku gila, Hori." Horizon menarik napasnya dalam-dalam. Menoleh ke sembarangan arah dan mendapati Mbak Zian yang terpaku di tempatnya, ia merasa tidak enakkan. "Mbak ... jangan merasa bersalah atas pagi ini. Aku berterima kasih atas kejujuran kamu. Kalau dia marah sama Mbak Zian, kasi tau aja ke aku. Aku hanya memberikan saran terbaik untuk istriku sendiri. Siapa sangkah responnya di luar akalku. Sungguh keras kepala." Horizon bangkit dari duduknya dan meninggalkan Sauna yang tampak lirih itu. Dia benar-benar nggak terima akan saran yang Horizon berikan. Sejak kapan dia harus membutuhkan psikiater. Tapi kata-kata Horizon memang masuk di akal. Rasa takut yang dimiliki oleh Sauna memang sanga berlebihan, melebihi rasa takut pada umumnya. Tapi sayangnya, dia tidak mengakui itu di depan Horizon. Bersambung. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN