Apa Kau Tidak Mengenalku?

1285 Kata
Sauna yang merasa bersalah membuat nafsu makan Horizon hilang dalam satu kalimat saja, pun menyudahi makannya. Suhu tubuh yang belum normal ditambah dengan rasa pusing membuatnya tak bersemangat untuk menyantap sarapan pagi itu. "Mbak Zian, aku ke atas dulu rasanya ngggak enak, kalau makan sendiri sementara ada pria yang barusan jadi suami masih hitungan hari sedang marah di atas sana," kata Sauna seraya berdiri. "Iya, Mbak. Nggak apa-apa, Zian beresin aja?" "Agh, nggak usah Mbak. Aku coba bujuk dulu," balas Sauna kini. Zian pun mengangguk dan seketika itu pula Sauna memaju langkah meninggalkan ruang makan untuk mengarah pada anak tangga. Sampai di atas dan ingin masuk ke kamarnya, dia merasa gugup.  "Apa yang harus kukatakan?" tanyanya dalam hati. Berdiri dan bersandar di sisi kanan pintu kamar, Sauna masih memikirkan apa yang harus dialakukan. "Kenapa di situ?" tegur Horizon.  Pria itu baru saja keluar dari kamar mandi, tanpa sengaja mendapati bayangan Sauna di tembok luar pintu. Sauna meringis. "Pake acara ketahuan pula," gumamnya. Dengan kaki yang berat, Sauna melangkah masuk dengan gerak tubuh yang salah tingkah. Dia tidak berani menaikkan wajah untuk menatap Horizon yang terang-terangan menanti dirinya untuk berkata.  Pria itu sehabis mandi. Rasa segar dan harum maskulin menguar bersamaan dengan udara kamar. Dengan mata yang tak melepas kedatangan Sauna dan sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil, dia kini berkata, " kenapa? apa kamu ke sini untuk mengajakku berdebat?" "Tidak," jawab Sauna cepat. "Kalau begitu mandilah. Aku akan mengantarmu bekerja, kalau memang sudah berasa baikan." "Aku naik angkutan umum saja," balas Sauna langsung menghentikan aktivitas Horizon. Pria itu berbalik dan melirik tajam ke Sauna. "Apa kamu merajuk?"  "Merajuk? mana mungkin," balas Sauna dengan bibir yang dimajukan. "Merajuk itu biasanya  dilakukan seorang wanita yang sedang jatuh cinta dengan kekasihnya. Apa kamu seperti itu Sauna?" Mati rasa sepertinya mulut Horizon. Berani-beraninya dia mengajukan pertanyaan gila itu pada sang istri. Mata Sauna melebar sempurna. "Apa kamu sedang melawak?" "Aku rasa, kamu memang sudah sembuh. Mandilah, aku sudah siapkan air hangat di bathtub, Aku tunggu di luar," katanya kini hendak memaju langkah melewati Sauna. Pria itu memang sudah bersiap sejak di kamar mandi tadi. Mengenakan kaus yang ia bawa dari rumahnya ke apartemen Sauna hanya untuk pakaian ganti, kini dia keluar kamar dengan bibir yang tertarik. Ingat, Horizon sangat suka membuat Sauna merasa terganggu karena kejahilannya. "Hori," panggil Sauna lirih dan sukses menghentikan kedua kaki panjang pria tersebut. Horizon berbalik badan, pun dengan Sauna. Keduanya saling bersitatap dengan jarak yang cukup jauh. "Ada apa?" "Maafkan aku," katanya sedih dan tak berani membalas tatapan Horizon seperti tadi. "Tolong jangan marah lagi." "Apa ini yang dinamakan menyesal, Sauna?" Sauna malah merasa menyesal untuk mengatakan maaf, setelah mendapati respon Horizon barusan. Rasanya itu seperti ada kesombongan dari kata-kata suaminya yang rada aneh. "Hanya sedikit. Aku hanya merasa bukan orang yang memerlukan psikiater, seperti yang kamu katakan tadi, Hori." Horizon memaju langkah mendekati Sauna. Kedua mata mereka yang berbeda siratan itu saling menatap dengan jarak yang tidak banyak. "Aku hanya menyarankan yang terbaik untukmu, Sauna. Bukan berarti, aku mengatakanmu itu gila. Kita hanya memeriksakan saja. Kalau, kamu sehat. Kamu tidak perlu dirawat. Begitu maksudku tadi. Aku hanya ingin memeriksakan saja apa yang terjadi padamu. Ini sungguh membuatku bingung. Perbedaanmu bangun tidur dengan sekarang, itu sangat jauh berbeda, Sauna." Pria itu terlihat serius dan penuh perhatian dari setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Sejurus kemudin, Sauna merasa tenang mendengar nada yang mengalun lembut masuk ke dalam gendang telinganya. "Bagaimana? apa kamu paham sekarang maksudku?" "Hemmm," jawabnya mengangguk. "Tapi kasi aku waktu untuk menentukan waktunya, Hori. Apakah boleh?" Horizon tersenyum samar sampai tak terlihat di kedua manik hitam Sauna. "Oke. Aku tunggu sampai kamu siap, Sauna." Horizon tidak lagi mempersalahkan soal sesuatu yang menurutnya memang membutuhkan penanganan ahlinya dan juga kesiapan Sauna sendiri. "Sekarang mandilah." Sedikit merasa bersemangat, Sauna mengangguk kepala dan bergegas pergi ke kamar mandi. Kedua orang itu  benar-benar bisa menyesuaikan diri dengan dua hari pertemuan saja. Sauna merasa dirinya memang nyaman dengan Horizon yang bersikap sangat baik setelah mereka sah menjadi suami istri.  Dua puluh menit kemudian, Sauna turun dengan mengenakan kaus dan celana jeans seperti biasa hendak bekerja di Castle Shop. Begitulah Sauana, dia memang wantia yang sederhana. Tidak memerlukan polesan menor untuk menonjolkan kecantikannya. Mengenakan pakaian santai itu, Horizon yang sedang duduk di kursi bersisian dengan meja makan menyoroti kedatangan Sauna. "Apa kamu bekerja dengan pakaian seperti itu?"  Sauna yang hampir duduk di kursinya menyoroti dirinya sendiri, "iya. Apa ada yang salah dengan pakaianku?" Pria itu cuma menganga mulut sebelum terkatup rapat dan menyentuh tangkai gelas berisi kopi. Dia menenggak isi dari dalam gelas tanpa memberikan jawaban setelahnya. "Apa kamu mengabaikanku?" "Makanlah. Habiskan sarapanmu," perintahnya. "Aku sudah telat," gumamnya. Tapi Sauna tetap mengikuti perintah sang suami yang  juga melanjutkan sarapan. "Aku juga telat. Apa pakaianmu sudah dikepak ke dalam koper?" "Belum." "Agh, kalau gitu, aku bawa Mbak Zian setelah mengantarmu ke Castle Shop.  Barang-barngmu yang ada di sini, biarkan saja orangku yang mengatur." "Aku tidak mau. Nanti aku pulang saja biar Mbak Zian tetap di sini mengepak barangnya. Aku akan izin dengan Gangika setengah hari." Sambil menguyah, Horizon menatap sang  istri. "Siapa yang akan mengantarmu pulang ke sini?" "Aku bisa meminta kak Ryung yang mengantarkanku," jawab Sauna masih fokus pada isi makanannya. Kening Horizon berkerut, "siapa kak Ryung?" "Sahabatku di Castle Shop. Kami ada 4 orang di sana. Aku, Gangika, Harson dan ka Ryung." Horizon cuma bisa berdiam diri. Ingin tau seberapa jauh kedetakan Sauna dengan kedua lelaki yang disebutnya tadi.  Apa dia cemburu? Entahlah. Horizon cuma nggak suka ada yang mengambil tanggung jawabnya atas Sauna. Sekalipun itu orang terdekat Sauna yang berjenis kelamin laki-laki, Horizon tetap saja tak ingin tergantikan olehsiapapun. Tapi sayangnya, Horizon tidak bisa menuturkan keinginannya itu pada Sauna. Seusai makan dan bersepakat atas apa yang mereka inginkan bersama. Suami dan istri itu pun bergerak pergi menuju parkiran bawah tanah dan segera pergi dari sana menuju tempat kerja Sauna.  Dari apartemen hanya membutuhkan beberapa menit untuk tiba di tempat yang dituju. Sampai di depan ruko, Sauna turun dan berpamitan pada sang suami. Senyum terus bermekaran dari bibir kedunya tanpa mereka sadari. Dari Castle shop menuju ke perusahaan juga sangat dekat. Horizon tiba di lapangan khusus untuk petinggi perusahaan. Tubuh tegap berisi dengan postur  yang sangat dominan itu berjalan dari lapangan parkiran depan masuk ke gedung pencakar langit di mana dia menjadi satu-satunya pemegang saham tertinggi. Henry Cakrawala pun susah untuk menggesar sang putra yang selalu menentangnnya. "Selamat pagi, Pak," sapa Xelo menyambut kedatangan Horizon di depan pintu otomatis. "Pagi Xelo. Jadwal saya hari ini?" "Pukul 10 nanti, Anda hanya bertemu dengan Pak Deara untuk rapat keputusan semalam, Pak. Sisa waktu Anda hanya di perusahaan," kata Xelo seraya berjalan mengikuti Horizon sampai di depan lift mempersilahkan atasannya itu masuk ke dalam. "Syukurlah kalau begitu. Kalau dalam sehari di bagi jadi setengah  jam bekerja, itu tepatnya di jam berapa, Xel?"  Masih di dalam lift, Horizon sudah merencanakan sesuatu yang akan ia lakukan hari ini. "Sekitar jam 1 atau jam 2, Pak," balas Xelo lagi. "Jangan berikan pilihan ke saya, Xel. Yang pastinya," balas Horizon tegas. Xelo menelan salivanya dan berkata, "jam 2, Pak." "Ok, setengah jam dari jam 2 itu tolong ingati saya, Xel. Saya mau jemput Sauna nanti," jawabnya. "Baik, Pak." Lolos dari pintu lift kedua orang itu berjalan melewati lorong penghubung menuju ruangan Horizon. Seluruh pasang mata karyawan yang berselisih dengannya memberikan penghormatan. Horizon bukanlah atasan yang dingin seperti kepribadiannya. Bagi pria itu, karyawan perusahannya adalah jantung dari tempat dia memimpin. Horizonselalu berusaha tersenyum ketika mereka memberikan penghormatan padanya. "Hallo, Horizon."  Seseorang menghentikan langkah kaki Horizon yang hampir saja mencapai pintu ruangan. Pria itu tampak merasa asing terlihat dari wajahnya yang tak biasa untuk menatap makhluk hidup di depan sana. "Apa kamu tidak menganiliku?" Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN