3. Pengelaman Pertama

1128 Kata
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh..." Rizal menolehkan kepalanya ke arah kanan, diikuti Aya yang berada di belakangnya. Tak berselang lama, Rizal mengucapkan hal yang sama ke arah kirinya, kembali diikuti Ayana dengan gumaman dan gerakan yang sama. Keduanya lantas bersitatap untuk sejenak, sebelum Aya memecahkan tatapan intens itu dengan menadahkan tangan ke arah Rizal yang tersenyum melihatnya. Rizal mengulurkan tangan kanannya yang kemudian Aya cium penuh khidmat, dilanjutkan dengan Rizal yang meraih kepala Aya sebelum gadis itu menjauh darinya. Rizal terlihat mengumamkan sesuatu yang Aya tahu adalah sebuah doa tepat di ubun-ubun kepalanya, hingga ketika Rizal selesai pria itu langsung mengecup dahi Aya lumayan lama sebelum melepaskannya. Lagi-lagi keduanya terdiam, benar-benar terlihat sekali kalau di antara mereka berdua tidak ada yang berpengalaman mengenai hal ini. Yah, meski begitu sudah pasti pihak laki-laki dalam hal ini harus mengambil inisiatif terlebih dulu, bukan? Karena memang fitrahnya laki-laki begitu. Meski mungkin... kalau mereka sudah terbiasa dan menjadi lebih dekat, barang kali Aya bisa memberikan inisiatifnya sendiri. "Ekhm." Bahkan suara dehaman Rizal saja mampu membuat Aya terkejut dan menggerakan kedua bahunya karena gadis itu yang semula menunduk dan tidak tahu apa yang tengah dilakukan dan dipikirkan Rizal di antara keheningan yang tercipta. "Eum... Mau langsung tidur?" Suara Rizal setelah dehaman. Yah, pria itu tidak memungkiri kalau mereka saat ini jelas masih benar-benar canggung. Berada di ruang tertutup berdua saja, hal yang bahkan tidak pernah dilakukan mereka bahkan sebelum menikah seperti sekarang. Maksudnya, mereka tidak pernah berduaan meski di ruang terbuka sekalipun sebelumnya, pasti selalu ada yang menemani, mengawasi dan semacamnya. Jadi, ketika memasuki kamar hotel itu dan hanya berdua, memang benar-benar pengalaman pertama untuk keduanya. Hingga rasanya, jika mereka terlaly cepat mengambil langkah, takut-takut justru akan membuat pihak yang lainnya tidak nyaman. Dalam hal ini, lebih ke arah Ayanan tentu saja. "Eee... Nggak apa-apa?" Aya akhirnya mengangkat kepalanya, bersuara. Menatap Rizal yang masih dengan posisi duduk yang sama di atas sajadah. "Hm? Apanya yang nggak apa-apa?" "Langsung tidur maksud Aya. Bener nggak apa-apa?" Rizal tertawa untuk pertanyaan polos istrinya itu. Aya ini, benar-benar seperti happy virus untuk Rizal. Hitung saja, sudah berapa kali Rizal tertawa atau tersenyum karena tingkah polah atau kalimat yang keluar dari mulut istrinya itu. "Tentu nggak apa-apa, Ay. Seharian ini kita juga udah sibuk dengan berbagai acara, kan? Aku yakin kamu capek, aku pun begitu. Jadi daripada maksain diri, lebih baik kita istirahat dulu untuk malam ini. Setelah itu besok baru..." Aya menyipit, mendengar dan melihat Rizal menggantungkan ucapannya yang ambigu itu seperti tadi. Kali ini sih Aya sudah tahu dan tidak akan menunjukan respons yang sama seperti tadi, jadi Aya diam saja sambil menghujam Rizal dengan tatapannya. "Haha, besok ya kita pikirkan lagi besok." Ujar Rizal, yang tetap saja tertawa dengan reaksi antisipasi yang Aya tunjukan. "Tapi kita tetep bisa tidur satu ranjang, kan?" "Eh?" "Ya, aku nggak perlu tidur di tempat lain seperti yang di cerita-cerita romance yang menikah tanpa pacaran atau menikah karena paksaan." Rizal terlihat terkekeh karena ucapannya sendiri, mungkin dirinya tidak menyangka bahwa ia membawa referensi itu ke dalam pernikahannya. Aya memutar bola matanya malas. "Aku kadang bingung, sebenarnya mahasiswa S3 seperti Mas Rizal itu bacaannya apa aja sih? Kok sampe tahu cerita-cerita kayak gitu?" Rizal tersenyum lagi, kali ini seraya bangkit dan melipat sajadahnya sendiri. "Loh kenapa? Sebelum jadi mahasiswa S3 seperti sekarang aku juga kan anak muda seperti kamu, jadi sedikit-banyak tahu prihal fiski romance macam itu juga, Ay. Kenapa? Sampai sekarang cerita-cerita seperti itu masih marak?" Tanya Rizal. Mereka sudah bergerak lebih santai dari sebelumnya. Entah itu cara bicara maupun sikap mereka saat ini. Tanpa Ayana tahu Rizal memang sengaja melakukannya, untuk mencairkan atmosfer yang tidak nyaman di antara mereka. Ah, bukan tidak nyaman sih. Canggung itu wajar, tapi kalau canggung semalaman atau bahkan sampai hari-hari berikutnya juga tidak baik, kan? Itu kenapa Rizal berusaha untuk mengikis dinding pertahanan diri yang ada di dalam diri Aya agar mereka lebih santai dan terbuka satu sama lain. Bagaimana pun, di saat seperti inilah mereka harus berusaha mengenal lebih dalam lagi mengenai satu sama lain, karena pernikahan mereka memang tidak dimulai dengan jalinan asmara lebih dulu baru menikah, melainkan menikah dulu baru menjalin asmara. Rizal menepuk sisi ranjang yang kosong begitu dirinya selesai merapihkam sajadah dan duduk di sisi ranjang besar yang tersedia di kamar hotel itu, menatap Aya yang masih melipat sajadah dan berdiri tak jauh darinya. Gadis itu terlihat masih bingung, atau... hm apa ya disebutnya? Canggung? Takut? Merasa aneh kalau harus melepaskan mukena dan menunjukan penampilannya yang tanpa penutup kepala alias hijab di depan orang lain selain keluarganya. Eh, Rizal sudah menjadi keluarganya sih--baru menjadi keluarganya dari yang sebelumnya, yang dalam beberapa puluh jam lalu masih merupakan orang asing dalam hidup Ayana. Mungkin itu yang membuat Aya masih ragu dan canggung untuk melepas hijabnya? "Nggak apa-apa kalau kamu masih mau pakai itu. Di sini juga ber-ac, jadi kamu nggak akan kegerahan kalau tidur mau pakai mukena. Aku nggak apa-apa kok." Rizal langsung paham begitu melihat tangan Aya yang menggantung di bagian depan mukena namun tidak melakukan apa pun di sana selain meremasnya. Pria itu berusaha untuk memaklumi apa pun, berusaha untuk mengerti dan mentoleransi apa pun karena paham ini semua baru untuk Aya, pun dirinya. Tapi dalam hal ini posisinya sebagai lelaki mungkin lebih santai dibandingkan wanita yang sensitif untuk berbagai macam hal, itu kenapa, itu kenapa Rizal berusaha memaklumi semuanya. Rizal paham semuanya butuh proses, begitupun dengan mendekati dan menjadi spesial di depan Aya. Meski dirinya bisa dan memiliki hak untuk memaksa sekalipun, tapi tidak, Rizal memutuskan untuk tidak melakukannya. Lain pemikiran Rizal, lain Aya. Gadis itu malah merasa terbebani dengan ucapan Rizal itu. Ayana tahu maksud Rizal baik, tapi dirinya juga tidak bisa terus-terusan membentengi diri dan menghindar dari hal-hal yang seharusnya menjadi kewajibannya dan hak Rizal, kan? Lagipula, cepat atau lambat toh Rizal akan melihatnya tanpa hijab, bahkan berhak melihatnya lebih dari itu. Jadi... "Haha, aku lepas aja kok, eh deh. Aku lepas aja deh." Ucap Aya, yang benar-benar melepas bagian atas mukenanya kemudian berbalik memunggungi Rizal ketika melipat kain itu. Jantung Aya berdegup kencang, meski kini dirinya tidak melihat reaksi Rizal sekalipun. Tetap saja, rasa malu, cangung dan lainnya yang bercampur menjadi satu tidak bisa Aya kesampingkan. Rasa itu nyata, dan memang bukan sesuatu yang bisa dihindarinya. "Cantik." "Hm?" Aya memutar kembali tubuhnya ke arah Rizal, dan mendapati Rizal yang tersenyum amat lembut dan menatapnya dengan binar yang sama. "Istriku cantik. Tentu semua orang udah tahu itu, tapi cantik yang ini cuma aku dan keluarganya yang tahu." Paham maksud Rizal, kan? Pria itu sedang memuji Ayana yang tanpa mengenakan hijabnya. Dan pria itu berbangga karena kecantikan Ayana saat ini hanya dirinya dan keluarga gadis itu yang tahu. Bolehkah Aya merasa kesal dengan suaminya itu? Karena Aya sebal, sebab Rizal tidak henti-hentinya membuat Aya jatuh cinta sejak saat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN