8. Di Mulai Sejak Saat Itu

1361 Kata
Hujan di pagi hari yang cukup menyebalkan bagi beberapa orang, terutama orang-orang yang harus melakukan aktivitas mereka di luar rumah, tentu saja dalam hal ini Ayana salah satunya. Gadis itu harus ke kampus, mengikuti kelas pagi yang akan di mulai setengah jam lagi. Hujan yang tiba-tiba turun ketika Aya masih di jalan, membuat gadis itu tidak menyiapkan apa pun sebelumnya. "Memangnya udah masuk musim hujan, ya?" Gumam Aya, sedikit menggerutu. Meski ayah dan ibunya selalu bilang kalau hujan adalah rejeki, tapi kalau di saat seperti ini Aya tidak bisa mengeluarkan pikiran positifnya karena Aya seolah tidak memiliki pilihan selain menerobos hujan dan datang ke kelas dalam keadaan basah, atau... ah tidak! Tidak, tidak. Aya sungguh tidak ingin bolos. Itu tahun terakhirnya di kampus, jadi sebisa mungkin Aya tidak ingin ada nilai-nilainya yang tertinggal dari nilai-nilai yang lain. "Tahu gitu tadi aku terima aja tawaran Ayah yang mau nganter." Masih dengan Aya yang nenggerutu di halte depan kampus. Iya, sebenarnya Aya sudah sampai di kampus setelah menempuh perjalanan dengan menggunakan angkutan umum. Hanya saja, yang jadi masalah adalah, jarak dari halte menuju fakultasnya itu bisa dibilang cukup jauh--tidak, benar-benar jauh bahkan kalau ditempuh dalam hujan seperti ini. Kalau biasanya berjalan saja bisa menghabiskan waktu 7 sampai 10 menit, itu berarti meski Aya berlari ia harus berada di dalam hujan sekitar 5 menit lamanya. Tidak masalah kalau itu hanya gerimis atau hujan rintik-rintik, sayangnya, hujan yang mengguyur pagi itu benar-benar deras bukan main, membuat Ayana meruntuk berkali-kali tentang penyesalannya tidak menerima tawaran sang ayah untuk diAntar atau menyesali kenapa dirinya tidak membawa payung hari itu. Kini pilihannya hanya dua, terjebak di sana dan melewatkan kelas pagi yang harus Aya hadiri, atau berlari dengan potensi basah kuyup yang cukup besar namun dapat menghadiri kelas penting Pak Arman yang akan dimulai beberapa menit lagi. Memantapkan hati, Ayana akhirnya memilih pilihan yang kedua. Toh tujuannya datang memang untuk menghadiri kelas itu, jadi percuma saja Aya sudah bangun pagi-pagi kalau akhirnya tidak menghadirinya. Kelasnya hanya satu hari itu, yang entah bisa dikatakan sial atau tidak memiliki jadwal yang lumayan pagi. Menempatkan tas yang dibawanya di atas kepala, Aya mencoba memanfaatkan beda itu untuk setidaknya menghalangi tubuhnya dari guyuran hujan. Entah itu akan berdampak banyak atau tidak, tapi setidaknya Aya mencobanya, kan? "Satu... Dua..." Setelah menggumamkan ancang-ancang dalam hati, Aya berlari menerobok guyuran air yang langsung menimpanya tanpa ampun. Gadis itu berlari menciptakan riak pada genangan air yang ia pijak, membasahi bagian bawah pakaian yang dikenakannya tanpa memiliki pilihan. Yah itu memang sudah resikonya, toh bukan bagian bawah saja yang sudah basah. Tangan dan pundak baju Aya juhmga demikian. Semenit terasa begitu lama untuk Aya yang berlari. Gadis itu sudah terengah, mengedarkan pandangannya ke arah sekitar untuk mencari tempat berteduh lain sementara. Bajunya sudah basah, benar-benar basah, entah bagaimana Aya rasanya ingin memastikan itu terlebih dahulu dan melihat bagaimana kondisi dirinya saat ini. Mendapati tempat parkir sepeda khusus mahasiswa yang syukurnya terdapat atap yang menaungi, Aya akhirnya memutuskan untuk berteduh di sana, bersama beberapa orang yang melakukan hal sama. Terjebak di tengah hujan deras dan seolah tidak memiliki pilihan selain menunggu di sana. Yah, Aya pikir mungkin orang-orang itu dalam kondisi yang demikian, berbeda dengan Aya yang hanya berniat berteduh sebentar sebelum melanjutkan perjuangannya menerobos hujan hingga bangunan fakultasnya. "Hah... Ha... Hah..." Aya terengah, mengibas-ngibaskan air yang sudah membasahi bagian pundak dan lengannya dan mencoba untuk menghalau air itu untuk menyerap lebih banyak dan ikut membasahi bagian yang lainnya. Aya membungkuk, menggumamkan maaf ketika beberapa orang di dekatnya tanpa sengaja terciprat air yang berusaha Aya singkirkan dari pakaiannya. Gadia itu meringis, dengan bibir yang sudah sedikit berubah warna karena udara dingin yang menyerangnya. Masih mencoba mengatur napas setelah sebelum kembali melanjutkan perjalanan, perhatian Aya yang semula terarah pada hujan teralih pada satu objek yang menyita fokusnya. Di seberang jalan, yang lumayan jauh dari tempatnya berteduh saat itu, Aya melihat sebuah mobil berhenti dan menepi begitu saja di seberang sana. Entah karena apa, padahal di sana tidak ada sesuatu yang terlihat menjadi alasan untuk mobil itu berhenti, seperti menaikan atau menerunkan penumpang misalnya. Tidak ada. Bahkan gedung atau tempat berteduh pun tidak. Hanya trotoar dengan beberapa pohon yang berdiri berjajar di sana, membuat Aya bertanya-tanya apa alasan mobil itu berhenti. "Mogokkah?" Batin Aya masih memperhatikan, mencoba mencari jawabannya sendiri. Tak lama seseorang keluar dengan payung di tangannya. Payung itu sudah mengembang hingga Aya tidak bisa melihat sosok itu dengan jelas. Lagipula tanpa payung pun Aya sangsi dirinya bisa melihat sosok itu, karena hujan yang mengguyur deras sungguh menghalangi pandangan. Kembali pada sosok itu, Ayana sendiri tidak tahu mengapa jadi memperhatikannya, yang jelas semakin diperhatikan Aya merasa apa yang dilakukan sosok itu, sosok pria itu menjadi begitu menarik di mata Aya. Pria itu tiba-tiba berjongkok, mengambil handuk kecil yang semula tersampir di pundaknya dan menaruhnya di tubuh kucing yang rupanya terguyur hujan sejak tadi. Kucing itu berteduh di bawah pohon, meski nyatanya pohon yang diteduhinya tak mampu membuat kucing itu benar-benar terlindung dari tetesan air, apalagi yang deras begini. Yang menarik, dan bukan hanya memberikan handuk kecilnya, pria itu juga memberikan payungnya pada kucing itu sebelum pergi dan meninggalkannya di sana. *** "Cinta pada pandangan pertama?"  Seru pria di samping Aya itu terdengar antusias, sedikit memberi jarak pada mereka yang semula berdekatan dan menempel karena ia merangkul Aya begitu rapat. Aya mendengus, melirik pria yang sudah menjadi suaminya itu sinis. "Jatuh cinta pada pandangan pertama gimana, lihat wajah Mas aja aku nggak. Aku bahkan nggak tahu kalau yang waktu itu Mas Rizal." Pria yang masih menempatkan tangannya di bahu Aya itu terlihat kecewa. "Kalau kamu nggak tahu itu aku, kenapa kamu bisa ceritain itu sekarang? Ayo ngaku aja, pasti cinta pada pandangan pertama, kan?" Rizal tak mau kalah, masih bersikukuh dengan pendapatnya. "Serius, Mas. Aku nggak tahu kalau itu Mas Rizal. Lagipula abis itu aku langsung lanjut lari karena inget ada kelas yang harus aku hadirin. Mana sempet mikirin itu siapa dan jatuh cinta." Kini Rizal terdiam, benar-benar merasa tidak puas dengan cerita Aya. Lalu untuk apa Aya menceritakan bagian itu pada Rizal kalau bukan itu poinnya? "Yang terlintas di benak aku saat itu, kok bisa-bisanya... Bisanya ada yang mikirin kucing yang kehujanan padahal aku yang kehujanan aja nggak ada yang merhatiin." Celetuk Aya kembali membuka suara, menciptakan tatapan skeptis dari Rizal yang tengah menerka-nerka kemana maksud ucapan itu. Lho, benar apa yang Aya bilang, kan? Tindakan itu memang benar-benar sesuatu yang tidak bisa dipercaya. Pria itu sengaja menghentikan mobilnya, merelakan payungnya dan kembali ke mobil diguyur hujan hanya karena seekor kucing? Sementara Aya di sana harus berteduh dan kembali menerobos hujan hanya karena tidak memiliki payung. "Kamu nggak sedang nyindir aku, kan?" Balasan datar Rizal itu membuat Aya yang sebelumnya menahan senyum jadi dibuat was-was karenanya. "Eh? Nggak, nggak kok! Kalau yang barusan itu murni bercanda. Mana sempet aku mikir kayak gitu saat itu, Mas. Beneran deh. Aku cuma mau bercandain kamu tadi, bukan maksud yang nggak-nggak kok." Aya yang melihat respon negatif dari suaminya langsung berusaha mengklarifikasi, meluruskan agar Rizal tidak berpikir yang macam-macam mengenai maksud ucapannya. Itu murni hanya sebuah candaan, sungguh. Lagipula Aya juga mengerti posisi Rizal. Tidak semua orang bisa membantu orang lain, kan? Apapun keadaan dan kondisinya. Apa yang Aya alami hari itu terjadi pada banyak orang, dan untuk seseorang yang tidak saling mengenal akan sulit rasanya membantu orang lain dari sekian banyak orang. Dan lagi Aya juga tidak tahu, kan? Apa yang sudah Rizal lakukan hari itu. Siapa tahu Rizal sudah membantu orang lain di tengah hujan besar itu sebelum Rizal membantu kucing malang itu. Poinnya, kadang binatang bahkan lebih butuh dibantu dibanding manusia, karena manusia pasti sudah tahu apa yang harus dan tidak harus mereka lakukan. "Intinya, aku sadar kalau itu Mas Rizal ya karena beberapa hari setelah itu aku lihat Mas Rizal lagi, dengan mobil yang sama dan melakukan sesuatu yang... mungkin bisa dibilang, saat itulah yang buat aku jatuh cinta." Rizal yang awalnya masih terlihat seakan-akan ngambek, dibuat kembali perhatiannya pada Aya setelah mendengar lanjutan kalimat dari gadis itu. "Hm? Apa? Memangnya aku ngelakuin apa?" Tanya Rizal, kembali fokus pada topik utama mereka, menyelami sejarah perasaan masing-masing. Ayana tersenyum. Kembali mengingat kejadian yang terjadu pada hari itu, beberapa bulan lalu.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN