7. Pembahasan yang Tertunda

1263 Kata
"Anu... Soal yang semalam..." Aya akhirnya berusaha mengalihkan pembicaran, dibanding membiarkan Rizal terus membahas mengenai betapa "menggemaskan" dirinya menurut Rizal. "Hm? Semalam?" Fiuh... Akhirnya, Rizal bisa juga dialihkan. Dan pria itu tampak tidak keberatan, Rizal terlihat santai, mungkin sadar sudah waktunya untuk membahas sesuatu yang lebih serius. "Maaf, tapi Aya sama sekali nggak ingat semalan..." "Tentu aja kamu nggak inget, kamu tidur sampe ngorok gitu." "B-beneran?" Tanya Aya kaku, wajah gadis itu bahkan sudah terlihat pias. Seperti membayangkan sekonyol apa dirinya semalam. Dan niat Rizal yang menjahili istrinya itu dibuat merasa bersalah karena tidak menyangka Aya benar-benar menganggap serius ucapannya. "Nggak, Ay. Aku bercanda. Udah kamu nggak perlu khawatir. Kamu tetep cantik kok walau lagi tidur. Serius." Ayana cemberut, menyipit dan melmpar tatapannya itu ke arah Rizal sanksi. Pasalnya sejak tadi Rizal menggodanya, jadi Aya tidak tahu mana ucapan Rizal yang serius dan mana yang masih berusaha untuk membuatnya menjadi bahan guyonan. Saat itulah Rizal sadar, mungkin sejak tadi dirinya sudah kelewatan. "Serius, Ay... Aku serius kali ini. Nggak bohongin kamu." Ucap Rizal meyakinkan dengan tatapan lurus. "Ah, dan soal yang semalem. Kamu memang ketiduran sejak awal aku mulai cerita kayaknya." Setelahnya Rizal menunjukan raut bersalahnya, meraih tangan Aya yang berada di atas meja dan mengusap punggung tangan istrinya lembut. "Maaf, aku bahkan nggak sadar kalau kamu capek dan ngantuk banget tadi malem, malah ngajakin kamu ngobrol panjang-lebar." Aya yang tersita perhatiannya karena usapan Rizal di punggung tangannya mengeleng beberapa kali, sebelum mengembalikan tatapannya pada Rizal. "Justru aku yang minta maaf, karena ninggalin Mas tidur tanpa sadar. Maaf..." "Hhm..." Rizal menggeleng untuk menyangkal permintaan maaf Aya, menyampaikan pada gadis itu kalau Aya tidak sampai harus melakukannya. "Tapi karena aku ketiduran semalam, bukan berarti Mas nggak akan ngulang ceritanya buat aku, kan?" Rizal tersenyum menerima pertanyaan itu. Agaknya, istrinya itu benar-benar ingin tahu bagaimana kisah sebenarnya hingga mereka bisa sampai bersama. Yah, meski akhir-akhirnya Ayana jelas ikut serta dalam kisah itu, tidak salah kalau Aya ingin tahu awal-mulanya, bukan? "Nanti. Setelah sarapan, dan saat jalan-jalan keluar kita obrolin itu lagi ya? Bukan cuma aku yang cerita. Tapi kamu juga, karena bukan aku aja yang perlu jawab keingintahuanmu, kan? Kamu juga harus jawab keingintahuanku soal gimana dan kenapa kamu bisa jatuh cinta sama aku." Aya terdiam, memilih diam karena dirinya sendiri belum menyiapkan jawaban macam apa yang akan dia berikan untuk pertanyaan suaminya itu. *** "Pak Rizal? Sedang perhatikan apa?" Suara salah satu staff perpustakaan membuyarkan lamunan Rizal siang itu. Rizal mengerjap, mengalihkan tatapannya dari objek yang beberapa detik Rizal amati karena merasa bahwa objek itu sebelumnya memperhatikannya begitu intens. "E-eh? Ah, nggak Mbak Ika itu..." Petugas perpustakaan itu tersenyum, mendata beberapa buku yang hendak Rizal pinjam sambil menanggapi. "Hayoo... Dilarang hubungan dosen dan mahasiswi dilarang lho universitas ini, kalau mau tunggu sampai lulus dulu, Pak, atau seenggaknya sampai menjelang lulus baru deh Bapak bisa resmikan." Rizal menggaruk lehernya yang tidak gatal, terlihat salah tingkah. "Haha, maksud Mbak Ika apa? Saya nggak ngerti." Kekeh Rizal canggung, menerima uluran buku yang dikembalikan padanya setelah di data oleh petugas perpustakaan itu. "Tapi kalau sebatas suka diam-diam sih nggak apa-apa, Pak. Sstt... Saya janji akan rahasiakan." Ucap petugas itu mengerlingkan sebelah matanya dan sedikit berbisik seolah tengah bicara sesuatu yang paling rahasia. Setelahnya petugas itu tertawa, membungkuk dan mengucapkan maaf jika ucapannya tadi terlalu berlebihan. Dan tentu saja Rizal mengerti, karena sebenarnya bukan sekali-dua kali Rizal menjadi bahan godaan petugas perpustakaan yang satu itu. Alasannya? "Pak Rizal kan selalu jadi pusat perhatian, padahal mahasisiwi di sini hampir setiap hari pasti lihat Bapak, tapi kalau berpapasan atau bertemu tetap saja jadi bulan-bulanan perhatian para gadis-gadis itu." Jadi jangan heran, kalau setiap kali mampir ke perpus dan kebetulan petugas bernama Ika itu yang bertugas maka akan selalu ada kalimat-kalimat godaan terbaru yang ditujukan untuk Rizal. *** "Hari itu, kayaknya aku mulai sadar kalau yang berkali-kali aku pergoki curi-curi pandang atau natap aku diam-diam itu kamu." Kenang Rizal, pada ingatannya beberapa bulan lalu. Mereka sudah selesai sarapan, dan saat ini sedang berjalan-jalan di sekitaran hotel yang memang menyediakan pemandangan luar biasa yang sayang jika dilewatkan. Awalnya mereka hanya berjalan masing-masing, hingga cerita Rizal sampai di tahap itu, Rizal kemudian menoleh ke arah Ayana yang melangkah di sisinya, memperhatikan gadis itu lekat yang dibalas Aya dengan tatapan tanya dan dibalas kembali oleh Rizal dengan senyum lembut. Aya masih tidak mengerti arti tatapan Rizal itu, ia masih menunggu, kalau-kalau Rizal melanjutkan ceritanya. Sebab apa yang Rizal ceritanya jelas benar-benar baru awal mula semuanya, bukan perjalanan bagaimana pria itu akhirnya memilih Aya. Tubuh Aya tiba-tiba seperti dialiri arus listrik untuk sesaat, ketika di waktu menunggu Rizal bicara, yang Ayana dapat justru ada sentuhan pada jemarinya. Iya, senyuman Rizal tadi bukan berarti untuk melanjutkan ceritanya, melainkan tengah menimbang situasi untuk mengambil telapak tangan Aya dan menggenggamnya. "Nggak apa-apakan kita begini? Masa udah suami-istri jalannya pisah-pisah dari tadi." Ucap pria itu, dengan senyum yang makin merekah juga genggaman di tangan Aya yang semakin kuat. Aya menelan salivanya susah, berusaha untuk menjawab dengan suara namun takut suara yang keluar dari mulutnya justru memalukan. Itu kenapa, sebagai gantinya Aya mengangguk, tanda bahwa gadis itu menyetujuinya meski nyatanya Rizal memang sudah menggenggam tangannya lebih dulu sebelum Aya memberikan anggukannya. Aya terlalu kaku di saat-saat seperti ini, sampai harus membutuhkan waktu dari yang sebentar sampai benar-benar lama. Itu kenapa Rizal mencoba mengambil inisiatif saja dulu. Perkara diizinkan atau tidak, boleh atau tidak kalau memang nantinya Aya menolak atau tidak menginginkannya Rizal bisa mundur selangkah, untuk tidak memaksa Aya ataupun bertindak yang tergesa-gesa. Keduanya kembali berjalan, menyusuri kolam renang sebelum menuju pembatas yang mana setelahnya adalah pemandangan alam luas yang terhampar sejauh mata memandang. Masih tidak ada yang bicara setelahnya, dengan Rizal yang menikmati interaksi baru mereka, dan Aya yang sebenarnya masih menunggu. Masih menunggu kelanjutan cerita Rizal. Tapi nyatanya tidak, bermenit-menit berlalu Rizal tak kunjung melanjutkan, bahkan meski mereka kini sudah berhenti melangkah, di balkon pembatas hotel dengan pemandangan luar dan liar di hadapan mereka. Aya yang sejak tadi berusaha menenangkan diri akhirnya mencoba untuk kembali rileks, kembali menjadi dirinya karena ia tidak mungkin terus-terusan merasa gugup hanya untuk sebuah genggaman, kan? Tidak, Aya jelas tidak boleh terus begitu, Aya harus terbiasa dengan segala sentuhan Rizal. Ini baru tangan, nanti malam, seperti yang Rizal isyaratkan pada malam sebelumnya, mereka bisa jadi harus menunaikan kewajiban mereka sebagai suami-istri, bukan? Itu kenapa Aya benar-benar harus terbiasa dengan hal kecil ini, karena bertautan tangan jelas belum ada apa-apanya dengan apa yang akan terjadi nanti. Kurang-lebih begitulah cara Aya untuk menangkan pikirannya sendiri, dan kembali memulai pembicaraan mereka yang sudah terlalu lama terjeda. "Terus?" Aya melongokkan wajahnya ke hadapan Rizal yang tengah mengamati pemandangan di depan mereka. "Hm?" "Terus? Cerita Mas Rizal tadi. Masa cuma sampai di situ?" Protes Aya yang terlihat tidak sabar membuat suaminya itu tertawa. "Udah dulu ah, sedikit-sedikit aja ceritanya. Dicicil lagi buat nanti, biar bersambung kayak cerita di sinetron-sinetron." Kekeh Rizal menepuk-nepuk pelan kepala istrinya itu. "Ih kok gitu? Curang ah bikin penasaran." Wajah Rizal berubah menjadi serius, mengernyit ke arah Aya. "Kamu itu lho yang curang. Orang aku yang tanya duluan malah bikin aku yang jawab duluan. Ayo, sekarang gantian kamu yang cerita. Kenapa bisa suka sama aku? Jangan bilang alasannya sama kayak mahasiswi-mahasiswi lain yang ada di kampus? Karena tampang aku?" "Ih." Refleks Aya bereaksi, meski maksudnya bukan ingin bereaksi seperti itu. Dan melihat reaksi istrinya yang terlihat ilfeel itu justru membuat Rizal tertawa, kali ini bukan hanya menggenggam tangan Aya, melainkan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Mati. Baru saja Aya beradaptasi dengan genggaman Rizal, apa kemajuannua harus sampai sepesat ini? Rizal memeluknya? Dan sangat erat?  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN