prolog
"KAMU harusnya bisa lihat gadis yang emang pantas buat kamu! Buat apa sekolah kalau otak masih aja di dengkul."
Aku memandang perempuan dan lelaki yang berdiri beberapa kaki dariku secara bergantian, lelakiku mengepalkan kedua tangannya kuat. Kulihat rahangnya mengeras dan bibir tipis itu nyaris hilang berganti garis lurus. Sedang perempuan paruh baya namun tetap cantik itu memandang sinis dan jijik ke arahku. Aku hanya bisa menunduk, bergetar di tempatku berdiri. Rasanya ingin beringsut mendekati lelaki itu, memeluknya dengan erat, mengatakan kalau aku baik-baik saja. Tetapi semua organ di tubuhku terasa beku dan tidak bisa kukendalikan. Aku takut. Ini lebih mengerikan daripada menyaksikan perkelahian Mamah dan Papah beberapa bulan lalu yang berakhir fatal.
Ini lebih dari sekadar ancaman. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika lelaki ini menuruti apa yang Mamanya bilang dan meninggalkanku. Dia duniaku. Karena hanya di pelukannya, aku merasa aman, di anggap ada, dan begitu diinginkan.
"Aku nggak akan pernah ninggalin dia."
Suara lelakiku kembali terdengar. Kali ini jauh lebih datar dan tanpa ekspresi. Perlahan, kulihat dia mendekat ke arahku, menggenggam tangan yang sejak tadi ikut membeku bersama organ tubuhku yang lain. Dia meremasnya, berusaha tersenyum kecil. Aku tahu, dia sedang meyakinkanku, hal yang selalu ia lakukan mesti perasaannya tak kalah hancur dari milikku.
"Jangan pernah tunjukkin adegan mejijikkan itu di depan Mama!" Aku tersentak. Dengan reflek melepaskan tangannya, tetapi dia menahan dan menggenggam tanganku semakin kuat. Mamanya kembali bersuara. "Ya Allah. Kamu anak Mama!"
"Aku anak Mama tapi bukan b***k Mama!" Lelakiku berteriak dan menatap tajam ke arah Mamanya. "Dan berhenti maksa aku ngelakuin apapun yang Mama mau."
Dia berbalik, menarik tanganku agar mengikutinya berjalan meninggalkan ruangan ini. Aku tidak ingin membuatnya menjadi anak durhaka. Tetapi aku membutuhkannya. Dia terlalu dalam masuk di kehidupanku. Hingga rasanya, tanpa dia aku tak bisa.
Telingaku masih bisa mendengar suara teriakan Tante Widya yang meminta putranya untuk kembali. Tetapi lelaki ini terus berjalan cepat menuju garasi tempat kami memarkirkan mobil tadi. Kakiku terseret, berusaha mengikuti temponya. Saat sampai di garasi, dia mendorong tubuhku perlahan untuk masuk ke dalam mobil.
Bahkan, dalam keadaan sekacau ini, dia masih begitu lembut dan memperhatikanku.
Aku mencintainya, lelaki yang selalu memelukku.