Bab 2

2030 Kata
Mata bulat Olive melebar. Benarkah yang berdiri di depannya ini manusia? Kalau memang benar betapa sempurna ciptaan Yang Kuasa. Makhluk di depannya seolah tak memiliki cacat. Sayangnya tak ada senyum di wajah tampan itu. Mungkin itu adalah kekurangan yang dimilikinya. "Ma-maaf, nggak liat tadi." Olive tergagap. Tatapan dingin pria itu membuatnya menggigil tanpa sadar. Olive meralat apa yang dikatakannya dalam hati. Seluruh pujiannya pada pria ini ditarik kembali. Tampan, tapi tidak ramah percuma. Yang ada membuat orang gemas ingin mencakarnya. Tak ada jawaban. Pria itu langsung pergi begitu saja setelah merapikan jas-nya. Olive mendelik tajam, kesal pada sikap tak ramah pria itu. Apakah setiap pria tampan selalu memiliki sikap menyebalkan seperti itu? Olive mendengkus jengkel. Dia membatalkan niat untuk melihat kelinci anggota baru toko ini, dan memilih pulang. Pria tadi sukses membuat moodnya berantakan. Olive kembali ke depan, mengambil tas dari loker, dan berniat langsung meninggalkan toko. Namun, suara Nina yang bertanya menginterupsi langkahnya. Nina tadi sedang melayani seorang pembeli yang menginginkan seekor anak kucing. Pembeli yang merupakan seorang gadis kecil berusia enam tahun bersama ibunya sedang menyelesaikan pembayaran ketika Olive keluar dengan wajah menekuk. Nina segera mendekatinya setelah anak kecil dan ibunya keluar dari toko. "Kenapa, Liv?" tanya Nina dengan alis berkerut. "Mukanya cantik amat. Nggak dibolehin nengok, ya?" tebaknya. Wajah cantik Olive makin menekuk. Pertanyaan Nina mengingatkannya pada pria menyebalkan yang bertabrakan dengannya tadi. "Nggak kenapa-kenapa," jawabnya sambil menggeleng. "Belum ke dalam juga. Nengoknya besok aja kalo sempat." "Sekarang mau pulang?" Nina masih bertanya, tetapi tangannya bekerja membereskan meja kasir yang sedikit berantakan. Kertas-kertas bekas coretan berhamburan. Nina mengumpulkannya, membuangnya ke tempat sampah terdekat. Olive mengembuskan napas melalui mulut dengan kuat, meletakkan tasnya di atas meja kasir. Sebenarnya masih terlalu sore untuk pulang ke rumah. Tante Sophia –seperti biasa– tidak akan marah kalau dia pulang sedikit terlambat. Toh, dia sudah minta izin dan sudah diizinkan makanya dia berani mampir. Olive merupakan tipe gadis yang kurang pemberani, apalagi soal langgar melanggar ini. "Nggak tau." Olive menggeleng. "Pengennya, sih, nengok keluarga baru dulu, tapi masih kesel." Alis Nina berkerut. "Kesal?" tanyanya. "Kesal kenapa?" Olive melangkah memutari meja kasir, duduk di samping Nina. Ada dua buah kursi di belakang meja kasir. Pada hari libur biasanya akan banyak pengunjung sehingga diperlukan dua orang untuk berjaga di kasir. Hari ini hanya satu mesin kasir saja yang beroperasi sehingga satu kursi tidak terpakai, dan Olive bebas mendudukinya. "Tadi ketemu sama cowok nyebelin." Olive menopang dagu, pipinya menggembung. Alis Nina semakin berkerut tajam. "Cowok?" ulangnya bertanya. Olive mengangguk, kemudian mulai bercerita kalau tadi ketika akan masuk ke dalam untuk melihat kelinci-kelinci yang diceritakan Nina, dia bertabrakan dengan seorang pria. Tampan dan sangat menyebalkan. "Kayaknya tu cowok bisu, deh, Kak. Habisnya nggak ngomong apa-apa langsung nyelonong pergi gitu aja." Bibir mungil Olive mengerucut. Nina mengetuk-ngetukkan bolpen ke dagunya, memikirkan cerita Olive. Seingatnya tadi tidak ada pembeli seorang laki-laki pun hari ini, semuanya perempuan. Kalaupun ada hanyalah para laki-laki cilik bersama orang tua atau Ibu mereka. Untuk laki-laki dewasa yang dimaksud Olive, sepertinya tidak ada. Alis Nina bertaut, mencoba memutar ingatannya lebih keras, dan dua menemukannya. Kemungkinan besar laki-laki yang dimaksud Olive adalah Alvin Bastian. Pria itu tadi menemui pemilik toko untuk membicarakan masalah kucing Himalaya miliknya. Kalau dia tudak salah dengar tadi pria itu memerlukan kandang yang lebih besar untuk kucingnya tersebut. Yang Nina ketahui, Alvin memiliki seekor kucing berjenis Himalaya yang dibelinya di toko ini dua tahun yang lalu. Sebulan sekali pria itu akan datang ke toko ini untuk mengonsultasikan kesehatan kucingnya dengan pemilik toko yang juga merupakan seorang dokter hewan. Sepertinya dugaannya tidak salah, Olive memang baru saja bertemu Alvin. Bukan bertemu, melainkan bertabrakan. Tawa kecil meluncur dari mulut Nina membayangkan kejadian itu. Dia tak heran kalau Alvin tidak berbicara karena memang –setahunya– pria itu sangat irit bicara. Alvin hanya berbicara yang menurutnya penting saja. "Kak Nina, kok, ketawa?" protes Olive. Dia semakin cemberut saja. "Lucu, sih, Liv, makanya ketawa," jawab Nina asal. Tawanya semakin lebar saja. "Kamu baru aja ketemu sama patung. Cowok yang kamu maksud pasti Pak Alvin, langganan toko ini " Olive mengangkat alisnya. "Alvin?" ulangnya bertanya. "Itu namanya?" Nina mengangguk. "Ganteng, 'kan?" tanyanya tersenyum lebar. Olive membuang muka. "Ganteng, sih, tapi nyebelin!" ketusnya dengan wajah menekuk. "Percuma ganteng kalo nggak sopan sama cewek!" Tawa Nina pecah lagi. "Dia emang kayak gitu, Liv. Nggak banyak ngomong." "Mukanya juga dingin banget, aku kayak melihat es." Olive masih mengomel. Dia masih kesal dengan pria yang kata Kak Nina bernama Alvin itu. Pria tampan yang tak sopan. Sangat menyebalkan. "Dari awal ngeliat juga dia emang kayak gitu." Nina menghentikan tawa. Tangannya terulur mencubit pipi Olive. Gadis itu menumpukan dagu di atas meja kasir. "Nggak pernah senyum. Ngomong juga cuman sama bos doang." "Bodo lah!" sahut Olive kesal. "Aku tetap nggak suka sama dia." "Masa?" goda Nina. Senyumnya kembali terbit. "Banyak yang suka, lho, sama dia. Masih single alias jomlo sejak lahir." "Paling juga karena nggak laku!" dengus Olive. "Kata siapa?" tanya Nina membantah. "Orang most wanted gitu." Nina cekikikan setelah mengatakannya. Nina tidak berbohong. Beberapa pegawai perempuan di toko ini selalu menantikan kedatangan pria itu setiap bulan. Mereka berlomba untuk melayani saat Alvin membeli barang-barang kebutuhan kucingnya. "Dih, potongan es batu kayak gitu jadi most wanted?" Olive menggeleng. "Nggak banget!" Dia berdiri, mengambil tas dan menyampirkannya di bahu. "Aku pulang aja, deh, Kak. Besok kalo ada waktu mampir lagi." "Oke!" Nina juga ikut berdiri. Dia mengantarkan Olive sampai ke depan toko. Nina melambai saat Olive menghidupkan motornya. "Hati-hati, Liv!" serunya. Olive mengangguk, membalas lambaian tangan Nina, dan melajukan motornya dengan kecepatan normal. Tak sadar kalau sepasang mata mengawasinya dari dalam sebuah mobil mewah berwarna hitam. *** Olive terjebak macet. Dua jam dia baru tiba di rumah. Padahal biasanya hanya satu jam saja, itu pun bisa kurang kalau dia tidak bertemu dengan lampu merah. Tidak ada siapa-siapa di ruang tamu membuat olive langsung menaiki tangga menuju untuk mencapai kamarnya yang berada di lantai dua. Di depan kamar Alena, dia terpaksa menghentikan langkah. Gadis itu yang keluar dari kamarnya mencegatnya. "Dari mana, Liv?" tanya Alena dengan alis berkerut. "Kok, baru pulang?" Pertanyaan Alena tidak salah. Selama ini Olive selalu berada di rumah lebih awal darinya. Hanya beberapa kali Olive pulang terlambat, itu pun karena kegiatan kampus yang diikutinya. Olive meringis. "Dari tempat biasa, Len," jawabnya. Dia menyebutkan nama toko hewan peliharaan yang sering dikunjunginya. "Pas pulang kejebak macet." Alena tertawa. "Mampus!" ejeknya bercanda. "Sekarang lo tau gimana rasanya macet-macetan pas sore hari. Nggak enak banget, 'kan?" Olive mengangguk. ",Banget!" keluhnya dengan bibir mengerucut. Biasanya dia tidak pernah terjebak macet seperti tadi. Dia salah memilih jalan untuk pulang, seharusnya tadi dia tidak berbelok tetap lurus saja seperti biasa. Entah kenapa dia gagal fokus sore ini. Sepertinya berhubungan dengan kekesalannya saat di toko tadi. Olive mengerang kesal dalam hati. "Aku ke kamar dulu, Len. Gerah, mau mandi." Alena kembali tertawa. Dia mendorong bahu Olive sampai di depan pintu kamar gadis itu yang bersebelahan dengan kamarnya. Alena tak ingin jauh dari Olive, sejak kecil mereka selalu tidur di dalam satu kamar dan satu tempat tidur. Hanya saat memasuki bangku kuliah saja mereka memutuskan untuk memiliki kamar tidur berbeda. Awalnya memang terasa kurang nyaman, lama kelamaan dia mulai terbiasa. "Olive bau!" ejek Alena. Dia masih saja tertawa. Rasanya sangat menyenangkan dapat mengalahkan Olive sekali ini. Bukannya mereka bersaing, kata itu tidak pernah ada di antara mereka. Sejak kecil dia tidak pernah merasa tersaingi dengan kehadiran Olive di rumahnya, dia malah sangat bahagia. Impiannya untuk tinggal bersama Sang Sepupu terkabul. Orang tuanya juga tidak pernah membedakan mereka, dirinya dan Olive adalah saudara kembar beda orang tua. Dia tidak pernah itu pada apa yang dicapai Olive, begitu pun sebaliknya. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. "Mandi yang bersih biar wangi!" "Berisik!" Olive membelalak, menutup pintu, dan langsung menuju kamar mandi dengan setengah berlari, setelah meletakkan semua barang-barangnya di atas meja. Tubuhnya yang lengket karena keringat perlu segera dibersihkan. Lima bekas menit waktu yang diperlukan Olive berada di dalam kamar mandi. Lebih lama dari biasanya yang hanya memerlukan waktu lima sampai sepuluh menit. Olive mengenakan piyama tergesa, dia tak ingin terlambat makan malam. "Mama tau nggak kalo Olive tadi kejebak macet?" Pertanyaan Alena memulai percakapan makan malam mereka. Bercakap-cakap di meja makan sudah menjadi kebiasaan mereka. Biasanya selalu Alena yang memulai, atau kalau tidak pastilah Tante Sophia yang bertanya tentang kegiatan mereka di luar rumah. "Makanya dia pulang tekat." Alena cekikikan sebelum menyuap makan malamnya. "Beranda, Liv?" tanya Sophia dengan sepasang alis terangkat. Olive hanya mengangguk. Mulutnya penuh dengan nasi dan potongan sosis asam manis. Masakan Tante Sophia adalah yang terbaik bagi Olive. Kelak, dia ingin jadi seperti Tante Sophia bila sudah berumah tangga. "Pantas tadi sore nggak keliatan." Sophia menggeleng pelan. "Olive salah ambil jalan pulang, Tante!" lapor Olive setelah mulutnya kosong. "Harusnya Olive ngambil jalan lurus kayak biasanya, tadi malah belok." Alena tersedak potongan sayur dari capcay orak-arik di depannya. Cepat-cepat dia mengambil air sebelum batuk-batuk, kemudian tertawa. Mentertawakan Olive tentu saja. "Kurang minum lo jadinya gagal fokus!" Alena tertawa lagi sebelum kembali melanjutkan makan malam. Olive mengangguk lagi, seolah membenarkan kata-kata Alena. Padahal dua hanya tidak ingin membahas lebih jauh saja masalah macet ini. Untuknya masalah terjebak kemacetan ini memang baru pertama kali, dia selaku memiliki alternatif jalan untuk menghindari macet. Namun, tadi sore dia benar-benar kehilangan konsentrasi. Semuanya disebabkan oleh pria menyebalkan yang bertabrakan dengannya di toko. Sialan pria itu! Olive menghabiskan makan malamnya dengan cepat. Dia juga langsung kembali ke kamar setelah itu, mendekam di balik selimut. Dia sangat lelah hari ini. Bukan tubuh, tetapi otaknya. Biasanya setelah selesai kuliah dia akan bermain dengan hewan-hewan lucu di toko hewan peliharaan tempat Kak Nina bekerja, tapi tadi siang tidak sempat. Besok dia harus bisa melihat kelinci-kelinci yang diceritakan Kak Nina. Tidak bisa melihatnya sore tadi membuatnya penasaran. Seandainya saja bisa dia ingin memelihara salah satu binatang-binatang lucu itu, tapi dia tak ingin lebih merepotkan. Cukup satu dirinya saja yang ditampung Tante Sophia, jangan ditambah dengan hewan peliharaan lagi yang akan memakan biaya tidak sedikit. Olive mencoba memejamkan mata, berharap mimpi bisa menjemputnya seperti yang selalu terjadi saat dia mengalami kelelahan seperti ini. Namun, baru beberapa detik matanya terpejam, dia sudah membukanya kembali. Wajah tampan nan dingin milik Alvin Bastian terbayang. Olive mengerjap beberapa kali, kepalanya menggeleng, mencoba membuang ingatan tentang pria menyebalkan itu. Namun, sepertinya tidak akan mudah. Wajah tanpa senyum itu selalu hadir setiap kali matanya terpejam. Sangat aneh! Padahal selama ini dia sering bertemu dengan pria seperti itu, tapi tak pernah ada yang sampai terbawa pikiran seperti di Alvin Alvin itu. Olive menggeram kesal, menyibak selimut, dan duduk. Tangannya terulur ke nakas, meraih jam digital yang berada di sana. Angka sepuluh tertera. Mungkin masih terlalu site bagi sebagian orang yang terbiasa tidur tengah malam atau dini hari. Namun, bagi Olive yang terbiasa tidur sebelum jam itu, sudah terlalu malam. Dia perlu memejamkan mata, perlu pengalihan agar tidak selalu mengingat wajah menyebalkan Alvin Bastian. Sungguh, ini bukan sesuatu yang menyenangkan. Kejadian ini gari pertama kali, dia tidak dapat tidur karena seorang laki-laki tak dikenal. Olive meninju guling gemas berkali-kali, membayangkan itu adalah wajah tanpa senyum milik Alvin. Baru berhenti setelah dia puas. Olive tersenyum, menyeka keringat yang membasahi pelipis. Entah ini kebiasaan buruk atau baik, Olive tak pernah menyalakan penyejuk udara saat tidur. Dia tidak ingin membeku karena lupa mematikan saat suhu udara sudah mulai turun. Bukan tanpa alasan dia melakukannya. Dulu, saat baru beberapa hari tidur di kamar terpisah dari Alena, dia menyalakan penyejuk udara. Mungkin karena tidurnya yang terlaku pulas dia jadi lupa mematikan penyejuk ruangan sampai pagi. Alhasil, dia demam karena kedinginan. Sejak itu Olive tak pernah menggunakan penyejuk udara lagi kalau ingin tidur malam. Dia akan mematikannya sebelum tidur. Tak ingin kejadian dulu terulang. Biasanya yang mematikan penyejuk ruangan adalah Alena. Sepupunya itu selalu terbangun saat tengah malam, berbeda dengannya yang selalu pulas meski tanpa bantuan obat-obatan. Tidur malam hari adalah yang terbaik baginya. Setelah seharian berada di luar rumah, baik dirinya maupun Alena selalu tidur cepat. Namun, malam ini sepertinya dia akan tidur lebih malam. Olive mengembuskan napas dari mulut kuat. Berbaring dan menarik selimut sebatas d**a sebelum memejamkan mata. "Selamat tidur, Alvin," gumamnya tanpa sadar. Kantuk sudah mengambil alih kesadarannya. Sedetik kemudian Olive sudah berada di alam mimpi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN