Bab 1

3025 Kata
Awan mendung masih menggelayut di langit kota kembang. Hujan yang turun sejak tadi siang seolah masih belum cukup saja. Awan itu seakan mengatakan kalau masih banyak air yang akan tumpah, kemungkinan besar semalaman ini hujan masih akan mengguyur. Gadis kecil dengan rambut hitamnya yang diikat ekor kuda masih betah duduk bersimpuh di depan dua gundukan tanah merah yang masih basah. Sudah sejak satu jam yang lalu gadis kecil berusia sembikan tahun itu tetap tak mau beranjak. Olivia Angeline tak ingin pergi dari sana, dia masih ingin berada di makam kedua orang tuanya. Kepergian kedua orang tuanya yang sangat mendadak membuat gadis kecil itu belum bisa menerima. "Olive, kita pulang sekarang, yuk, Sayang." Sophia Adelia adalah adik almarhumah Sonia Angelia, Ibu Olive. Karena kakak perempuan satu-satunya sudah meninggal, Sophia menjadi wali untuk putri tunggal kakaknya. "Mulai malam ini Olive tinggal sama Alen, ya." Sophia mengusap pucuk kepala keponakannya lembut. Olive lebih muda beberapa bulan dari Alena, putrinya. Kedua gadis kecil itu sangat dekat. Sophia berharap Alen akan bisa mengurangi rasa kehilangan yang dirasakan Olive. Bukan hanya Olive yang merasakan kehilangan, dirinya juga. Dia dan kakaknya sangat dekat. Meskipun mereka tinggal di kota yang berbeda, seminggu sekali mereka pasti bertemu. Apalagi di akhir pekan, keluarga mereka pasti menghabiskannya bersama. Rasanya masih tak percaya kalau sekarang kakak perempuannya telah tiada. Nyawa Sonia dan Abe, suaminya, terenggut dalam sebuah kecelakaan yang terjadi tadi malam. Mereka menghadiri acara ulang tahun salah satu rekan bisnis Abe, tidak tahu kalau semua akan berakhir pada kecelakaan beruntun yang terjadi tadi malam. Olive selamat karena tidak ikut, gadis kecil itu tinggal di rumah bersama asisten rumah tangga mereka. Sonia dan Abe tewas seketika, dia tahu dari asisten rumah tangga mereka yang menjaga Olive. "Olive mau, 'kan, Sayang?" Sophia berjongkok di samping keponakannya yang tak bersuara. Tak ada yang dilakukan Olive, dia hanya diam sambil sesekali mengusap air matanya. "Kita ke mobil, yuk! Alen udah nunggu Olive dari tadi, lho," bujuk Sophia. Namun, Olive tak bergeming. Dia tetap pada posisinya semula, yang membuat Sophia kembali menitikkan air mata. Olive menangis tanpa suara. Sophia memeluk gadis kecil itu erat. Dia berjanji akan menjaga Olive dan merawatnya seperti putrinya sendiri. Sophia menggendong Olive karena gadis kecil itu tetap tidak bergerak. Membawanya ke mobil, meninggalkan area pemakaman. Di mobil, Olive tetap tak bersuara meski Alen sudah mengajaknya bicara. Mulutnya terkatup rapat, hanya air matanya saja yang masih tetap turun dan membuatnya menggerakkan tangan mungilnya untuk mengusap. Meskipun gerakan kecil setidaknya menunjukkan Olive masih peka, dan itu membuat Sophia sangat senang. Dia tersenyum tipis, melirik kedua gadis kecil yang mulai berinteraksi di jok belakang. Mereka berdua berpelukan dan saling memejamkan mata. Selang beberapa menit, tak terdengar apa-apa lagi dari keduanya. Sophia menoleh ke belakang, kembali tersenyum melihat kedua gadis kecilnya tertidur. "Olive pasti bakalan baik-baik aja, Ma. Papa yakin." Arnold mengusap pucuk kepala Sophia dengan tangan kiri, tangan kanannya masih menegang setir. ia mengendarai mobilnya sendiri. Mereka memang memiliki sopir, tapi berhubung ini masalah keluarga, ia merasa lebih nyaman menyetir mobil sendiri. "Olive kuat, apalagi ada Alen. Mama jangan khawatir, ya?" pintanya. Sophia mengangguk, membuat dua bulir air matanya kembali jatuh. Sampai saat ini dia masih belum percaya kalau satu-satunya keluarga yang dimilikinya telah tiada..Dia dan Sonia hanya tinggal berdua, kedua orang tua mereka sudah meninggal. Sekarang dia sendirian. "Mama jangan nangis lagi!" Arnold mengusap air mata istrinya menggunakan ibu jari. "Mama harus kuat buat anak-anak. Jangan sampai Olive liat Mama nangis." Sophia menarik napas panjang. Suaminya benar, di tidak boleh menangis lagi. Dia harus kuat demi anak-anaknya. Dia bukan lagi seorang Ibu dengan satu anak perempuan, tetapi sekarang dia mempunyai dua orang anak perempuan. Kak Nia, kakak nggak perlu khawatir. Aku pasti jagain Olive. . . . . . . . . . . Seorang anak selalu memiliki ingatan yang kuat akan sesuatu, begitu juga dengan Olive. Dia memang mendapatkan cinta dan kasih sayang yang sama dengan yang didapat Alen, tapi baginya tetap saja ada yang berbeda. Dia tetap merindukan bundanya. Bunda yang selalu membacakan dongeng saat dia akan tidur. Bunda yang galak dan selalu memarahi kalau dia melakukan kesalahan. Pokoknya dia merindukan Bunda. Tante Sophia memang juga menyayanginya, selalu memeluk dan menciumnya, tapi Tante Sophia tidak pernah marah. Dia dan Alen sering melakukan kesalahan, mereka membuat rumah berantakan. Tante Sophia akan membereskan dan meminta mereka untuk membantu. "Bunda, sekarang Bunda lagi ngapain? Olive kangen sama Bunda," bisik Olive di dalam selimutnya. Tak mungkin dia mengucapkan semuanya dengan suara keras, Olive tak ingin mengganggu Alen. Mereka tidur di satu kamar yang sama sejak kedatangannya di rumah ini. Mereka berdua yang menginginkannya, mereka tak ingin berpisah dan ingin selalu bersama. Tak masalah bagi Olive, dia tak keberatan karena memang memerlukan teman. Dia tak ingin sendirian. Dia memerlukan Alen agar tak selalu mengingat Bunda. Sebulan Bunda pergi dan Olive merasa semakin kesepian. Dia harus beradaptasi dengan lingkungan baru dan itu tidak mudah baginya. Beruntung ada Alen, kalau tidak dia pasti akan merasa sendirian. "Bunda, Olive sekarang tinggal sama Alen, tidur sekamar sama Alen juga. Olive janji sama Bunda, Olive bakalan jadi anak yang baik, nggak nakal, dan nurut sama Tante Phia." Olive berbicara sejenak. Tangan mungilnya mengusap air mata yang turun melewati hidung. "Olive nanti pasti jenguk Bunda sama Papa. Olive sayang Bunda sama Papa. Jagain Olive, ya, Bunda, Papa." Kata-kata itu yang selalu diucapkan Olive setiap malam menjelang tidurnya. Mungkin dia memang masih kecil, masih kurang bahkan tidak mengerti sama sekali dengan semua yang terjadi padanya dan pada keluarganya. Orang-orang dewasa di luar sana juga pasti berpikiran demikian. Namun, mereka semua salah. Di usianya yang baru sembilan tahun dia sudah mengerti tentang keadaanya yang sudah tidak memiliki orang tua. Meskipun Tante Sophia menyayanginya, dia tetap tak bisa bermanja seperti saat Bunda masih hidup. Dia hanya akan diam saja dan pura-pura tidak melihat saat Alen bermanja pada Tante Sophia. Olive akan pergi ke kamar dan menangis sendirian di sana. Olive masih menangis beberapa saat sampai dia jatuh tertidur tanpa sadar. Dia tidak tahu kalau sejak tadi Sophia memperhatikannya dari balik pintu. Sophia selalu melakukan itu, memeriksa kedua putrinya sebelum dia ke kamarnya dan tidur. Pelan-pelan Sophia memasuki kamar Olive dan Alen. Setelah mengecup kening Alen, Sophia menghampiri tempat tidur Olive dan duduk di sisi tempat tidurnya yang kosong. Perlahan Sophia membuka selimut yang menutupi tubuh mungil keponakannya sampai kepala. Merapikannya, menyelimuti Olive sampai di batas d**a. Mengusap pelipisnya yang berkeringat dengan lembut. Sophia tahu kalau Olive masih belum bisa beradaptasi sepenuhnya di sini. Dia perlu usaha lebih keras lagi agar keponakannya merasa tinggal di rumahnya sendiri. Sebab dia memang tidak membedakan mereka. Alen dan Olive baginya sama, dia menyayangi kedua gadis kecilnya. Sophia mengecup kening Olive pelan sebelum meninggalkan kamar itu dan kembali ke kamarnya. *** Apakah ada yang lebih berisik dari bunyi alarm yang selalu membangunkan di pagi hari? Bagi Olive jawabannya ada, yaitu suara kicauan Alen yang tiada henti. Saat masih di dalam kamar, di meja makan ketika sarapan sampai di dalam mobil yang mengantarkan mereka ke sekolah. Alen terus berbicara seakan tak ada habisnya. Olive heran, apakah mulut Alen tidak berbusa terus berbicara tanpa jeda. Suaranya saja terdengar serak. "Alen ngomongnya bisa direm nggak?" tanya Olive menggembungkan pipi tembemnya, membuat pipi itu terlihat semakin bervolume. Alen langsung berhenti berbicara seperti radio yang dimatikan dayanya. Tatapannya mengarah pada Olive yang sedang cemberut. "Kan aku lagi cerita, Liv, masa mau berhenti, sih?" Alen memprotes. "Ntar kalo aku berhenti sekarang jadi lupa," ucapnya polos. "Tapi, 'kan, Alen udah ngomong dari tadi. Nggak capek?" Olive kembali bertanya. Bibir mungilnya yang kemerahan mengerucut. Alen menggeleng. "Nggak!" jawabnya. Olive mengembuskan napas melalui mulutnya. "Terserah Alen, deh. Tapi Olive nggak mau dengerin. Capek!" keluhnya. Alen melongo, sedetik kemudian kembali meneruskan ceritanya. Tak peduli Sang Sepupu tidak mendengarkan, yang penting baginya dia sudah menceritakan apa yang ada di kepalanya. Rasanya sudah sangat lega. "Olive, nanti pulang sekolah kita singgah kedai es krim, ya?" pinta Alen setelah menyelesaikan ceritanya. "Aku haus." Alen mengusap lehernya. "Alen kebanyakan ngomong, sih, makanya haus." Olive memberikan botol air minumnya. "Alen minum dulu, gih! Biar hausnya hilang." Alen tidak menyahut, langsung mengambil botol air minum yang disodorkan Olive. Ini adalah salah satu alasan kenapa Alen mengajak Olive singgah ke kedai es krim sepulang sekolah. Dia haus. Air minumnya sudah habis, dia sengaja membuang isinya agar bisa membeli es krim kesukaannya. Kalau bersama Olive, Mama tidak akan marah. Sekalipun Mama marah, dia tidak akan dimarahi sendirian. Cerdik, bukan? Olive anak yang pandai. Di sekolahnya yang dulu dia selalu mendapatkan peringkat tiga besar, begitu juga di sekolah baru. Saat pembagian raport kenaikan kelas, Olive mendapatkan peringkat kedua. Berbeda jauh dari Alen yang mendapatkan peringkat kesebelas. Sophia tidak memarahi Alen, dia sudah tahu kemampuan putrinya. Alen tidak berbakat di bidang akademik, sama seperti dirinya semasa sekolah dulu. Dia selalu minta bantuan dari almarhumah Sonia, kakaknya, yang lebih pintar. Sekarang kejadian semasa kecilnya kembali terulang. Sophia tersenyum. "Alen kalo mau hadiah kayak punya Olive harus belajar yang rajin, ya!" Arnold membujuk putrinya. Sengaja ia memberikan Olive sebuah boneka kelinci besar sebagai hadiah karena sudah mendapatkan peringkat di kelas. Arnold tahu Olive sangat menyukai kelinci, tapi Sophia melarang memeliharanya karena tak ingin Olive terbebani. Okeh sebab itu ia dan Sophia menghadiahkannya boneka kelinci. "Alen udah belajar, Papa!" jawab Alen dengan pipi menggembung. Dia paling tidak suka kalau disuruh berhadapan dengan buku dan segala t***k bengeknya. Lebih baik melakukan yang lain, seperti olahraga atau kelas menari misalnya. Lebih menyenangkan. "Tapi nggak bisa kayak Olive." "Olive nggak belajar, kok, Len," sahut Olive polos. "Olive cuman suka baca." Sophia dan Arnold tertawa mendengarnya. Sophia menghampiri kedua bocah itu yang bermain boneka Barbie di lantai, memeluk keduanya. Olive dan Alen sangat berbeda. Olive begitu mirip dengan Sonia, sementara Alen mirip dengan dirinya. Melihat mereka berdua seolah melihat dirinya bersama Sang Kakak sewaktu masih kecil. Kedekatan Olive dan Alen juga sama seperti kedekatannya dengan almarhumah kakaknya. Sophia berharap kedua gadis kecilnya akan tetap dekat seperti ini sampai mereka dewasa nanti. Harapan yang menjadi kenyataan. Olive dan Alen malah semakin dekat ketika usia mereka menginjak remaja. Mereka memang sudah tidak tidur sekamar lagi, tapi masih tetap ke mana-mana selalu berdua. Bahkan juga memilih jurusan yang sama di kampus yang sama pula. Mereka juga selaku duduk berdua selama kuliah. Namun, tetap saja Olive lebih berprestasi di akademik, sementara Alen lebih berprestasi di luar akademik. Sudah ada beberapa piala pentas seni di dalam lemari dinding di kamar Alen. Jumlahnya bahkan lebih banyak dari piala milik Olive. "Olive, lo udah selesai belum?" Olive menoleh mendengar pertanyaan itu. Menggeleng melihat kepala Alen melongok di sela pintu yang dibukanya sedikit. "Masih lama nggak?" "Bentar lagi, kok, Len. Tinggal dikit," jawab Olive. Dia kembali fokus pada laptop menyala di depannya. "Kalo mau nungguin, tunggu aja," sambung Olive tanpa menatap Alen. Alen mengembuskan napas melalui mulut. Entah tugas apa yang dikerjakan Olive, dia sampai pusing melihatnya. "Gue duluan aja, deh, Liv. Lo ntar nyusul, ya? Awas kalo nggak!" Olive tidak bereaksi, dia fokus pada tugasnya. Tugas yang akan dikumpulkan hari ini, dia lupa bekum menyelesaikan. Tugasnya masih perlu diberi sentuhan akhir, beberapa paragraf kata-kata penutup agar terlihat manis oleh yang membaca. Lima menit kemudian Olive sudah menyelesaikan tugasnya. Dia memasukkan semua keperluan ke dalam tas selempang yang akan digunakannya hari ini sebagai tempat buku-buku dan alat tulis lainnya. Sebelum keluar kamar, Olive menyempatkan diri mencium foto kedua orang tuanya. Sudah sepuluh tahun sejak peristiwa itu, dan sekarang dia sudah bisa menerima. Dia sudah mengerti dan mengikhlaskan kepergian kedua orang tuanya. "Bunda, Papa, Olive kuliah dulu, ya!" Setelah berpamitan dengan foto kedua orang tuanya, Olive segera keluar kamar, dia hampir terlambat. Salahkan dirinya yang tadi malam mau saja dimintai Alen bantuan untuk memvideo kegiatan menarinya sampai tengah malam, dan melupakan tugas kuliahnya yang belum selesai. Dia lupa kalau belum menyelesaikan. Seingatnya dia sudah mengerjakan, ternyata yang dikerjakannya adalah tugas lainnya. Untung saja hari ini dia tidak kuliah pagi, kalau tidak nilainya akan merah, dan itu sangat memalukan untuknya. Dia yang tak pernah mendapatkan nilai kurang, harus mendapatkan nilai di bawah rata-rata hanya katena.lupa mengerjakan tugas. Astaga, mau ditaruh di mana mukanya? "Tante, aku berangkat sekarang, ya?" Terburu-buru Olive mencium tangan dan pipi Tante Sophia, kebiasaannya sejak kecil ketika akan pergi ke mana pun. "Nggak sarapan dulu?" tanya Sophia dengan alis terangkat. Masalahnya dia sudah menyiapkan sarapan untuk dua orang gadis muda di rumahnya. Yang satu sudah menolak dengan alasan terlambat, yang seorang lagi juga menolak dengan alasan yang sama. Ada apa dengan kedua gadisnya? "Nggak sempat, Tan!" Olive menggeleng. "Nanti aja di kampus aku sarapannya!" serunya sambil melangkah cepat ke arah luar. Olive menaiki motor matic kesayangan, hadiah dari Om Arnold dan Tante Sophia karena dia berhasil lulus sekolah menengah atas dengan nilai tinggi. Sebenarnya Tante Sophia ingin membelikan mobil seperti milik Aken tapi dia menolaknya. Selain karena tak ingin lebih banyak berhutang budi, Olive juga merasa lebih nyaman menaiki motor daripada mobil. Yang pasti dia tidak akan terjebak macet. Sering Alen mengeluh, gara-gara terjebak macet dia jadi terlambat tiba di kampus. Namun, tidak begitu dengannya. Dia selalu tiba di kampus tepat waktu, seperti sekarang. Seandainya dia mengendarai mobil seperti Alen, Olive yakin dia pasti akan terlambat tiba di kampus. "Olive, akhirnya lo dateng juga!" Alen langsung berlari menyongsong sepupunya. Memberikannya sebuah pelukan erat seolah mereka baru pertama kali bertemu setelah berpisah ribuan tahun. Olive menggerakkan tubuhnya tak nyaman. Pelukan Alen dirasakannya terlalu erat. Padahal Alen tidak gemuk, tubuhnya cenderung kecil. Meski lebih tinggi darinya, Alen tetap saja mungil. "Alen, aku nggak bisa napas, nih. Lepasin, dong!" pinta Olive susah payah. Alen hanya cengengesan, melepaskan Olive yang menatapnya dengan tatapan membunuh. "Kamu mau bunuh aku, ya?" tanya Olive membelalak. Alen menggeleng sok polos. "Nggak!" jawabnya manis. "Gue udah dari tadi nungguin lo, tapi lo baru dateng sekarang. Gue, 'kan, cemas kalo lo kenapa-kenapa, Liv." Olive memutar bola mata malas. Dia sudah tahu kalau Alen sangat mahir dalam bersandiwara. Sejak di sekolah menengah Alen sellau mengambil bagian dalam pementasan drama sekolah, dan selalu jadi peran utama. Oleh sebab itu dia tidak percaya dengan raut wajah Alen yang menipu. Dia tidak sama dengan deretan pria yang tergoda oleh tampang munafik sepupunya. "Lo nggak bakalan mungkin absen apalagi bolos kuliah. Nggak salah dong kalo gue khawatir?" tanya Alen dengan wajah memelas. "Astaga, Len! Basi banget tau nggak, sih?" hardik Olive kesal. "Bosan aku liat akting kamu. Eneg!" Alen membelalak, tapi tak memedulikan perkataan Olive. Dia memeluk lengan sepupunya, menariknya untuk menuju ke kelas mereka. "Ntar pas pulang kalo lo mau pulang, pulang duluan aja. Gue nggak apa-apa pulang sendirian," ucap Alen. Olive mendelik. "Astaga, jangan natap gue kayak gitu, dong!" Aken mendorong bahu Olive pelan. "Gue nggak mau ke mana-mana, cuman ada latihan aja sama tim cheers gue." "Beneran?" tanya Olive dengan tatapan menyelidik. Dia tidak percaya, soalnya Alen pernah membohonginya dengan alasan yang sama. Ada latihan dengan tim cheerleaders, padahal aslinya Alen dan teman-temannya pergi ke klub. Alen kena hukum selama seminggu tidak boleh menggunakan kendaraan pribadi ke mana pun. Ke kampus juga harus bersamanya, pulang dan pergi. Sebenarnya Olive tidak tega, Alen juga sedikit merepotkan baginya. Bukannya apa-apa, siapa pun tahu kalau Alen itu sangat cerewet, dia tidak tahan mendengar celotehannya. Alen yang dihukum, tapi serasa dia yang mendapatkan hukuman. "Iya, Olive Sayang." Alen memeluk lengan Olive lagi. "Kalo lo nggak percaya ikut gue aja, gimana?" tawarnya. Olive bergidik. "Ogah!" jawabnya cepat. Dia paling tidak suka dengan anggota cheerleaders kampus. Gadis-gadis itu selalu merasa dirinya paling cantik. Mereka memang tidak memusuhinya, hanya dia saja yang merasa kurang nyaman berada di sana. Tempat itu bukan habitatnya. Alen mengikik geli. Dia sudah tahu Olive pasti akan menjawab seperti itu. Sepupunya bukan tipe gadis yang suka dengan hal semacam itu, Olive adalah kutu buku, kutu buku yang cantik. "Beneran, 'kan, Len, kamu ada latihan?" Sekali lagi Olive bertanya untuk meyakinkan. "Aku nggak mau kejadian kayak dulu terulang lagi. Asli, sakit kuping aku dengar ocehan kamu." Alen cemberut, pipinya menggembung. Ingin protes, tapi kenyataannya memang seperti itu. Sepanjang jalan menuju kampus dia terus berbicara. Dia tipe gadis yang menyukai keramaian. Menurutnya, sepi itu sangat tidak menyenangkan. Hanya akan membuat seseorang memikirkan hal yang tidak-tidak. "Itu, 'kan, karena gue nggak suka sepi, Liv." Alen membela diri. Olive tidak menyahut, mereka sudah tiba di ruangan kelas mereka. Olive meletakkan tas di meja dan duduk. Alen mengikuti. Keduanya mengembuskan napas lega, bersyukur dalam hati karena mereka tidak terlambat. *** Alen benar-benar ada latihan sore ini. Olive memercayai perkataannya setelah melihat jadwal di mading tadi. Olive mengembuskan napas lega, setidaknya Alen tidak berbohong, dan mereka tidak akan dihukum. Olive melajukan motornya meninggalkan kampus. Oleh karena hari masih siang, dia memutuskan untuk singgah di toko hewan peliharaan yang sering dilewatinya, baik saat akan pergi atau pulang dari kampus. Sebenarnya Olive sengaja melewati tempat itu, tak peduli dengan jarak yang ditempuh lebih jauh dua kali lipat. Dia sangat suka melihat semua binatang peliharaan yang dijual di toko itu, terutama kelincinya. Sejak kecil Olive sangat menyukai kelinci. Namun, baik almarhumah Bunda, begitu juga dengan Tante Sophia melarangnya untuk memelihara. Mereka takut dirinya tidak bisa merawat binatang peliharaannya nanti, dan sepertinya mereka benar, dia tidak bisa merawat mereka. Ternyata merawat binatang peliharaan itu sangat sulit. Perlu ketelitian dan keahlian khusus, kalau tidak binatang peliharaan akan mati. Olive sudah tidak asing lagi di toko ini, dia sudah sangat sering singgah dan membantu, baik karyawan maupun pemilik toko sudah akrab dengannya. "Selamat siang, Kak Nina!" Olive menyapa penjaga kasir toko. Dia tersenyum membalas Nina yang tersenyum padanya. "Siang, Liv!" balas Nina. "Kirain nggak datang hari ini. Ada beberapa ekor kelinci baru lagi, Liv. Datang tadi pagi." "Beneran?" tanya Olive dengan mata berbinar. Dia selalu bersemangat kalau ada kelinci atau binatang peliharaan lainnya yang baru datang. Nina mengangguk. "Berapa banyak, Kak?" tanya Olive lagi sambil meletakkan barang bawaannya di loker yang disediakan toko. Olive jiga memiliki satu loker khusus untuknya. Pemilik toko yang memberikannya. "Lihat aja di dalam!" Olive tersenyum lebar, bergegas ke belakang untuk melihat kelinci-kelinci baru penghuni toko. Namun, karena terlalu bersemangat dia menabrak sesuatu, atau seseorang. Entahlah, dia tak dapat melihatnya, benda yang bertabrakan dengannya terlalu tinggi untuk tubuh mungilnya. Olive meringis, mengusap dahinya yang sudah berciuman dengan benda keras. Pelan Olive mendongak, untuk mencari tahu apa atau siapa yang sudah ditabraknya. Mata Olive melebar melihatnya. Dia sudah bertabrakan dengan dewa Yunani kesasar!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN