Haruskah Kita Bertemu?

1215 Kata
Albana keluar rumah dalam gendongan Anin. Seperti kebanyakan ibu lainnya, Anin lebih protektif pada anaknya. Takut jatuhlah, takut ini itu dan lain-lain. "Abi ...." Albana memekik dan meronta turun dari gendongan bundanya kemudian lari ke pelukan Fajar. "Abi kangen," ucap Fajar sambil mencium pipi mulus Albana dan dibalas dengan pelukan oleh bocah mungil itu. "Mas Fajar, sampai sini kapan?" tanya Anin. "Tadi menjelang subuh," jawab Fajar. "Albana ku bawa ya, gak usah dititipkan ke day care. Hari ini aku masih belum ngajar," ucap Fajar "Emang enggak capek mas habis berkendara? kok mau jagain Albana segala." "Enggak kan ada temannya gantian nyupir. Eh iya kenalin ini ...." Fajar clingak-clinguk mencari Evan. "Lah, kemana tuh orang?" "Siapa?" tanya Anin "Temanku tadi dia ikutan kesini tapi kok tau-tau ilang." "Jangan-jangan kamu bawa hantu mas," kelakar Anin. "Mungkin dia mental lihat bidadari keluar dari dalam rumah," Fajar tidak mau kalah dengan Anin. "Isssh! mulai deh. Sebentar bunda ambil tas Albana dulu ya," ucap Anin sambil masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian Anin keluar lagi membawa tas berisi perlengkapan Albana. "Makanan dan s**u sudah ada di dalam sini, kalau rewel bawa saja ke day care ya mas." "Albana tidak pernah rewel kalau sudah sama Abi. Ya kan Al?" "Hemm," gumam bocah itu sambil menganggukkan kepalanya, kemudian memeluk erat lagi Fajar dan meletakkannya kepalanya di ceruk leher laki-laki yang selalu menyebut dirinya Abi Albana. "Ya sudah, bunda mau jalan kerja ya. Baik-baik main sama Abi." "Assalamualaikum ... d**a bunda," ucap Fajar sambil keluar dari teras rumah Anin. Anin membalas salam, kemudian melambaikan tangannya sambil tersenyum manis. Di balik pagar rumah yang terlindungi dari pandangan, Evan merasakan kegetiran melihat pemandangan itu. Mantan istri dan anaknya terlihat bahagia bersama temannya. Tadi saat mendengar suara Anin, Evan dengan refleks segera mundur dan keluar dari halaman rumah itu. Hampir tiga tahun mencari anak dan istrinya, tapi saat dia menemukannya tiba-tiba saja dia merasa belum siap. Mungkin karena mantan istrinya itu adalah wanita yang disukai oleh temannya. Evan merasa saat itu bukan waktu yang tepat untuk bertemu muka dengan Anin. Tapi kenapa Anin memanggilnya mas Fajar, bukan Malik. Dia ingat memang nama Malik ada Fajar nya juga. Melihat sahabatnya sudah berpamitan, Evan bergegas pergi dari tempat persembunyiannya dan berjalan setengah berlari menuju rumah temannya itu. Fajar mengendong Albana sambil terus berceloteh, anak kecil itu nampak bahagia ada dalam gendongannya. Tak membutuhkan waktu lama, Fajar sudah sampai di depan rumahnya. Terlihat olehnya Evan tengah duduk di teras rumahnya. "Kenapa tau-tau enggak ada?" tanya Fajar. "Tadi kebelet jadi pulang duluan," jawab Evan berbohong. "Jadi ini anak yang kamu ceritakan itu? manis sekali, boleh aku mengendongnya?" tanya Evan sambil mengulurkan tangannya. Fajar memberikan Albana pada Evan. "Kamu boleh dekat dengan anaknya, tapi jangan bundanya," kelakar Fajar. Evan hanya tersenyum getir mendengar perkataan temannya itu. "Ngomong-ngomong kok orang-orang disini memanggilmu Fajar?" tanya Evan sambil masuk ke dalam rumah. "Oh itu, waktu di Kairo, aku biasa di panggil Fajar dan akhi Abdullah anak pimpinan pesantren ini biasa memanggilku dengan nama itu. Jadi semua orang yang mengenalku dengan nama Fajar," tutur Fajar menjelaskan. "Oh gitu, berarti aku juga harus memanggilmu Fajar kalau disini jadi orang gak binggung." "Albana, ini mainan buat Al. Sini," Fajar menurunkan semua mainan yang dia bawa ke atas karpet yang di gelar di ruang tamu. Albana segera turun dari gendongan Evan dan dengan antusias memainkan semua mainan itu dengan tenang. "Bagaimana kamu bisa mengenal bundanya?" tanya Evan. Dia begitu penasaran bagaimana bisa Fajar bertemu dengan Anin dan Fajar begitu akrab dengannya, bahkan dekat dengan putranya. "Waktu itu saat aku dalam perjalanan kemari, melihat wanita yang tengah berdiri di atas jembatan. Kupikir dia akan bunuh diri karena begitu fokus menatap kearah bawah jembatan, jadi aku menghentikan mobilku," tutur Fajar mulai bercerita. Evan langsung membayangkan hal itu, apa itu saat dimana Anin meninggalkan rumahnya. "Saat ku dekati malah pingsan, ya sudah kubawa saja ke rumah sakit dulu. Pas di rumah sakit malah aku dimarahi dokter, katanya aku suami tak bertanggung jawab. Istri sedang hamil dibiarkan kelaparan sampai pingsan. Meskipun orang hamil rata-rata susah makan, setidaknya harus makan apa aja dan peranan suami adalah membujuknya. Dokter juga bilang kalau dia dalam keadaan tertekan. Tidak mau menjelaskan macam-macam ya sudah kuakui saja wanita itu istriku di hadapan dokter itu." Hati Evan nyeri mendengar cerita dari Fajar, hamil, tertekan, kelaparan? semua ini terjadi karena ulahnya. "Terus kenapa dia bisa ikut kesini bersamamu?" tanya Evan. "Saat aku hendak mengantarkannya pulang, dia bilang tak punya rumah dan keluarga. Dari ucapnya dia terlihat jujur dan tidak berbohong jadi mau tak mau aku percaya. Kupikir dia ini tuna wisma yang di perkos* sampai hamil, tapi dia terlihat berpendidikan dan bersih. Akhirnya kubawa saja dia bersamaku, karena aku juga harus segera sampai ketempat ini." "Abi ... aus cucu," celoteh Albana memutuskan obrolan mereka. "Biar aku saja yang bikin," cetus Evan menawarkan diri. Tanpa menunggu persetujuan Fajar Evan segera mengambil s**u dan pelengkapnya dari dalam tas yang tadi mereka bawa. "Berapa sendok ya ini?" tanya Evan. "Biar aku saja, kamu lihatin aja dulu. Soalnya kalau ukuranya tidak pas, Albana nggak mau meminumnya. Dia bilang tidak enak," Fajar berkata sambil mengambil alih gelas straw dari tangan Evan. Dengan cekatan Fajar meracik s**u untuk Albana setelah siap diminum, Fajar meraih Albana dalam pangkuannya dan membiarkan bocah manis itu minum s**u sambil bersandar padanya. Ada rasa iri di dalam hati Evan, harusnya semua itu dialah yang melakukan bukan malah orang lain. "Lalu bagaimana orang-orang disini mengenal kalian berdua? maksudku sebagai apa, kalau kamu mengaku suaminya pasti kalian harusnya tinggal bersama kan?" tanya Evan memancing Fajar untuk melanjutkan ceritanya. "Saat dalam perjalanan, ku minta dia untuk bercerita tentang kehidupannya. Setidaknya aku harus tahu semua itu untuk mencari alibi biar dia bisa tinggal juga disana. Bagaimanapun juga, aku tidak mau mengakui wanita yang baru ku kenal dan tengah hamil sebagai istriku. Dan akhirnya dia mau bercerita tentang kisah hidupnya," Fajar menceritakan semua tentang Anin, cerita yang sama seperti yang Anin ceritakan padanya. "Benar-benar laki-laki tidak punya perasaan, bisa-bisanya berbuat seperti itu pada wanita sebaik Anin. Jika aku mengenalnya, ingin sekali ku hajar dia." Fajar berkata dengan geram. "Bahkan saat dia pergi hanya membawa tas ransel berisi beberapa lembar pakaian dan ijazah saja, bagaimana bisa dikatakan wanita itu materialistis," ucap Fajar melanjutkan. Evan menelan ludah mendengar perkataan Fajar, apakah persahabatan mereka akan hancur jika Fajar tahu mantan suami Anin adalah dirinya. Sampai kapan dia bisa menyembunyikan fakta ini. "Sesampainya disini, dia ku akui sebagai istri temanku yang harus ku jaga karena sedang hamil dan tidak bisa ikut suaminya yang bekerja di luar negeri. Dan ternyata wanita itu lulusan S1 pendidikan, jadi sekalian kan bisa mengajar di pesantren." Fajar mengakhiri ceritanya. "Dia memang istri dari temanmu," ucap Evan dalam hati. "Kenapa kamu kepo sama bunda Albana, bahkan kamu belum melihatnya," tanya Fajar menyelidik. "A-itu, karena aku sudah langsung jatuh cinta pada bocah mungil ini," ucap Evan sambil mencolek pipi Albana. "Siapa tadi namanya?" tanya Evan. "Albanna," jawab Fajar singkat. "Apa itu artinya?" tanya Evan, setidaknya dia harus tahu arti nama dari anaknya. "Setahuku kalau bahasa Arab arti bakunya pembangun, yaa semacam arsitek gitulah." Mendengar penjelasan dari Fajar, hati Evan menghangat. Dia merasa jika Anin masih mengenangnya dengan memberikan nama itu pada anak mereka. Keberaniannya untuk menemui Anin dan menampakkan diri padanya tiba-tiba meningkatkan beberapa persen. "Haruskah aku segera menemuimu Anin?" ucap Evan dalam hati. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN