Pertemuan?

1198 Kata
Evan mengemasi apartemen miliknya, furniture ditutup dengan kain berwarna putih untuk menghindari debu menempel di sana, sepertinya dia akan meninggalkan tempat itu dalam waktu yang lama. Mengawasi pembuatan masjid sekaligus gedung universitas pasti memerlukan waktu yang tidak sebentar. Setelah lelah mencari informasi tentang istrinya, dia mencari juga laki-laki yang ada di vidio bersama Anin kala itu. Vidio yang membuatnya mengambil keputusan yang disesali seumur hidupnya. Semua informasi dia dapatkan dari orang kepercayaannya, feeling-nya mengatakan jika laki-laki itu mungkin saja memanipulasi video itu jadi Evan enggan menemuinya secara langsung hanya menyuruh orang memaksa laki-laki itu membuka mulutnya. Dia enggan bertemu langsung karena takut tidak bisa mengendalikan dirinya dan membunuhnya. Menurut orang kepercayaannya, laki-laki itu memang sengaja memancing percakapan agar Anin mengatakan jika dia menikahi Evan karena ingin hartanya. Kemudian saat kata-kata itu keluar dari bibir Anin, dipotonglah bagian itu. Awalnya laki-laki bernama Yusuf itu mengatakan melakukan hal itu karena tidak ingin Anin menikah dengan Evan, tapi setelah di paksa dia mengaku jika yang orang yang menyuruhnya melakukan itu adalah mama dari Evan sendiri. Mendengar informasi dari orang yang dia percaya, Evan benar-benar sangat terpukul dan marah. Ternyata semua ini rencana mamanya, tega sekali wanita yang sudah melahirkannya itu menghancurkan kebahagiaannya juga kebahagiaan orang yang dicintainya. Awalnya Evan ingin meluapkan kemarahannya pada mamanya, tapi akal sehatnya mencegahnya. Jika Evan tidak termakan hasutan maka semua itu tidak akan terjadi, mamanya yang memberi sebab tapi dialah yang menentukan keputusan untuk melakukannya atau tidak. Dan saat itu dia memilih untuk percaya begitu saja pada mamanya, Evan juga punya andil besar atas kekacauan dalam hidupnya. Itulah yang mencegahnya meluapkan kemarahan pada mamanya. Saat begitu terpuruk, Evan mendapatkan tawaran dari teman lamanya. Teman yang sudah sekian lama tidak pernah bertemu dan bersama, Malik menawarkan padanya untuk mendesain bangunan kampus dan masjid yang berada jauh dari ibu kota dan tanpa banyak berpikir dia menerimanya. Evan ingin menenangkan hatinya di desa itu, jauh dari hiruk-pikuk dan jauh juga dari mamanya. Selain itu Malik bilang, di sana adalah pesantren. Evan berharap bisa lebih dekat dengan Sang Pencipta, Sang Pemilik hidup yang selama ini Evan menjauhiNya karena kemarahannya. Evan hendak bertaubat dan meminta padaNya untuk mempertemukannya dengan anak dan mantan istrinya. Evan ingin memperbaiki semuanya, dan berharap bisa hidup bahagia dengan wanita yang dia cintai. Setelah semua selesai, Evan bergegas turun ke lobby apartemen dan menuggu Malik disana. Malik bilang akan menjemputnya sore selepas isya, sahabatnya itu sudah sampai di Jakarta dua hari yang lalu. Tak lama menunggu, akhirnya sahabat Evan itu datang dan langsung menyapanya. Dari kejauhan sudah melambaikan tangannya. "Hai akhi apa kabar?" sapa Evan. "Gaya loe akhi, biasanya juga loe gue!" balas Malik sambil melayangkan tinjunya ke lengan Evan. Mereka tertawa bersama kemudian saling berpelukan layaknya sahabat yang lama tidak bertemu. "Mau langsung jalan atau istirahat dulu disini sambil ngobrol?" tanya Evan. "Langsung jalan saja, kita ngobrol sambil jalan. Aku sudah ingin segera kembali ke tempat itu. Ada orang yang menungguku disana," jawab Malik. "Siapa? istri?" tanya Evan sambil berjalan mengikuti Malik yang sudah lebih dulu berjalan. "Seorang anak dan ... kamu naik mobilku kan?" Malik tidak menyelesaikan kata-katanya malah balik bertanya. "Iya naik mobil bareng kamu saja, nanti kalau mau bawa mobil sendiri mungkin beberapa waktu setelah disana." Evan mensejajarkan langkahnya mengikuti Malik yang menuju parkiran. Setelah sampai di depan mobil milik Malik, Evan segera memasukkan koper miliknya ke dalam bagasi. "Kamu dulu yang bawa mobilnya, nanti kalau sudah tidak tahu arahnya biar aku yang bawa." Malik berkata sambil melemparkan kunci mobil pada Evan. Evan dengan refleks menangkap kunci mobil tersebut. Setelah semua siap, mereka menjalankan mobil meninggalkan hiruk pikuk kota metropolitan menuju desa yang penuh kedamaian. "Kamu sudah punya anak?" tanya Evan lagi. "Bukan anakku, tapi dia memanggilku Abi dan aku ingin menikahi bundanya." "Sejak dahulu kamu tuh memang aneh diantar kita, aku memilih menjadi arsitek, Nathan dan Aletta sudah menjadi dokter, Bella sudah menjadi pengacara dan kamu malah menjadi apa? guru, eh ustadz? dan sekarang malah mau menikahi wanita yang sudah memiliki anak," ejek Evan. "Aku bahagia dengan apa yang aku pilih bro, gimana apa kamu bahagia juga? Menjadi arsitek terkenal, tander milyaran duit tidak berseri, apartemen mewah, emmm apa lagi ya?" Malik tampak berpikir. "Bahagia?" Evan bertanya dalam hati. Benar kata Malik jika dia memiliki kekayaan, memenangkan tender milyaran tapi ternyata dia tidak mendapatkan kebahagiaan. "Uangmu itu tidak akan pernah bisa membeli kebahagiaan mas, ingat kata-kataku ini!" Tiba-tiba saja perkataan Anin malam itu bergema di telinganya. Benar yang di katakan Anin malam itu, dan benar juga jika Evan akan menyesali perbuatannya. Evan menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. "Kenapa?" tanya Malik. "Aku tidak bahagia Malik, bahkan aku menderita." "Apa aku salah bicara?" tanya Malik. "Tidak," jawab Evan singkat. "Wanita mana yang bisa menaklukkanmu meksipun dia sudah memiliki anak?" "Emmm dia orang Jakarta juga, dia wanita yang baik, lembut dan murah senyum. Mungkin saat itu pintu surga terbuka, dan akhirnya satu bidadari turun ke bumi." "Astaga ... sepertinya kamu tergila-gila padanya hingga bisa berkata lebay seperti itu," Evan terkekeh dengan perkataan sahabatnya itu. "Secantik apa sih wanita yang membuat seorang Malik begitu memujanya." "Secantik apa? Jika wanita itu bercermin, pasti kacanya akan pecah karena pantulan kecantikan. Bayangannya aja cantik apalagi orangnya," tutur Malik makin lebay. Evan makin geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya itu. "Bukan hanya wajah yang cantik, tapi hatinya juga lembut. Banyak hal yang terjadi dalam hidupnya hingga membuat laki-laki sejati seperti aku ini ingin sekali melindunginya," Malik masih trus bercerita tentang wanita yang dia kagumi. "Trus kenapa belum dinikahi?" tanya Evan. "Dia wanita yang sulit di taklukkan, aku trus saja ditolak olehnya. Entahlah, apa yang membuatnya sulit menerima lamaranku." Malik berkata dengan lesu kali ini. Evan kali ini tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Malik. "Tapi aku sudah merebut hati putranya, pasti akan kudapatkan juga bundanya," ucap Malik dengan penuh semangat. Obrolan mereka akhirnya random tentang banyak hal sepanjang perjalanan. Setelah hampir semalaman berkendara, mereka sampai juga di tempat tujuan sebelum subuh. Malik dan Evan langsung beristirahat ditempat tinggal Malik. Evan dan Malik memang berencana tinggal bersama saja. Selepas subuh mereka langsung silaturahmi ke kediaman pimpinan pesantren tersebut. Membicarakan tentang rencana dan desain yang akan di pakai oleh Evan untuk membangun gedung-gedung tersebut, dan juga membahas siapa saja yang akan bekerjasama dengan Evan menangani hal ini. Setelah lama berbincang dan berbasa-basi, mereka berdua langsung undur diri. "Hendak kemana kita, kenapa ke arah sini?" Evan bertanya saat Malik berbelok arah, harusnya mereka berjalan lurus. "Menemui calon anak dan istri, aku sudah kangen. Yuuk ikut," ajak Malik. "Akan kubawa anak itu ke rumah untuk mengambil mainan yang kubawa sebelum dibawa bundanya ke day care," ucap Malik lagi. Evan turut mengekor sahabatnya itu, dia juga penasaran dengan sosok wanita yang diceritakan oleh Malik padanya. "Assalamualaikum, Albanaaa ... Abi datang," Malik mengucap salam dan memanggil nama Albanna dari halaman rumah. "Abi ... Abi ...."terdengar teriakan anak kecil disertai bunyi derap kakinya yang berlarian. "Albanna, jangan lari! nanti jatuh," terdengar suara sang bunda memperingatkannya. Jantung Evan rasanya berhenti berdetak saat itu juga, suara wanita itu sangat familiar di telinga. Meskipun sekian lama tidak mendengarnya, tapi suara itu selalu bergema di telinganya setiap saat. Bahkan wajah pemilik suara itupun selalu hadir dalam mimpinya baik dengan senyuman maupun dengan linangan air mata. "Anin?" bisik Evan dalam hati ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN