1- PERJANJIAN DI ATAS MATERAI

1561 Kata
*** Seminggu kemudian, masih di kafe yang sama... Seorang gadis bertubuh mungil masuk ke kafe dengan langkah anggun. Matanya mengedar ke seluruh penjuru kafe, mencari sosok yang ingin dia temui pada hari itu. Begitu melihat sosok yang dia cari sudah datang dan duduk manis di sudut kafe, wanita itu pun menghampiri sahabatnya dengan wajah sumringah. Akan tetapi, saat dia melihat bermacam-macam hidangan terhidang penuh di atas meja, senyum sumringah di wajahnya langsung memudar. Wanita bernama Ellena itu kemudian duduk di hadapan sahabatnya yang tak lain dan tak bukan adalah Shanly. Ditatapnya meja yang penuh dengan hidangan itu dengan pandangan horor. Di atas meja terdapat sepiring double cheese burger, sepiring spaghetti dengan bacon, sepotong daging salmon panggang, seporsi jumbo curly fries yang sudah habis setengah, semangkuk es krim, dan segelas cokelat dingin. Ellena kemudian beralih menatap Shanly yang sedang duduk bertopang dagu sambil menusuk-nusuk daging salmon dengan wajah tidak bernafsu. Sikap sahabatnya yang menusuk daging dengan garpu bertubi-tubi itu terlihat mengerikan. Terlihat persis seperti psychopath yang sedang kehilangan mood. “Kamu mau menghabiskan semua ini?”tanya Ellena tak percaya. Shanly melirik Ellena sekilas, kemudian dengan wajah acuh, dia kembali mengalihkan tatapan pada daging salmon di hadapannya. "Kalau mau, kamu boleh ikutan makan,” tukasnya singkat, lalu kembali menusuk-nusuk daging salmon dengan tidak selera. Tanpa menggubris tawaran Shanly, Ellena kembali bertanya. “Bukankah waktu itu kamu bilang kalau kamu sedang diet? Kenapa bukannya tambah kurus, kamu justru makin gemuk ya?” “Persetan dengan diet,” Shanly mengangkat kepala menatap Ellena. “Mau aku sebesar gajah kek, sekurus tiang kek, siapa yang peduli? Satu-satunya cara yang bisa aku lakukan agar bisa cepat melupakan Danniel adalah dengan cara makan!” “Pikiran bodoh macam apa itu?” Ellena merebut piring daging salmon dan menjauhkannya dari Shanly. "Dengan melampiaskan emosimu pada makanan, kamu justru membuat Danniel semakin tertawa di atas sakit hatimu, Shan! Secara tidak langsung, kamu menunjukkan pada dunia kalau Danniel sudah melakukan hal yang benar dengan mencampakkan kamu begitu saja kalau kamu bertambah lebar.” “Aku tidak peduli, Ellen!” Shanly menatap Ellena tajam, lalu kembali merebut piring berisi daging salmon dari tangan Ellena dan memakannya dengan rakus. Ellena menatap sikap sahabatnya yang terlihat bagai orang kelaparan dengan speechless. “Minggu ini naik berapa kilogram, Shan?” tanya Ellena. “Lima kilogram,” jawab Shanly acuh tanpa menatap Ellena yang langsung shock. “Lima kilogram?” Ellena terperangah sambil mengguncangkan pundak sahabatnya, memaksa agar Shanly menatap matanya secara langsung. “Minggu lalu,sewaktu kita lulus sidang, berat kamu baru 65 kilogram, dan sekarang tambah 5 kilogram lagi? 70 kilogram? Yang benar saja, Shan? Baru 65 saja kamu sudah ditinggal sibrengsek itu, gimana kalau berat kamu naik jadi 70 kilogram? Bisa-bisa kamu bukan dihina dan diputusin saja, tapi bisa dipermalukan di depan umum.” “Ya, kamu memang benar,” Shanly menghentikan makannya. “Baru 65 kilogram saja aku sudah ditinggal Danniel, apalagi sekarang ya?” Shanly menghela napas berat. “Dua hari yang lalu aku mendapat panggilan wawancara di beberapa perusahaan dan mereka menolak menerima aku sebagai sekretaris dengan alasan yang sama.” “Alasannya?” tanya Ellena heran. “Karena aku lebih cocok jadi badut yang membagi selebaran daripada sekretaris.” Ellena terpana. Sedetik, dua detik, dia hanya diam. Namun,pada detik ketiga, tawa Ellena langsung pecah seketika. “Hahahahahahahaha!!!” Shanly merenggut dan melempar sahabatnya dengan tisu. “Sahabat macam apa kamu? Aku sedang galau karena diputusin Danniel, sekarang kamu ngetawain aku karena aku ditolak mentah-mentah waktu wawancara? Kamu benar-benar sahabat yang sangat baik, Ellen!” Susah payah, Ellena mencoba menahan tawanya. “Hahaha. Maafkan aku, Shan. Tapi yang tadi itu benar-benar lucu.” Shanly tersenyum masam. Ellena nyengir kuda. “Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran kamu, Shan," ujar Ellena sambil menopang dagu menatap sahabatnya. "Kamu terlahir kaya. Pewaris tunggal dari Almoz Group yang terkenal itu. Kenapa kamu justru sibuk melamar kerja di tempat lain? Aku yakin, bekerja di perusahaan sendiri pasti lebih menyenangkan.” “Memangnya kamu kira hidup bergantung terus pada orang tua itu menyenangkan?” Shanly balik bertanya. “Semua orang hanya baik padaku karena tahu kalau aku adalah pewaris tunggal Almoz Group. Seandainya saja aku bukan anak ayahku, mereka pasti akan merendahkan dan menghinaku. Lebih parah dari Danniel mungkin.” “Kamu selalu saja begitu,” ucap Ellena, “kamu selalu bilang kalau kamu tidak mau terkenal. Kamu juga bilang kalau ketenaran ayahmu membuat kamu kehilangan kebebasan sebagai anak biasa. Kamu bahkan sempat menyembunyikan identitasmu sebagai anak konglomerat karena tidak mau ‘statusmu’ itu menjadi gunjingan teman-teman. Kalau dipikir-pikir, apa gunanya kamu memikirkan pendapat orang lain? Memangnya kamu hidup hanya untuk mendengar pendapat mereka?” “…” Melihat Shanly diam seribu bahasa, Ellena meneruskan ucapannya. “Orang yang terlahir miskin ingin kaya, orang yang kaya pada umumnya ingin bertambah kaya, tapi kamu? Kamu memiliki kehidupan yang sempurna, tapi kamu kehilangan kepercayaan diri hanya karena mendengar ‘pendapat orang’ yang sebetulnya sama sekali tidak penting. Bukankah jika seperti itu, kamu justru terlihat seperti kurang bersyukur dengan yang kamu miliki?” Kali ini Shanly mengangkat kepala menatap Ellena. “Bukannya aku kurang bersyukur dengan yang aku miliki, Ellen. Tapi, terkadang kita juga tidak boleh terlalu bergantung pada orang tua. Di usia kita yang seperti sekarang, sudah waktunya kita yang diandalkan, bukan kita yang mengandalkan mereka.” Kini gantian Ellena yang bungkam. Ucapan Shanly barusan, secara tidak langsung, membuat Ellena yang sifat dasarnya manja dan tukang foya-foya sedikit tersindir. Meski begitu, mereka berdua sama sekali tidak pernah tersinggung satu sama lain karena perbedaan sifat yang sangat kontras. “Om Max sudah tahu kalau kamu melamar kerja di perusahaan lain?”tanya Ellena. Shanly menggeleng. “Belum. Jika ayah tahu, dia pasti marah besar.” Ellena menghela napas. “Sudah kuduga.” Dia tahu sekali ayah Shanly paling tidak suka jika putrinya bekerja di perusahaan lain selain perusahaan keluarga mereka. “Tapi mengatasi stres dengan cara makan berlebihan tidaklah baik, Shan. Lambungmu bisa robek jika begini terus!” Ellena masih berusaha menasihati sahabatnya. Dikeluarkannya ponselnya dari dalam tas jinjingnya, dan membuka sebuah foto, lalu memperlihatkannya pada Shanly. Foto yang diperlihatkan Ellena itu merupakan foto Shanly setahun yang lalu, saat dirinya masih ramping dengan berat badan 50 kilogram dan tinggi 169 cm. Foto itu adalah foto saat Shanly berpose sebagai pemenang Miss Campus dengan mengenakan gaun putih yang elegan. Shanly setahun yang lalu terlihat bak putri raja, jauh dari penampilannya sekarang yang tampak kucel, kusut, perut membuncit seperti sedang hamil tiga bulan, lemak berlebih di lengan, dan pipi chubby bak bakpao. Kalau boleh jujur, penampilan Ellena yang mungil jauh lebih menarik dibandingkan Shanly yang terlihat bagai babi guling. “Kemana Shanly Dromicia Moz yang kukenal dulu? Penuh percaya diri, cerdas, dan cantik?”tanya Ellena sambil menunjuk foto yang terpampang dilayar ponsel. “Aku butuh pelampiasan, Ellen,”jawab Shanly lirih. “Tapi pelampiasannya bukan makanan, Shan. Jika kamu kesal, luapkan saja perasaanmu. Maki Danniel, jambak pria b******k itu, atau kamu bisa melakukan apa saja padanya sesuka hatimu asalkan itu bisa membuatmu lega.” Shanly hanya diam. “Turunkan berat badanmu, Shan! Tunjukkan pada Si b******k Dannielkalau kamu bisa kembali seperti dulu, dan buat dia yang mengemis cinta! Asal kamu tahu, aku melihatnya menggandeng wanita lain di pusat pembelanjaan beberapa hari lalu.” Mata Shanly melebar tak percaya. “Benarkah?” Ellena memperlihatkan foto Danniel yang tengah merangkul mesra seorang wanita cantik dan menjawab, “Kapan aku pernah berbohong padamu?” Shanly mengusap air matanya dengan telapak tangan kanannya saat melihat foto itu. Habis manis sepah dibuang, itu satu-satunya peribahasa yang cocok untuk menggambarkan kondisi Shanly saat ini. Dulu, dia cantik, dipuja-puja banyak pria, tapi hanya satu yang dia pilih, yaitu Danniel. Tapi sekarang, ketika dia gemuk karena stres, pria itu justru mencampakkannya. Ironis sekali. “Kamu harus diet, Shan. Bukan demi Danniel dan siapa pun, melainkan demi kebaikan dirimu sendiri,” Ellena tersenyum pada Shanly, berusaha memberikan sedikit semangat. “Sebagai permulaan, kamu bisa menurunkan tujuh kilogram dalam sebulan.Tunjukkan pada dunia dan orang yang merendahkanmu bahwa mereka sudah berurusan dengan orang yang salah. Kembalilah seperti dulu, Shanly yang cantik, yang selalu memikat hati setiap orang.” Shanly hanya bisa menutup wajahnya dengan menggunakan kedua tangannya dan berkata, “Bicara memang mudah, tapi aku tetap butuh pelampiasan, Len! Pelampiasan!” “Akan kuberikan solusi yang jitu untuk melampiaskan kemarahan,” Ellena tersenyum penuh arti menatap Shanly. “Aku akan print foto ini,dan kamu bisa memajangnya dikamarmu. Setiap turun satu kilogram, tancapkan dua paku dimuka Danniel, biar wajah sibrengsek itu bolong-bolong. Hahaha!” Ellena tertawa jahat. Dimata Shanly, Ellena benar-benar terlihat seperti wanita psycho dengan tawa menyeringai seperti yang baru ia lakukan. Shanly geleng-geleng kepala. “Jangankan tujuh kilogram, menurunkan satu kilogram lemak tubuhku saja susahnya bukan main, bagaimana dengan tujuh kilogram?”keluh Shanly. “Tidak ada yang sulit, Shan! Kalau kamu bisa menaikkan lima kilogram dalam seminggu, aku yakin tujuh kilogram fat lose dalam sebulan hanya masalah kecil bagimu," jawab Ellena seenak perutnya membuat Shanly memutar matanya malas karena merasa sedikit tersindir dengan ucapan Ellena. “Kamu benar-benar sahabat yang paling ajaib. Disaat aku sedang membutuhkan hiburan, kamu justru menghadiahkan aku dengan segudang sindiran itu.” Ellena tertawa mendengarnya. “Aku tidak menyindir. Aku hanya mencoba menghibur kamu dengan cara yang anti mainstream.” Mau tidak mau, Shanly ikut tertawa juga. Ellena tersenyum melihatnya. Akhirnya, usahanya berkoar-koar sejak tadi membuahkan seulas senyuman di wajah sahabatnya. “Begini saja, bagaimana kalau kita taruhan?” Ellena tiba-tiba mendapat ide bagus untuk menyukseskan diet sahabatnya. “Kalau kamu berhasil menurunkan 7 kilogram, aku akan memberikan apa pun hadiah yang kamu inginkan.” Mata Shanly mendadak berbinar. “Benarkah? Kalau begitu aku mau macbook yang baru.” “Tidak masalah,”jawab Ellena. Ia mengulum senyum penuh arti dan melanjutkan,“tapi kalau kamu sampai gagal, maka kamu harus mengabulkan apapun permintaanku.” Alis Shanly bertaut curiga. Firasat Shanly mengatakan bahwa ide yang buruk untuk menyetujui ide sahabatnya. “Apa yang kamu inginkan?” “Akan kupikirkan nanti,” Ellena tersenyum misterius."Tenang saja. Aku tidak akan meminta kamu melakukan sesuatu yang melanggar norma, hukum, dan juga etika.” “It's time to move on, Girl. Show that bastard guy that you're happy with your freedom. Deal?”Ellena mengulurkan tangannya, menanti sang sahabat menjabatnya. Shanly terlihat berpikir sebentar, tapi sesaat kemudian dia pun menjabat tangan Ellena, tanda bahwa dia menyetujui ide sahabatnya. Ada baiknya juga dia melupakan Danniel dan mencoba kembali ke hidupnya yang dulu. “Deal!” Didetik kedua wanita itu saling berjabat tangan, cerita Shanly yang sesungguhnya telah dimulai. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN