2. Kularang Kau Ke Sana!

1011 Kata
Sebuah sedan mewah tampak membelah jalanan yang ramai di senja sore itu. Sang supir tampak penuh konsentrasi mengendarai mobil mewah hitam elegan berlogo bintang dengan tiga sudut runcing, yang sangat ikonik dan hanya mampu dipunyai oleh beberapa orang saja. Sesekali sang supir melirik lewat spion ke arah empunya mobil, yang tampak tidak enak badan. Wajahnya terlihat agak pucat, sesekali memijat keningnya, mungkin karena kepenatan luar biasa akibat tekanan pekerjaan atau memikirkan entah apa.  Lelaki tampan itu bahkan sekarang memejamkan mata dan menyenderkan kepalanya. Berharap bisa sekedar melepas lelah di tengah kemacetan Jakarta yang tiada ampun hari ini. Entah apa yang terjadi, kemacetan hari ini semakin parah saja. Padahal hari sudah jelang sore, hingga membuat para karyawan kantor berebutan untuk memenuhi jalanan Jakarta.  “Mas, maaf, jalanan di depan ditutup karena ada kecelakaan, jadi sepertinya kita akan memutar lewat jalan kecil. Apakah tidak apa-apa? Sedikit lebih memutar tapi mungkin lebih lancar.” Sang supir bertanya dengan nada sopan dan pelan, seakan takut mengganggu majikannya.  Lelaki muda tampan itu malas-malasan membuka matanya, kepalanya masih terasa berat. Dia melirik sekilas ke sisi jendela mobil nyamannya itu, dan hanya bergumam, seakan menyetujui permintaan supir andalannya. Dia hanya tahu akan sampai rumah sesegera mungkin agar bisa mengistirahatkan tubuhnya yang akhir-akhir ini entah kenapa terasa cepat sekali lelah. Dipejamkannya lagi mata lelahnya, tapi sekarang pikirannya malah mengembara entah ke mana. Beberapa minggu ini tiba-tiba saja berkelebatan sosok seorang perempuan yang sedang hamil besar, berwajah sabar, keibuan dan tersenyum penuh kelembutan padanya, menyambutnya penuh kehangatan. Disusul kelebat bayangan seorang anak perempuan cantik yang dengan heboh menyambut kedatangannya pulang kerja. Anak itu langsung saja minta digendong seperti merasa rindu teramat sangat, lama tidak bertemu.  Sayangnya, semakin dia mencoba untuk mengingat siapa dua sosok itu, semakin pusing menderanya. Kepalanya semakin panas. Mau bertanya, kepada siapa? Dia yatim piatu. Yang pasti sosok perempuan itu bukanlah istrinya. Karena wajah istrinya sungguh sangat berbeda dengan yang sering hadir di kepalanya. Anak? Mereka belum punya anak hingga sekarang. Padahal usia pernikahan mereka sudah dua tahun lebih tapi hingga sekarang istrinya belum berminat untuk memiliki anak. Entah kenapa.  “Mas, maaf tapi kita harus berhenti. Saya harus ke kamar mandi untuk buang air kecil dan sholat magrib. Sebentar lagi magrib. Di depan situ ada masjid yang cukup besar dan muat untuk parkir beberapa mobil. Saya minta ijin untuk berhenti sholat dan buang air kecil.” Kembali supir kepercayaannya mengganggu lamunannya.  “Masjid?”  “Iya, mas. Sekira seratus meter di depan di sebelah kiri kita ada masjid Ummu Sakinah. Maaf, sebentar saja kok, mungkin hanya sepuluh atau lima belas menit untuk saya ikut sholat magrib berjamaah. Jalanan juga sedang macet-macetnya, mungkin usai sholat magrib kemacetan akan sedikit terurai.”  “Sholat magrib?” Posisi duduk lelaki tampan berubah tegak. Matanya berubah menjadi kemerahan, hanya dua detik, tapi sang supir bisa melihat dari spion. Saat ini dia sedang memarkirkan sedan mewah itu dengan hati-hati.  Sang supir tersenyum simpul, “Benar. Sholat magrib, sebentar lagi juga adzan akan berkumandang. Mas mau menunggu di mobil saja atau ikut saya masuk masjid untuk sholat magrib?” Sebenarnya itu sebuah ajakan yang sangat wajar, mengingat sang supir tahu bahwa majikan yang dia panggil dengan Mas itu adalah seorang muslim.  “Kamu saja! Tidak perlu mengajakku sholat atau masuk masjid! Pergi! Dan cepat kembali!” Mendadak suara majikannya berubah, menjadi suara berat dan terdengar menyeramkan. Kembali sang supir tersenyum setelah sebelumnya melirik spion, kemudian berganti sandal jepit dan keluar mobil menuju masjid. Tanpa dia pernah tahu apa yang terjadi kemudian di dalam mobil mewah itu.  Suara merdu muadzin yang mengumandangkan adzan magrib, menjadi panggilan bagi para muslim untuk melaksanakan kewajibannya, sholat magrib berjamaah di masjid. Kemudian, berduyun-duyun tampak para lelaki datang ke masjid indah itu. Mereka tampak sama, tersenyum bahagia karena masih diberi kesempatan nafas untuk mampu melaksanakan sholat berjamaah di masjid, sebelum ajal menjemput mereka. Beberapa datang dengan wajah dan rambut yang basah, karena air wudhu yang membasahi, beberapa segera saja berwudhu agar tidak tertinggal sholat. Anak-anak kecil masih sempat berlarian ke sana-sini dengan riangnya.  Tapi keriangan itu tidak terjadi di dalam mobil sedan mewah. Lelaki tampan itu malah menjerit tertahan karena kesal mendengar suara merdu muadzin mengumandangkan adzan. Tangannya menutupi kedua daun telinganya rapat-rapat, tapi masih saja terdengar membuat lelaki itu seperti kepanasan. Dia menggeram marah, seakan ingin agar adzan itu segera berhenti. Nyatanya, penderitaan lelaki itu semakin menjadi, seperti ada sesuatu yang marah dari dalam tubuhnya, ingin keluar dan menghilang agar tidak perlu mendengar suara adzan lagi.  Allahu akbar Allahu akbar…..  Aaaaa!!! Kapan adzan ini berhenti? Kenapa terasa lama sekali?! Aku sudah tidak kuat! Panassss!! Panasss!!!  Bagai cacing kepanasan, tubuh lelaki itu meliuk kesana-kemari tidak jelas. Keringat bercucuran, membasahi kemeja mahalnya. Dia sendiri juga tidak tahu kenapa tubuhnya selalu seperti ini tiap kali mendengar adzan berkumandang. Tubuhnya seperti dimiliki sesuatu yang lain, tepatnya ada sesuatu yang lain di dalam tubuhnya.  Dan lelaki itu tergeletak lemas di jok kursi belakang, usai adzan berkumandang. Mata yang semula merah sekarang perlahan kembali normal. Diseka keringatnya yang berbulir sebesar jagung. Mendadak perutnya bergejolak, terasa mulas, mual mendera. Tapi dia sungkan untuk ke luar mobil. Saat ini sedang berlangsung sholat berjamaah. Tidak mungkin dia menuju ke dalam masjid - walau hanya menumpang ke kamar kecil sekalipun - tanpa ikut sholat berjamaah. Dia cukup tahu diri akan hal ini. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menenangkan diri di mobil nyamanya itu. Dilihatnya suasana sekitar. Kenapa tampak familiar? Sepertinya tidak asing, mungkinkah dia pernah di sini? Atau setidaknya ke sini?  Masjid ini…. Sepertinya aku tidak merasa asing. Minimarket kecil di ujung situ, tukang bakso di sebelah masjid. g**g kecil itu… kenapa semua terasa tidak asing bagiku? Di manakah ini? Aaah kenapa kepalaku semakin pusing jika kupaksa untuk mengingat?  Semakin dipaksa untuk mengingat, lelaki tampan ini semakin kebingungan. Hingga dia memutuskan untuk menunggu supirnya kembali dari sholat magrib. Dilihatnya, jamaah masjid itu sudah tampak ke luar masjid, sudah selesai bersujud kepada Sang Pencipta. Berarti sebentar lagi, supirnya juga akan datang. Memikirkan hal itu, lelaki ini merasa sedikit nyaman. Tapi kenyamanan itu tidak berlangsung lama karena mendadak perutnya kembali bergejolak.  Dia sudah tidak kuat lagi menahannya. Dibukanya pintu mobil perlahan, tapi mendadak suara-suara itu kembali mendera otaknya.  Jangan ke luar mobil! Sudah kubilang kamu jangan ke luar mobil! Tetap berada di mobil atau kamu akan berada dalam bahaya! Ini di masjid, jangan nekat kamu!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN