Jam tiga pagi, cahaya layar ponsel Yena masih menyala terang di kamar yang gelap gulita. Rumah besar itu sunyi senyap, hanya suara AC yang berdesing pelan dan sesekali angin malam menyelinap lewat celah jendela. Yena meringkuk di bawah selimut tebal, matanya lelah tapi otaknya nggak mau istirahat. Komik di tangannya berganti halaman demi halaman—cerita tentang pahlawan yang jatuh cinta, tapi selalu berakhir tragis. Ironis, pikirnya. Hidupnya sendiri lagi-lagi sama seperti kisah komik murahan. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan tanpa ketukan. Yena kaget, tubuhnya menegang, hpnya hampir jatuh. Hao berdiri di ambang pintu, siluetnya tinggi dan dengan rambut mullet gondrong acak-acakan seperti baru bangun tidur. Bau musk dan tembakau mahal langsung memenuhi ruangan, campur dengan aroma keri

