Bab 9 : Ciuman Dibalik Loker

1534 Kata
Pagi itu, udara di Fakultas Teknik terasa lebih dingin, meskipun matahari bersinar cerah. Dingin itu berasal dari lapisan es baru yang tumbuh di hati Yena. Setelah insiden malam itu—ciuman yang hampir menjatuhkan mentalnya, air mata yang tak terduga, dan teriakan Bunda Omara—Yena memilih untuk menghilang. Dia bangun subuh, bahkan sebelum Hao kembali dari studio lukisnya (ia yakin Hao tak tidur di kamar), dan melarikan diri ke kampus, mengenakan persona Ketua Hima yang tidak terpecahkan. Namun, di balik seragam Hima yang rapi, ada kekosongan yang menganga. Perutnya sakit, dan setiap kali ia mengingat sentuhan tangan Hao di pahanya atau tawa sinis Hao saat ia menangis, ia merasa ingin muntah. Dasar amatir. Kata-kata Hao itu berhasil mencapai tujuannya, menusuknya hingga ke ulu hati. “Yena, kamu dengerin nggak?” Vania, wakil Ketua Hima, melambaikan tangan di depan wajah Yena. Mereka berada di ruang rapat Hima, membahas proposal bakti sosial. “Dengar,” jawab Yena cepat, memaksa fokus. “Jadi, logistik butuh konfirmasi bus maksimal besok pagi. Dan soal dana, kita ambil dari pos cadangan, kan?” “Ya, itu benar,” Vania memiringkan kepala. “Tapi kamu kenapa, sih? Biasanya kamu bisa multitasking sambil ngetik macro di Excel. Sekarang kamu kayak mayat hidup yang lagi mikirin denda parkir seumur hidup.” Yena tersenyum kecut. Denda parkir terasa jauh lebih mudah dihadapi daripada denda emosi yang ditimpakan Hao padanya. “Kurang tidur,” dalih Yena. “Udah, aku duluan. Mau ke Gedung A. Ada berkas yang harus aku urus di Biro.” Yena segera melarikan diri, membutuhkan udara. Gedung A adalah area yang jarang dikunjungi mahasiswa teknik, kecuali untuk urusan administrasi. Letaknya juga berdekatan dengan studio seni dan loker pribadi mahasiswa seni rupa—zona kekuasaan Hao. Yena tidak berniat mencari Hao, sungguh. Ia hanya butuh dokumen di sana. Namun, saat ia berbelok di koridor yang sepi, matanya menangkap siluet dua orang. Siluet yang sangat ia kenal. Di balik deretan loker baja yang tinggi, tempat cahaya matahari sore menyaring masuk melalui jendela, Hao sedang berdiri. Di depannya, Luna, dengan rambut panjang tergerai yang kontras dengan rambut pendek Yena, menempelkan kedua tangannya ke d**a bidang Hao. Yena membeku. Ia menahan napas. Mereka tidak menyadari kehadirannya. Luna mengangkat wajahnya. Jelas sekali ia sedang berbicara dengan nada memohon atau penuh emosi, karena Yena melihat Luna memejamkan mata sesaat. Luna tampak terluka, dan Yena tahu alasannya: kejadian di klub motor. Pelukan protektif Hao pada Yena. Detik berikutnya, Luna bertindak. Ia melingkarkan lengannya ke leher Hao dan menariknya ke bawah. Ciuman. Itu adalah ciuman yang diprakarsai Luna, sebuah tindakan putus asa untuk mengklaim apa yang menjadi miliknya. Luna mencium Hao dengan intensitas yang tidak bisa ia sembunyikan, sebuah upaya untuk menghapus ‘pelukan’ Yena dari ingatan pacarnya. Tubuh Hao awalnya kaku. Kedua tangannya tergantung di sisi tubuhnya. Ia tidak membalas—tetapi ia juga tidak menolak. Dan di situlah garis pertahanan Yena runtuh. Bukan karena Luna mencium pacarnya. Luna memang pacar Hao. Tapi karena Yena, hanya beberapa jam sebelumnya, baru saja ditarik ke dalam ciuman yang sama intens, yang membuatnya menangis, yang membuatnya merasa seolah-olah seluruh dunianya hanya milik Hao. Pelukan protektif itu, kini terasa seperti lelucon paling kejam. “Jadi, kamu tidak menolak?” Suara Yena memecah keheningan koridor loker, terdengar dingin, tajam, dan penuh penghinaan. Hao dan Luna tersentak kaget. Mereka segera berpisah, wajah Luna memerah karena tertangkap basah, sementara wajah Hao langsung mengeras, kembali ke mode ‘Mr. Analyst’ yang dingin, yang selalu ia gunakan untuk membangun dinding. “Yena,” desis Hao, nadanya datar. Luna, seolah mendapatkan keberanian dari fakta bahwa ia masih memiliki klaim resmi, menantang Yena. “Kamu ngapain di sini? Kita lagi ngobrol. Bukannya kamu harusnya di Gedung Hima, ngurusin proposal bakti sosial?” Yena mengabaikan Luna. Matanya hanya tertuju pada Hao. “Kamu ngobrol Luna?” tanya Yena, suaranya pelan dan mengancam. “Kamu bilang ngobrol? Atau memperbaiki” Yena menoleh ke Hao. “Oh, mungkin dia lagi memperbaiki ciuman yang kemaren aku bilang amatir itu?” Luna melangkah maju. “Jaga mulut kamu, Yena. Dia pacar aku, dan dia nggak perlu perizinan kamu buat nyium gue!” “Aku tahu dia pacar kamu!” Yena balas membentak, suaranya bergetar. “Tapi aku butuh tahu, kenapa Hao perlu drama protektif kayak gitu di klub? Kenapa kamu bilang di depan Scott kalau aku itu pacar kamu? Kenapa kamu harus cium aku se-intens itu kalau ujung-ujungnya kamu cuma balik lagi ke sini, ke ciumanmu yang original? Kamu pikir aku siapa? Pemuas ego kamu setelah aku bilang ciuman kamu biasa aja?!” Hao akhirnya berbicara, melangkah di antara kedua wanita itu. “Stop! Jangan drama.” “Drama?” Yena maju selangkah, menatap Hao tajam. Jarak mereka kembali dekat, tapi kali ini dipenuhi rasa sakit, bukan gairah. “Kamu mau aku jelasin semua yang kamu lakuin, Hao? Kamu ngajak fake dating buat balas dendam ke Scott dan Luna, padahal kamu nggak move on dari Luna. Kamu nyuruh all-in, kamu paksa aku ciuman yang lebih dari batas. Kamu bikin aku nangis! Dan sekarang, kamu balik lagi ke pelukan dia?” Hao menghela napas, mencoba mencari alasan yang logis. Ia terlihat seperti sedang menyusun argumen di ruang sidang, bukan menghadapi pertarungan hati. “Luna cemburu,” kata Hao, memilih alasan yang paling mudah. “Dia lihat kejadian di klub. Aku cuma—” “Cuma apa? Cuma ngakuin pacar kamu yang sebenarnya?” potong Yena cepat. Air matanya sudah kering, digantikan oleh kekecewaan yang jauh lebih menyakitkan. “Kamu nggak perlu repot-repot, Hao. Dia emang pacar kamu.” Yena tertawa pahit, menunjuk Luna. “Dia pacar kamu yang nggak selingkuh sama kakakmu. Kamu pikir aku nggak tahu kalau Luna udah pacaran sama kamu tiga tahun, tapi dia juga diam-diam berhubungan dengan Yosua selama ini?” Hao menatap Yena terkejut, tapi dengan cepat ia menguasai diri. “Ini nggak ada hubungannya dengan Yosua atau Scott! Aku sama Luna punya sejarah, Yena. Tiga tahun. Kamu nggak bisa mengharapkan aku memutuskan hubungan tiga tahun hanya karena kita lagi di tengah proyek balas dendam.” “Aku nggak minta kamu mutusin dia!” seru Yena. “Aku minta kamu jujur tentang apa yang kamu lakuin sama aku malam itu! Kamu bilang ciumanku perlu dilatih, padahal kamu tahu aku nggak pernah ciuman sama siapa pun! Kamu bikin aku ngerasa sesuatu, Hao! Dan kamu datang ke sini, terus ciuman sama Luna, dan kamu tidak menolak ciuman dia. Kamu plin-plan, Hao! Kamu nggak konsisten!” Hao terlihat terpojok. Ia mengusap rambutnya yang gondrong ke belakang, ekspresi frustrasi terlihat jelas di wajahnya. Dia adalah Mr. Analyst yang terperangkap oleh emosinya sendiri. “Aku nggak plin-plan!” bantah Hao. “Aku cuma—aku masih mencoba memproses semua ini! Perasaan kamu, perasaan Luna, ini semua terlalu cepat! Kamu mau aku ngaku apa, hah? Bahwa aku tertarik sama kamu? Itu nggak akan menyelesaikan apa-apa, Yena! Kita punya tujuan yang lebih besar, Project IceStorm!” “Jangan bawa-bawa Project IceStorm!” Yena berteriak. Kali ini, suaranya benar-benar hancur. Ia merasa dikhianati oleh dirinya sendiri karena sudah berani merasakan sesuatu dari Hao. Yena mendekat ke Hao, menunjuk dadanya dengan jari telunjuk yang gemetar. “Aku benci kamu,” bisik Yena, nadanya mengandung kejujuran yang menakutkan. “Aku benci kamu karena kamu tahu aku nggak pernah ciuman sama Scott, dan kamu malah menggunakan momen itu untuk menghancurkan pertahanan terakhir aku. Kamu bilang aku anak kecil. Ya, aku anak kecil. Dan kamu baru aja melukai anak kecil itu.” “Yena, dengerin aku,” Hao mencoba meraih tangannya, tapi Yena mundur. “Nggak perlu,” Yena menggelengkan kepala, air mata kembali memanas di matanya. Ia menyeka air mata itu dengan kasar, menolak untuk menangis di hadapan Hao untuk kedua kalinya dalam 24 jam. “Aku udah lihat semuanya. Aku udah tahu di mana posisiku sekarang.” Yena memaksakan senyum tipis, senyum yang menunjukkan kekalahan sekaligus kepastian. “Mulai sekarang, kita profesional. Kamu mau fake dating? Fine. Kita akan fake dating yang paling meyakinkan. Aku akan cium kamu, aku akan peluk kamu, aku akan pegang tangan kamu, semua yang kamu mau untuk bikin Scott dan Luna cemburu. Tapi, itu semua cuma acting.” Yena melirik Luna yang berdiri diam, wajahnya penuh amarah dan ketakutan. “Dan Hao,” Yena menatap mata Hao yang gelisah. “Jangan pernah lagi kamu bersikap protektif sama aku. Jangan pernah lagi kamu coba-coba bikin aku ngerasa istimewa. Karena kalau kamu ngelakuin itu lagi, aku akan berhenti. Project IceStorm akan hancur. Dan aku akan bilang ke Scott dan Luna kalau ciuman kamu yang terburuk di dunia.” Ia menarik napas dalam, membiarkan sakit hati itu mengeras menjadi tekad. “Kamu plin-plan, Hao. Dan aku, aku yang terluka karena kamu. Aku sadar sekarang. Sandiwara ini hanya menyakiti aku. Jadi, aku akan berhenti bermain dengan hati aku sendiri.” Yena berbalik, berjalan cepat menjauhi koridor loker dan dua orang yang ia tinggalkan di sana. Ia tidak menoleh ke belakang. Ia tahu, di belakangnya, Hao berdiri terpaku, memegang konsekuensi dari sifatnya yang tidak tegas. Saat berjalan keluar dari Gedung A, Yena menghapus air matanya untuk terakhir kali. Ia sudah memutuskan. Mulai hari ini, ia akan menjadi Ketua Hima yang paling profesional, partner fake dating yang paling kejam, dan gadis yang tidak akan pernah lagi membiarkan Harry Omara melihat kerentanannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN