Bab.1. Entah Hari Baik Atau Hari Buruk.
"Ah .... Jangan lakukan itu sekarang," ucap seorang wanita berpakian seksi dengan des*h*n pelan.
"Kau takut?" tanya Risang dengan terus mengusap paha bagian dalam milik sekertarisnya.
"Tidak. Untuk apa aku takut? Bukankah bosnya yang mengininkan?" Elvantri adalah wanita muda berusia 25 tahun yang bekerja di perusahaan Risang Nugraha sebagai sekertaris.
"Kau pintar sekali menjawabnya," ucap Risang mendekatkan wajah tampannya hingga akhirnya ia mencium Elvantri dengan penuh gairah.
Kedua bibir saling mencecap dengan penuh kenikmatan. Ciuman Risang mulai turun ke leher, kemudian ke bagian d**a yang baru ia buka dua kancing kemeja Elvantri. Seolah dunia memang milik mereka berdua, karena lelaki itu tidak ingat punya istri dengan perut besar yang hampir melahirkan.
Ah, Risang ....."
"Nikmatilah! Ayo kita bersenang-senang sebentar!" Risang mulai membuka kemeja Elvantri sehingga dua buah gunung kembar terpampang nyata di depan mata, lelaki itu mulai bermain dan memberikan tanda di sana.
Hingga ponselnya berdering nyaring secara terus menerus, membuat lelaki tampan itu mau tak mau langsung berhenti dari permainan panasnya.
"Mama ...."
Sementara Risang mengangkat telpon dari mamanya, raut kecewa dari Elvantri jelas terlihat.
"Aroma gagal perminan sudah di mulai," ucap Elvantri lirih sambil membenarkan pakaiannya.
Setelah selesai mengangkat telpon, Risang menuju Elvantri.
"Sayang, aku harus pergi sekarang. Istriku akan melahirkan dan sudah di bawa ke rumah sakit. Nanti malam kalau sempat aku akan ke apartemenmu," pamit Risang mengecup singkat pipi Elvantri lalu pergi.
Risang langsung menuju rumah sakit, dia harus ada di sebelah istrinya, meski dia sudah berselingkuh dan tidak memperlakukan istriya dengan baik.
___
"Selamat untuk kelahiran putramu, Anandini," ucap Binar Gendhis Rarasita. Sahabat Anandini Sanjana Nareswari tersenyum lebar kala menjenguk bayi mungil nan tampan itu.
Senyum Anandini juga tak pernah hilang sejak beberapa jam lalu dia selesai melahirkan. Dia terus menatap ke arah sang putra dengan penuh cinta.
"Dia mirip siapa?" tanya Anandini menatap sahabatnya.
Binar yang ditanya terdiam sejenak, seolah dia sedang berpikir keras hanya untuk memberikan sebuah jawaban.
"Dia berbeda, Anandini. Dia sangat tampan, bahkan tidak mirip dengan ayahnya," jawab Binar pada akhirnya.
Anandini tertawa pelan, dia pun membenarkan ucapan sahabatnya, karena putranya memang sangat tampan juga menggemaskan.
"Risang kemana?" tanya Binar sambil menoleh ke belakangnya, siapa tahu dia ada di kamar itu. Nyatanya, yang dicari enggak ada.
"Dia izin mau ke kantin," ucap Anandini.
Di ruangan itu tak ada orang lain yang menunggui Anandini. Kedua orang tuanya sudah pamit pulang dan mertuanya hanya datang sebentar saja. Terkadang, Binar merasa aneh dengan sikap orang tua Risang karena memperlakukan sahabatnya dengan tidak baik.
Jam berlalu, setelah Risang kembali, Binar akhirnya pamit pulang, karena sudah malam besok dia harus bekerja.
"Aku pulang dulu ya, besok setelah bekerja aku mampir lagi," pamit Binar Gendhis Rarasita memeluk Anandini.
"Hati-hati," ucap Anandini Sanjana Nareswari.
Sunyi, yang dirasakan wanita cantik yang baru melahirkan itu. Dia merasa ada yang berbeda dengan suaminya sejak beberapa bulan yang lalu. Sikap Risang yang berubah dingin dan jarang bicara padanya.
Seperti hari ini, seharusnya, lelaki itu memberikan perhatian juga kasih sayangnya, karena dia baru saja melahirkan sang putra.
"Mas, tolong ambilkan aku minum," pinta Anandini.
Lelaki itu menghela nafas panjang, "Belajarlah jalan sendiri, Anandini. Kau tidak sedang sakit, kau hanya baru selesai melahirkan."
Meski tidak dengan nada bicara kasar, namun ucapan itu membuat Anandini merasa terluka. Bukankah bayi mungil itu adalah putra mereka, lalu kenapa suaminya seolah tak merasa bahagia atas kehadirannya?
Anandini menghela nafas panjang, mencoba menghalau air mata yang nyaris tumpah hanya karena jawaban dari suaminya. Dengan pergerakan pelan, dia mengambil minum itu.
Dia juga melihat putranya yang tertidur di box, kemudian dia kembali merebahkan tubuhnya. Berharap rasa kantuk datang, agar dia tak memiiiroan semua perlakuan suaminya yang berubah total.
'Jika aku ada salah, harusnya dia menegurku. Bukan malah diam dan bersikap aneh dan menjauh dariku,' ucap Anandini dalam hati.
___
Hari berikutnya, Anandini sudah terlihat segar dari kemarin. Pagi ini ada ibunya yang datang berkunjung ke rumah sakit. Sehingga dia sudah bisa mandi, anaknya sudah dimandikan juga.
Dan saat dokter datang nanti, dia berharap semoga sudah diperbolehkan pulang. Karena dia merasa tidak nyaman tinggal di rumah sakit. Bau obat yang menyengat, rasa masakan yang selalu hambar, rasanya Anandini ingin masak sendiri di rumah.
"Suamimu mana?" tanya Dara Aruming Puspa—ibu kandung Anandini.
"Dia akan bekerja, Ma. Jadi, dia pagi-pagi sudah pulang untuk bersiap ke kantor.
Dara hanya diam menatap putrinya yang sedang memberikan ASI kepada cucunya. Ingin mengeluh akan sikap menantunya, namun wanita paruh baya itu tak tega hati.
Apalagi putrinya baru merasakan kebahagiaan atas kelahiran putra pertama, Dara tak tega jika harus memberikan beban kepada Anandini perihal tingkah Risang yang seolah tak punya hati.
Sekitar jam sembilan pagi dokter pun datang, setelah di periksa, keadaan bayi dan ibunya sangat bagus. Sehingga hari ini mereka diijinkan pulang. Anandini merasa sangat senang.
"Kau tinggal saja di rumah mama sampai kamu pulih," pinta Dara menatap ke arah putrinya dengan penuh kasih sayang.
Anandini juga menatap wanita yang melahirkannya, dia tersenyum kemudian berkata, "Aku akan baik-baik saja meski tinggal di rumah mertua, Ma."
"Kau ini berbakti sekali!" celetuk Dera.
"Baiklah, aku yang akan mengurus semuanya agar kau segera pulang," ucap Dara.
"Tunggu saja di sini, Ma! Mas Risang sebentar lagi sampai. Dia yang akan mengurus kepulanganku!" titah Anandini kepada mamanya.
Dara pun mengangguk, wanita paruh baya itu mulai membereskan semua perlengkapan cucunya juga milik sang putri.
"Anandini!"
"Iya, Ma?"
"Mama sampai lupa tidak bertanya siapa nama putramu?"
"Namanya Narendra Biru Cekti, artinya pemimpin yang berkuasa dan bertanggung jawab."
"Wah, nama yang bagus. Risang yang memberikan dia nama?"
Anandini terdiam beberapa saat, seolah dia bingung mau menjawab apa. Sedangkan kenyataan lain, dia yang memberikan nama itu untuk anaknya.
"I-iya, dia yang memberikan nama," jawab Anandini pada akhirnya.
Tak lama, obrolan mereka berhenti, Risang Nugraha datang, dia memberi salam kepada ibu mertuanya.
"Pagi, Ma!"
"Mama kira kamu sibuk kerja, sehingga tak sempat memperhatikan istri dan anakmu yang akan pulang," jawab Dara.
Risang tersenyum kikuk menatap Dara, "Dia mengirim pesan kalau sudah boleh pulang, Ma. Makanya aku langsung datang buat urus semunya.
"Tadinya, kalau kamu enggak datang, Anandini mau aku paksa bawa pulang saja," ucap Dara dengan nada bercanda namun terkesan penuh arti ke menantunya.
"Maaf kalau aku membuat mama marah," ucap Risang.
"Tidak, aku tidak marah. Hanya merasa aneh karena sikapmu itu!" Dara menjawab sambil menatap serius ke arah sang menantu.
Merasa percakapan mama dengan suaminya semakin panas, Anandini mulai mengajak Dara agar cepat menggendong Narendra.
"Ma, buruan gendong Narendra!"
Wanita paruh baya itu langsung menuruti perintah anaknya. Risang mendekat ke arah Anandini dan mulai menuntun sang istri. Mereka turun ke bawah bersama. Tak ada yang membuka suara, hawa dingin menyelimuti perjalanan mereka ke arah lobi rumah sakit.
'Dia pasti akan marah padaku,' monolog Anandini dalam hati.
Sampai di rumah, Anandini disambut oleh mertuanya. Hanya ada wajah tulus yang terlihat nyata, yaitu sikap papa mertuanya. Sedangkan Mama mertuanya hanya sekadar basa-basi karena ada Dara di sana.
"Akhirnya cucuku pulang ke rumah. Selamat datang, Ssyang," ucap Laksmi dengan suara riang ke arah Dara yang menggendong cucunya.
Ibu kandung Risang itu meminta Narendra agar pindah ke depakapannya. Dara pun memberikan cucunya ke Laksmi. Keduanya terlibat obrolan random, sebelum akhirnya dipersilakan duduk.
Sudah lama sejak tujuh bulanan Anandini, Dara tak berkunjung. Entah firasatnya yang salah, atau entah perasaan apa, karena dia merasakan aura yang begitu aneh dari keluarga menantunya.
Anandini menuju kamar, dia membawa semua perlengkapan bayi yang baru saja diturunkan dari mobil. Saat baru melangkah masuk, suaminya sudah menarik tangannya dan membisikkan sesuatu yang membuat Anandini terdiam beberapa saat.