San

1291 Kata
Siapa yang kini tidak mengenal Emma dan Timothy? Setahun lamanya mereka bersahabat dan menjadi teman sebangku bahkan sampai naik kelas. Dimana ada Emma, disitu ada Timothy. Bahkan mereka memiliki panggilan khas yang diciptakan oleh teman-teman mereka: 'EmMo'. Para siswa yang sebelumnya menganggap status anak adopsi Emma kini berbalik menghargainya kembali. Prestasinya dalam bidang akademik dan juga seni rupa membuktikan ucapan Timothy bahwa ia adalah seseorang yang berharga. Begitu berharganya sampai ia mendapatkan pernyataan cinta dari sepuluh orang atau lebih. Namun ia selalu berlindung di balik Timothy demi menolak halus karena tidak ingin menjalin asmara selama belum selesai sekolah. Sementara itu, kemahiran Timothy dalam bermain gitar memikat para siswi lebih lagi, bukan hanya dari tingkat yang sama tetapi termasuk junior dan seniornya. Begitu tenarnya sampai mendapatkan surat-surat cinta tak bernama yang tak bisa dihitung jumlahnya lagi. Namun dengan keberadaan Emma di sampingnya, ia selalu merasa aman dan mendapatkan privasi yang diperlukannya. Pada akhirnya dua sahabat ini menjadi bemper satu sama lain. Keduanya tidak pernah bertengkar satu kalipun karena ada kecocokan yang tidak bisa dijelaskan. Banyak orang sampai berasumsi bahwa nantinya mereka akan terus bersama sampai pernikahan. "Udah mau ujian akhir aja nih," Timothy menggaruk-garuk kepalanya karena tertekan memikirkan pelajaran ilmu alam yang kurang dikuasainya. Emma meletakkan sebuah botol yogurt rasa blueberry dingin yang baru dibelinya di minimarket di atas meja makan. "Kan gue udah ajarin lo terus, dan lo bisa. Jangan nervous lah," ia memberi semangat. "Nih, minum dulu. Keburu hilang loh." (*grogi) Timothy mengerutkan dahinya. "Kok hilang sih? Harusnya kan, keburu nggak dingin lagi?" "Kalo nggak dingin sih masih bisa dimasukin ke lemari es lagi. Maksud gue, tar kalo lo kelamaan bisa gue samber. Lo kan tahu gue suka yogurt," Emma membuka yogurt stroberi miliknya dan meneguk sampai habis setengahnya. Tawa diperdengarkan oleh Timothy. "Dasar maniak yogurt," ucapnya. "Eh, betewe Om Sandy sama Tante Desy balik jam berapa sih? Tadi kata lo jam delapan. Ini udah jam setengah sembilan." Ia melirik pada jam dinding. Emma menaikkan bahunya. "Tahu tuh. Mungkin macet di jalan. Atau biasanya ngobrol kelamaan dikit. Biasa lah. Kalo udah ketemu sama kolega ya gitu," katanya mengingat-ingat kebiasaan Papanya pada setiap acara makan malam bisnis. "Atau mungkin karena mereka yakin lo nggak bakalan ninggalin gue sendirian di rumah, jadinya mereka ngerasa oke agak molor baliknya kali." Timothy memasang pose berpikir dengan jemari berbentuk huruf L yang menopang dagu. "Kok gue berasa kaya babysitter ya?" "Alah, gua juga jadi babysitter lo kalo lo latihan band sampai di atas jam enam," Emma membalikkan perkataan sahabatnya. "Bukan babysitter itu sih. Lebih ke pawang singa," Timothy mengoreksi. Ia membuka botol yogurt lalu meminumnya perlahan-lahan. "Kelar latihan, mereka udah nunggu di depan pintu. Siap terkam gue." Emma menopang dagunya dan menatap Timothy. "Gue mau tanya ya. Dari antara sekian singa itu kan ada tuh yang cantik sama pinter. Napa sih lo nggak pacaran sama salah satu dari mereka?" tanyanya tanpa basa-basi. Timothy pun turut menopang dagunya dan menatap Emma balik. "Gue nggak butuh pacar saat ini. Yang gue butuh itu sahabat. Dan sahabat gue ya elo," jawabnya dengan yakin tanpa berbelit-belit. "Tapi masalahnya orang-orang jadi ngirain kita pacaran. Kasihan kali kalo ternyata ada jodoh lo yang ngelihat lo barengan sama gue terus. Dia jadi nggak punya kesempatan kan?" Emma mengutarakan pendapatnya. "Lo... nggak suka sama gue?" Emma menegakkan tubuhnya dan bersandar pada kursi. "Pertanyaan apa itu?" tiba-tiba saja ia merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Timothy melemaskan tubuhnya dan juga bersandar pada kursi. "Jodoh itu nggak kemana. Gue yakin banget itu," ucapnya. "Sehebat apapun cewek yang ada di deket gue, kalo yang namanya jodoh pasti bisa ngalahin cewek itu. Dan yah, untuk saat ini sih nggak ada yang bisa ngalahin lo. Terlalu hebat kali buat cewek-cewek lain." Tak ada kata terucap. Emma hanya dapat menelan ludahnya mendengar pernyataan dari sahabatnya itu. Ia merasa situasi ini sangat canggung. "Oke, ganti topik deh. Lo udah ada rencana mau kuliah dimana?" tanyanya. Bukan jawaban pasti melainkan bahu terangkat yang Emma dapat. "Apaan tuh maksudnya?" "Gue sih maunya kuliah musik, cuman kayanya sih nggak boleh. Jadi sekarang antara gue kuliah manajemen atau arsitektur. Papi bilang prospek kerjanya luas," Timothy terdengar sangat ragu. "Kalo lo udah pasti desain interior ya?" Emma mengangguk. "You know me. Sekali ada target, ya itu yang gue kejar," ia mengepalkan tangan dan menghentakkannya di samping kepalanya. (*Lo tahu gue.) Timothy pun geli melihatnya. "Barusan lo kaya iklan partai tahu nggak? Yang ngomong 'kami tidak korupsi'!" ledeknya sampai terpingkal-pingkal. "Ih, Tim!" remasan tisu berbentuk bola dilemparkan Emma kepada Timothy. "Lo suka ya bikin gue keliatan bloon." Ia menghampiri sahabatnya lalu meletakkan tangannya di bahu Timothy untuk mengguncang-guncangkan tubuhnya. "We're home!" suara Sandy dari pintu masuk depan terdengar. (*Kami pulang!) Demi mendengar salam itu, Emma berlari meninggalkan Timothy seperti seorang anak kecil merindukan orang tuanya lalu menemui Sandy serta Desy. "Loh, Timothy mana?" tanya Sandy. "Hai, Om Sandy, Tante Desy," Timothy muncul di belakang Emma. "Oh, kirain udah pulang," Sandy meletakkan tasnya di atas meja tamu. Timothy menggeleng. "Belum lah, Om. Kan kasihan kalo Emma sendirian di rumah," ucapnya. "Kalo gitu, Timothy makan dulu nih. Dari meeting dapet roti box. Makan bareng-bareng yuk," ajak Desy yang baru saja masuk ke dalam rumah. "Oh, udah kenyang banget, Tante," Timothy mengelus-elus perutnya. "Tadi tuh Emma eksperimen bikin sandwich lapis tiga, isinya ham, keju, selai stroberi, meses dan lain-lain. Dikasih yogurt juga. Nggak kuat deh." Desy mengernyit. "Ya ampun, Emma. Kamu ngasi makan anak orang kok coba-coba gitu?" tanggapnya. Emma justru tertawa. "Dianya aja mau kok. Katanya laper, makanya aku bikin banyak sekalian. Dan bukannya tadi kamu bilang enak?" ia menatap Timothy yang kemudian mengangguk. "Tuh kan. Emang enak bikinan Emma, Ma." Sandy mengacak rambut putrinya. "Memang anak papa ini paling jago kalo bikin makanan," pujinya. "Karena hampir jam sembilan, saya pulang ya Om, Tante," Timothy meminta diri. "Yakin nih nggak mau cicip dikit?" Desy memastikan sekali lagi. Pemuda itu menggeleng yakin. "Makasih, Tante. Habis ini mau tidur langsung. Biar besok bisa bangun pagi dan seger pikirannya untuk try out besok," Timothy menolak dengan sopan. "Sampai besok lagi ya, Om, Tante." (*ujian percobaan) "Sana dianterin ke depan, sayang," Desy mendorong pelan putrinya. Emma mengangguk dan berjalan berdampingan dengan Timothy menuju ke gerbang rumah. "Jangan lupa bawa penghapus baru yang lo beli di sebelah tadi supaya gue nggak harus bagi dua terus penghapus gue buat lo," Timothy mengingatkan Emma karena kebiasaan pelupanya. Dengan tangan memberi hormat ala tentara, Emma berkata, "Siap bos!" lalu terkekeh. "Lo juga. Jangan terlalu stres. Bisa kok, bisa. Matematika itu gampang." Timothy mengangguk. "See ya!" (*Sampai ketemu.)   Usaha keras belajar setiap malam selama bulan-bulan ujian pada akhirnya membuahkan hasil yang baik. Nilai bagus bukan hanya didapatkan Emma yang memang berotak encer, tetapi juga Timothy karena ketekunannya. Hasil ujian nasional yang tergolong di atas rata-rata itu memudahkan keduanya untuk memasuki universitas manapun yang mereka pilih. Awalnya Emma berharap bahwa ia tidak akan berpisah dengan Timothy. Meskipun berbeda pilihan jurusan, setidaknya mereka ada dalam satu universitas. Namun kenyataan berkata lain. Timothy harus mengikuti keluarganya untuk pergi ke Bandung karena mutasi kerja Papinya sehingga ia berkuliah di Institut Teknologi Bandung. Sementara itu, Emma tetap tinggal di Jakarta dan berkuliah di Universitas Pelita Harapan. Dalam empat tahun terpisah di tempat yang berbeda, Timothy dan Emma tetap berkomunikasi seperti biasanya. Mereka juga saling berkunjung pada hari besar atau liburan semester. Karena itulah julukan 'EmMo' masih melekat pada keduanya meskipun mereka memiliki teman-teman yang baru di universitas masing-masing. Seringkali teman-teman mereka berkata bahwa ‘EmMo’ pasti akan bersatu lagi. Prediksi mereka akhirnya terbukti benar. Timothy yang menjatuhkan pilihan jurusan kuliah pada arsitektur kini bergabung di perusahaan yang sama dengan tempat Emma bekerja setelah satu tahun bekerja di perusahaan lain di Bandung. Setengah tahun setelahnya, kedua orang tua Timothy juga menyusul kembali ke Jakarta sehingga ketiganya tinggal bersama lagi di rumah yang sama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN