Angel and Demon

2441 Kata
Lena mengacak-ngacak rambutnya sambil berdecak tak karuan. Habis sudah! Kariernya hancur dan tagihannya menumpuk dimana-mana. Demi Tuhan, tadi malam ia sudah mengerjakan design deadlinenya untuk ia kirim pada Miss Jeny. Tapi wanita itu tidak puas, lalu menyumpah serapahi Lena, mengungkit kesalahan lamanya, lalu memecatnya begitu saja tanpa uang kompensasi. Lena menjerit histeris, membayangkan hidupnya yang sudah di ujung jurang ini. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia harus mendapatkan uang bagaimanapun caranya. Mengambil ponselnya ia mencoba menghubungi teman-temannya. Teman akan selalu ada disaat seperti ini kan? Tapi hasilnya... "Ah! Damn it!" Tidak ada satupun teman yang bisa diandalkan saat seperti ini. Mereka punya alasan jitunya satu persatu. "Aku sibuk Lena maaf ya." "Ah ya, aku sedang dinas di luar negri lain waktu saja ya?" "Maaf Lena, kemarin-kemarin uangku habis untuk blablabla", Bahkan sebagian dari mereka tidak segan-segan langsung menghindar saat tahu Lena yang menelponnya. "Ya? Lena? Apa eh. Ya aku tak bisa mendengarmu? Jaringannya jelek, ahh-- sangat berisik. disini Lena halo? Halo? Halo?" Lena mendengus. Hukum alam selalu seperti ini kan? Mereka datang saat Lena sedang senang saja. Dimana mereka saat dia seperti ini? Tiba-tiba suara bel apartemennya berbunyi. Lena mengamati pintu itu dengan malas. Paling hanya penagih hutang saja. Cukup sudah, kali ini ia tak punya alasan lagi. Pikirannya sudah buntu untuk membuat alasan lain lagi. "Lena ini aku! Buka pintunya!" Edwin? Saat tahu bahwa pria itu yang datang, Lena hanya mendelikan matanya tidak peduli. Pria itu pasti hanya akan menambah masalah saja. "Lena buka pintunya! Aku tahu kau di dalam. Ada tawaran menarik untukmu!" Tawaran? Tawaran apa? Kali ini Lena tertarik, dan dengan malas membuka pintu itu. "Ow, ow, ow... Lihat dirimu baby. Apa yang terjadi? Kau tampak seperti mayat hidup." Edwin mengamati penampilan Lena yang sungguh berantakan dari ujung kepala sampai ujung rambutnya. "Ck! Cepat katakan apa maumu, jangan banyak berbasa-basi!" kata Lena ketus. Tanpa persetujuannya, Edwin masuk ke dalam apartemennya dan langsung menghempaskan tubuhnya di sofa. "Hm kau tahu, aku sampai harus berlari-lari untuk sampai sini. Apa kau tidak mau menawariku minum atau semacamnya?" tanya Edwin sambil mengelus-ngelus lehernya dengan sengaja. "Aku tidak tahu dan tidak mau tahu!" jawab Lena galak. Edwin memutar bola matanya. "Yah baiklah-baiklah, langsung saja. Aku tahu kau baru di pecat dan kau sedang membutuhkan uang kan sekarang?" Mata Lena langsung melotot, tau dari mana si b*****t ini? "Apa?" "Aku juga sedang butuh banyak uang, makanya aku mau memberimu tawaran." "Hei kau tau dari mana?" Edwin mendengus lalu memijat pelipisnya. "Ah sudahlah, gosip seperti ini memang cepat menyebar. Kau mau tidak bekerja sama denganku?" Lena mengernyit, mencoba mencari kepura-puraan di wajah Edwin, tapi ia tak menemukan hal itu. "Memangnya apa?" "Pekerjaan. Nanti malam kau datang ke tempat ini." Edwin memberikan secarik kertas berisikan sebuah alamat. "Memangnya pekerjaan apa? Kalau memang kau juga membutuhkan uang kenapa tidak kau saja yang mengambil pekerjaan itu?" Lena mulai menyelidik, Edwin bukan orang yang patut dipercaya begitu saja. Yah setidaknya, Edwin memang bukan pria yang bisa dipercaya setelah semua yang ia lakukan padanya. Angin dari mana tiba-tiba ia menawari pekerjaan semudah ini? "Jika pekerjaan itu diperuntukan untuk pria sepertiku, aku tidak akan repot-repot datang padamu kecuali aku bisa berdandan seperti wanita." Edwin menjawab dengan malas. Lena semakin tertarik, mengambil kertas yang diberi Edwin, Lena menimbang-nimbang. "Pekerjaan apa?" "Hah sudahlah, jika kau memang membutuhkannya datang saja ke tempat itu pukul delapan malam nanti. Dan jika kau ingin diterima, ubah penampilanmu, berdandan yang cantik. Aku pergi dulu." Kata Edwin langsung sambil bangkit berdiri. "Oh dan ya, jangan terlihat seperti mayat hidup." kata Edwin sebelum ia menutup pintu apartemen Lena. Lena mendesah keras. Menerka-nerka pekerjaan apa yang di tawarkan Edwin padanya. Tapi, apa pantas di saat genting seperti ini dia masih memilih-milih pekerjaan? Benar, tidak ada salahnya mencoba. Selama pekerjaan itu baik untuknya, Lena akan memastikannya terlebih dahulu. *** Lena benar-benar mendengarkan apa yang Edwin sarankan untuknya tadi, memakai pakaian terbaiknya dan berdandan cantik. Penampilan seperti mayat hidup yang sebelumnya disandang oleh nya benar-benar telah hilang. Sambil mengernyit, Lena terus mengecek alamat yang tadi Edwin beri untuknya. Pub malam? Apa ia tidak salah? Oh, seketika perasaan curiganya kembali mencuat. Apa Edwin sedang menipunya? Tapi sebelum itu, Lena ingin memastikan terlebih dahulu, keluar dari mobilnya ia menghampiri seorang pria yang berjaga di depan untuk bertanya. "Em, permisi apa alamat yang tertulis disini benar tempat ini?" tanya Lena sopan. Bukannya langsung menjawab, pria itu malah menatap bagian p******a Lena yang memang sedikit menonjol, membuat Lena merasa risih bercampur jijik. "Ya benar." jawab pria itu masih menatap pada bagian p******a Lena. Mendapat tatapan seperti itu, Lena cepat-cepat mengangguk dan segera menjauh dari pria itu. Bodoh kau Lena, bodoh! Katanya merutuk dalam hati. Itu sangat menjijikan dan pastinya Edwin telah menipunya lagi. Bisa-bisanya ia percaya begitu saja dengan perkataan si b*****t Edwin itu. "Lena, kau mau kemana?" tiba-tiba suara Edwin yang berteriak memanggilnya menghentikan langkah Lena yang baru saja akan kembali masuk ke dalam mobilnya, Edwin menghampiri Lena yang masih mematung. "Aku menunggumu sejak tadi, aku pikir kau tidak akan datang."katanya dengan ekspresi wajah yang begitu tenang. "Ayo kita harus cepat ke dalam, mereka sudah menunggu." Edwin menarik lengan Lena untuk menyamai langkahnya, menyeretnya lembut kembali ke pub malam itu, melewati penjaga yang tadi menatap Lena dengan tidak senonoh membuat Lena reflek mengeratkan pegannya pada lengan Edwin, setelah Edwin berbincang sebentar dengan pria itu, ia kembali menarik Lena untuk masuk. "Mereka siapa?" "Nanti kau akan tahu." "Kenapa tidak beritahu aku dengan jelas sih?" Edwin hanya berdecak tak menjawab pertanyaan Lena. Suasana pub malam itu tentu saja ramai dengan hiruk pikuk orang-orang yang mencintai dunia ini. Suara dentuman musik yang keras menjadi hal pertama yang mengganggu Lena, lalu setelah itu bau asap rokok yang melingkupi tempat itu, tatapan para p****************g, dan juga suguhan kegiatan panas yang terang-terangan mereka lakukan ditempat ramai seperti ini. Dulu Lena pernah menjadi bagian orang-orang itu, penikmat dunia malam, bersenang-senang dan mendapatkan pria semudah membalikan telapak tangan, tapi itu sebelum hidup Lena sekritis ini. Menghamburkan uang untuk kesenangan satu malamnya itu adalah rutinitas yang sering ia lakukan dulu. Lalu ia bertemu Edwin di tempat seperti ini juga, sampai pria b*****t itu memeras uangnya, menghianatinya dengan wanita lain dan membuat Lena harus memulai semuanya dari awal lagi dan yang paling parah adalah saat ini, Lena benar-benar berada diambang kehancuran. Walaupun semua ini juga bagian dari kesalahannya akibat materi yang semula Edwin berikan untuknya, pria itu ternyata meminta timbal balik, kebodohan Lena karena mengiyakan keinginan Edwin untuk tinggal bersama sehingga pria itu menghitung berapa banyak uang dan juga barang-barang yang pernah ia beri untuk Lena. Hal itu membuat Lena muak dan segera menghentikan langkahnya. Seketika ragu, apakah ini adalah keputusan yang tepat untuk mempercayai Edwin lagi? "Edwin, aku ingin pulang saja." Edwin berbalik. "Apa? Aku tak bisa mendengarmu." "Aku ingin pulang saja." kata Lena lebih keras, kebisingan ini memang membuat pendengaran berkurang. Edwin mengernyitkan keningnya. "Hei, tapi kenapa? Ayolah Lena, kau harus membantuku, dan aku akan membantumu... Percaya padaku." Kata-kata Edwin kembali menjadi renungannya, ia memang benar-benar membutuhkan uang sekarang, dan hanya ini jalan satu-satunya yang mungkin bisa membantunya. "Ok, baiklah, tapi aku tidak bisa berjanji akan menerima pekerjaan itu jika tidak sesuai untukku, karena kau tidak mau menjelaskannya." "Ya Lena ya. Apapun." Edwin tampaknya sedang tidak ingin berlama-lama, ia kembali menarik Lena sampai pada perkumpulan para pria yang sedang menikmati tontonan w***********g yang sedang menari telanjang dihadapan mereka. Salah seorang pria yang melihat kedatangan Edwin langsung menyuruh w***********g itu berhenti menari, sebagai gantinya wanita itu ditarik pria lain untuk di ajak b******u dengannya tanpa perlawanan. "Sudah kubilang dia akan datang." Edwin menepuk pundak pria itu. Pria itu berbadan besar penuh dengan otot yang menurut Lena tampak berlebihan. Tubuhnya dipenuhi tato, dan tatapannya tajam saat menatap Lena membuat ia risih ditatap seperti itu. "Lena, kenalkan dia David, David kenalkan dia Lena." Edwin berusaha saling mengenalkan mereka. David mengulurkan tangannya dan dengan canggung Lena menjabat tangan itu. David tampak bergumam."Dia oke. Aku akan mengambilnya, uangnya akan aku transfer secepatnya." pria itu lalu menatap kebelakang dan bersiul, seperti memberi aba-aba. Dan saat itu Lena tahu ada yang tidak beres, dua orang pria yang ditatap David sebelumnya mendekatinya lalu menghimpit tubuhnya dan menyekal lengannya kuat membuat Lena tersentak. "Edwin!" teriak Lena menbelalakkan matanya. Tapi ekspresi Edwin seakan tak berdosa, menatap Lena dengan senyum miringnya. "Akan kulunasi cicilan mobilmu, terimakasih sudah membantu." Lena menggelengkan kepalanya tak percaya. Jadi... Jadi Edwin menjualnya? "Kau! Kau k*****t, b******n tidak tahu diri! b*****t kau Edwin! Lepaskan aku ! Lepaskan!" Lena berteriak sambil meronta, dia marah dan juga ketakutan dengan kemungkinan apa yang akan terjadi dengannya. "See? Kau akan menyesal..." Edwin masih tersenyum miring, tidak menghiraukan Lena yang berteriak mencaci makinya sambil meronta-ronta. Lena mencoba berteriak meminta tolong, ini tempat yang ramai, tapi naasnya sebagian dari mereka hanya menatap Lena penasaran tanpa berniat membantu, sebagian lagi menatap Lena dengan pandangan tidak peduli, dan yang lebih parahnya saat mereka benar-benar tidak menganggap Lena ada. Kejadian seperti ini memang bukan hal yang aneh lagi di tempat seperti ini, pascalnya membantu sama dengan mencari mati. Jadi untuk apa membuang-buang tenaga untuk hal yang bukan urusan mereka. tapi jelas, hal itu membuat Lena begitu marah. Merasa terhina dan juga tak bisa berbuat apa-apa. Bersamaan dengan itu, Daren yang baru datang, setelah Alex memberi kabar yang mengatakan bahwa wanita itu masih hidup beserta bukti-bukti fotonya. Dia mengamuk besar, memporak-porandakan isi rumahnya, bahkan melukai dirinya sendiri. Setelah panik melihat darah yang ia timbulkan karena ulahnya sendiri, dia kabur melarikan diri tanpa membawa ponselnya, hingga membuat Daren harus repot-repot mencarinya. Tempat pertama yang Daren tuju adalah club malam yang sering dia kunjungi, tempat paling berpotensi menemukannya, dimana dia biasa mencari korbannya. Memikirkan hal itu membuat bulu kuduknya berdiri dengan sendirinya dan hal itu membuat Daren cepat-cepat melajukan mobilnya, berharap ia bisa tepat waktu untuk mencegah perbuatannya itu. Tapi, hal yang pertama kali ia lihat saat ia datang ke tempat ini adalah seorang wanita yang tampak tidak asing lagi dengan wajah putus asa di tengah sisa semangatnya yang begitu menarik perhatiannya. Ia menyipitkan matanya, mencoba mengingat kemungkinan dimana ia pernah melihat wanita itu. Tapi tak ada satupun memori yang berhasil Daren ingat. Wanita itu menangis dengan kondisi yang sangat menyedihkan, memberontak terus sambil berteriak lemah diantara dua orang pria berbadan kekar yang menahannya. "Lepaskan aku, lepaskan aku..." suaranya terdengar seperti sebuah cicitan yang mengenaskan. "Lepaskan dia." entah setan darimana Daren dengan sendirinya mengucapkan perintah itu. Membuat dua orang anak buah David berhenti dengan wajah terheran-heran. "Apa kau bilang?" salah satu dari mereka merasa geli dengan sikap sok heroik yang tengah Daren tunjukan. "Aku bilang lepaskan dia." Daren berkata dengan wajah dinginnya. Lena mengernyit menatap seseorang yang mungkin saja pahlawan tanpa kuda itu. Tunggu... tiba-tiba saja Lena mengingat sesuatu, itu pria yang Lena lihat di cafe kemarin siang. Oh, benarkah? "Daren? Wow wow, calm down. Dia milikku. Apa kau mengenalnya?" David yang melihat pertikaian itu segera mendekat dan betapa terkejutnya dia mengetahui Daren lah orangnya. "David?" Daren tak kalah terkejutnya. "Dia baru saja kudapat tadi. Barang baru, seleraku tidak salah kan?" David terkekeh seakan perkataan yang barusan ia lontarkan tidak akan menyinggung seseorang yang ia maksud. Lena mendengarnya dengan jelas. Barang baru? "Aku menginginkannya, jadi lepaskan dia." Daren tampak serius, tidak menanggapi lelucon yang David lontarkan. David tidak menyembunyikan ekspresi terkejutnya, ia mengernyitkan keningnya sambil menilik ekspresi wajah Daren yang sedang serius dengan ucapannya, walaupun suasana pub malam ini remang cahaya tapi David tahu bahwa Daren sedang tidak main-main. "Tadinya aku berniat memakai wanita ini sekali lalu menjualnya, jadi bisakah kau menunggu setelah aku merasakan wanita ini?" David memberi penawaran, hal itu membuat tangan Lena yang ditahan dua pria yang menahannya terasa gatal untuk menampar pria kurang ajar itu. "Aku tidak akan membiarkan kau merasakan tubuhku seinci pun!!" Lena berteriak, tapi David hanya menolehnya sekilas dengan tatapan acuh. "Aku tidak bisa menunggu, karena aku menginginkannya sekarang." Daren berkata dengan tegas membuat David menimbang-nimbang. "Tenang, aku akan mengirimkan cek sesuai yang kau minta akan wanita ini." Daren juga tidak tahu kenapa dia menjadi terobsesi dengan wanita itu sampai harus melakukan hal yang tidak pernah ia terpikirkan sebelumnya. David memikirkan tawaran itu, ia bisa meminta berapapun uang yang ia mau. "kau yakin Daren? Maksudku kau benar-benar akan memberiku berapapun uang yang aku minta hanya untuk wanita seperti dia?" "kau tahu aku David, aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku." Kata Daren serius. Sekali lagi David tampak bimbang, ia kembali menatap Lena dan menilik penampilan wanita itu untuk memastikan bahwa wanita ini memang tidak cukup menarik untuknya. Lagipula ia sudah sangat mengenal Daren, pria itu sebelumnya tidak pernah terlihat bermain dengan wanita manapun jika datang ke tempat seperti ini. dan juga untuk sebuah formalitas mengingat Daren banyak membantunya pada masalah finansial akhirnya David memberi isyarat kepada dua anak buahnya untuk melepaskan Lena dan memberikannya pada Daren. "baiklah, dia milikmu sekarang. " "Bersenang-senanglah." David tersenyum tipis ke arah Daren, lalu melenggang pergi setelah menepuk pelan pundak pria itu. Lena menggeram pelan merasakan lengannya yang berdenyut akibat cekalan kuat yang dilakukan dua orang suruhan David tadi. Tapi, belum satu menit mendapatkan kebebasannya, kini tangannya dicekal kembali dan tubuhnya ditarik secara paksa untuk mengikuti langkah pria yang kini Lena tahu bernama Daren itu. "Tolong lepaskan aku." Lena memohon dengan sopan, berharap bahwa pria ini memang benar pahlawannya. "Aku membelimu bukan untuk dilepaskan." Lena mengerjapkan matanya, "Apa?" suara dentuman keras di pub malam ini sebenarnya tidak membuat perkataan pria itu perlu Lena dengar lagi. Tapi apa katanya tadi? Itu menjelaskan bahwa pria ini juga sama seperti pria b*****t lainnya kan? "kau bisa mendengar dengan baik kan? Atau memang kau mempunyai masalah dengan itu? Kau pikir aku membelimu dengan harga tinggi hanya karena kemurahan hatiku saja? Jangan bermimpi nona. Inilah dunia yang sesungguhnya." kata Daren dengan senyum menawan yang menyiratkan banyak hal. Dan baru Lena sadari senyuman itu tidak lebih dari seringai iblis yang selama ini ia tahu. Lena termangu untuk sesaat lalu seketika usahanya untuk membrontak terlintas kembali, ia mencoba melepaskan diri dari jeratan Daren. "b*****t, lepaskan aku! Lepaskan!" Berharap pria ini datang sebagai pahlawan? Ck! Yang benar saja, dan lebih sialnya, Lena benar-benar menyesal karena hampir terpesona oleh penampilan yang ternyata tidak lebih kejam dari iblis ini. Tiba-tiba ia mempunyai akal, dengan cekatan ia menggigit keras tangan Daren yang sedang mencekal lengannya dan juga menginjak kakinya dengan heels tajam yang ia pakai membuat Daren mengaduh sakit hingga berhasil membuat Lena terlepas. Dengan cepat Lena berlari menuju jalan keluar pub malam ini. Tapi memang sial, saat ia sudah menemukan pintu keluar. Karena pub malam ini berada di lantai dua, ia harus melewati tangga, dan karena Lena sedang tidak memperhatikan langkahnya, kakinya tersandung hingga tersungkur jatuh menggelitik di tangga tersebut. Lena meringis tapi tak mengeluarkan suara. Dan yang terakhir ia rasakan adalah kepalanya yang terasa pening sampai semuanya terlihat gelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN