Kualitas Diri

1028 Kata
"Balaskan dendamku, Pawana!" kata dia yang selalu berdengung di telingaku. "Atau, aku lemparkan kau ke dalam jurang kesengsaraan." Anjing! Ingin kucabut orang yang selalu berbisik ini, keluar dari kepalaku. Aku lupa tahun, lupa bulan, tak peduli siapapun orang di sekitarku. Semua menjadi abu-abu bagiku. Dia itu pasti makhluk jelek. Aku bisa merasakannya. "Kau harus menuntaskan dendamku, Pawana," orang itu berbisik lagi. "Tidak ada tempat untuk kau bersembunyi jika kau mengkhianatiku. Camkan itu." "Aku mengerti." Sayangnya kau terlalu banyak bicara. Bagaimana aku melaksanakan perintahmu kalau kau terus-terusan mengoceh? Cerewet, itu kata yang tepat untuk dia yang selalu membisikan pembalasan di telinga sampai tembus ke otakku. Kupingku serasa dipenuhi dengungan setiap kali dia memerintahkan hal-hal yang tidak aku kehendaki untuk terjadi. Dengkusku panjang, melenguh bagaikan sapi dicambuk. Detik-detik selanjutnya. Pandanganku tertuju pada sosok hitam tidak begitu jelas, berdiri di titik terjauh aku dapat melihat. Kabut terlalu tebal untuk menampilkan wujud sosok itu dengan jelas. Aku merasa heran, dia tidak bergerak barang selangkah pun? Sosok itu seakan membantu. Padahal, beberapa saat lalu, makhluk itu belum ada di sana? Kedua mataku mencoba beradaptasi dengan kegelapan. Tetap saja, sulit bagiku melihat jelas wujud makhluk yang entah apa. Bergegas, aku memasuki mobil. Kuhidupkan mesin mobil. Lampu depan menyala, menyoroti langsung ke tempat sosok tadi berada. Sial! Makhluk itu sudah tidak ada di tempatnya. Rasa mual mencekik tenggorokanku. Pedal gas kuinjak secara perlahan. Mesin menderu, memecah keheningan pagi di jalanan antah berantah. Bila sosok itu masih berdiri di tempatnya, pasti sudah kutabrak. Tak peduli dia manusia ataupun Iblis ... Pasti menyenangkan membuatnya menderita. Secepat kilat, sebuah palu pemecah batu melayang dan menghantam kaca mobilku, tepat di mana aku duduk. Refleks, aku menjatuhkan tubuhku ke jok samping. Sakit bukan kepalang tatkala pinggangku menghujam tongkat persneling. Menggeliat aku menahan sakit luar biasa. Panas, pinggangku bagai terbakar. Belum selesai. Si penyerang kembali menghantamkan palu godam ke arahku. Meskipun dia menyerang dari arah luar, aku tersudut. Meronta-ronta, kubuka dasbor. Sepucuk pistol kuraih. Kutembakan membabi buta. Suara meraung mengaduh bisa kudengar. Si penyerang mundur beberapa langkah. Aku bangkit dengan cepat. Si penyerang gontai. Tubuhnya terhuyung limbung. Melihat kesempatan. Sepuluh butir peluru kumuntahkah. Jejak api melesat bersama peluru yang menyasar b******n yang mulai hilang keseimbangan. Dalam hitungan detik, si b******n itu ambruk. Selongsong peluru sampai panas. Kumasukkan pistol revolver-ku ke dalam saku celana. Dengan langkah pasti, kuhampiri k*****t yang hampir membunuhku. Aku berjingkat, lantas berjongkok di dekat tubuh si pengecut, dia menggelepar. Sekujur tubuhnya penuh lumpur. Wajahnya ditutupi cadar layaknya ninja. "b******n, pengecut!" hardikku. Kuraih kakinya. Kuseret dia dengan kasar ke balik rimbun semak belukar. Tak ku pedulikan erangannya. Untuk menjaga segala kemungkinan, aku mengambil sebongkah batu, kuhantamkan pada kepalanya. b******n ini langsung terkapar. _________________________________________ "Hari mulai terang. Kubayangkan, di akhir musim panas, tumbuhan perdu bergerak seirama diterpa angin semilir. Keluarga kelinci putih berlarian di atas bukit. Bunga-bunga Krisan turut bergerak mengikuti arah angin. Terpaksa, aku memejamkan mata. Ketika mata kubuka ... Keluarga kelinci terpotong-potong. Kepala mereka hampir putus." Kedua mata b******n yang menyerangku terbelalak. Sangat perlahan, kubuka cadar yang menutupi sebagian wajahnya. Aku menerka-nerka, dia orang penting di negeri ini. Jika anggapanku benar, aku pasti akan mendapat nilai tinggi dari makhluk yang sering berbisik di ruang batinku. Sepenuhnya cadar si b*****t telah kubuka. Sungguh membosankan. Dia bukan siapa-siapa. Dia cuma kacung suruhan orang yang sepertinya jauh lebih pengecut dari b******n di hadapanku saat ini. Yang membuatku hampir muntah, hidung makhluk ini tidak ada di tempatnya. Bahkan, mata bagian kirinya seperti meleleh. Kulit pipinya menggelambir. Mungkin wajahnya jauh lebih tua dari usianya. Aku orang yang waspada. Supaya dia tidak kembali menyerang, kupatahkan kedua tangan dan kakinya. Dia terduduk, bersandar pada pohon kormis tua. Kepalanya dipenuhi bunga-bunga kormis kekuningan. Dari sorot kedua matanya, dia memperlihatkan penyesalan. "Aku tahu kau memiliki keluarga," kataku lirih. "Jadi, aku pasti mengunjungi mereka. Kau tidak perlu takut." Kutekan luka tembak si k*****t di bagian bahunya. "Aku senang memiliki banyak teman. Terlebih keluarga musuhku." Kian putus asa tatapan si b******n, berlinang air mata. Dia sedikit pun tak dapat bicara. Bukan karena kesedihan. Itu lebih karena lidahnya telah kupotong. "Kau kenal Rasapati?" tanyaku kemudian. "Kalau kau kenal ... Beritahu aku di mana makam cecunguk itu." Dia diam seribu bahasa. Hanya gumaman yang terlontar dari mulutnya. Dia kutinggalkan sejenak. Kuambil sebilah parang dari mobil yang kuparkirkan di balik semak. Siapa pun tidak akan ada yang tahu keberadaan kami. Aku kembali dengan membawa tiket bagi si b******n menuju neraka. Khidmat, k****a manifesto dari Nusapati. "Jika kau mampu melenyapkan satu dari seorang keturunan Raspati terkuat, niscaya, kau akan bisa menyerap energi mereka." "Kau tahu siapa keturunan Raspati terkuat?" delikku. "Kau mana tahu. Kau cuma cacing bagi mereka yang bisa dikorbankan seenak jidat." Lagi-lagi, dia tak banyak bicara. Kutekan tulang lututnya yang menyembul. Dia meraung tak jelas. Kalau saja lidahnya masih ada, dia pasti menghujamiku dengan kutukan. "g****k! Kau akan terkubur di sini," kataku, "tanpa seorang pun yang mengetahui." Kurasa, nyalinya menciut? Daripada menebas batang leher si pengecut, aku lebih memilih menyayatnya. Gesekan tajam mata pedang parang meninggalkan bekas luka. Kugorok leher si b******n tak sampai putus. Suara darah bergolak di tenggorokan berpadu kicau burung di pagi hari itu ..., bagaikan simfoni alam. Kucolek sedikit darah kehitaman itu, kubaui dan kujilati. Manis. Darah mengucur, tercecer di atas daun-daun kering dan tanah basah. -Ini momen penting- Iblis pun akan cemburu menyaksikan pertunjukan yang kugelar. Ketika kegelapan terdalam itu menyeruak, matahari pun enggan bersinar. Di batas antara nalar dan mimpi, akan kubuat ricuh alam ilusi. Bersiaplah wahai, Raspati! Sekarang awal musim penghujan. Decitan lantai kayu pasti menggangu tidur pulas mereka. Sudah saatnya kutunjukan siapa diriku. Pawana oOo "Tembang agung Nusapati itu membawa keheningan semakin kelam, anakku," kata ibu. "Tanamkan kebencian itu teruntuk orang-orang bodoh. Terutama, untuk Raspati dan semua garis keturunannya." Ibu membelai rambutku dengan lembut seraya tersenyum. Senyum itu lebih angker dari pemakaman liar. Di tangannya tergenggam belati bergagang kepala Iblis. Setelah lama menerawang, ibu kembali berkata, "Dumugi nepi ka pati. Pang oyagkeun kabisa si pengkhianat Raspati, kasep." Kau tetap saja tak kumengerti, Bu. "Jangan cengeng, Bocah tengik!" Suara itu terngiang lagi. Apa sih maunya makhluk dalam kepalaku ini? Dia bukan ibu. Dia lebih purba masa hidupnya. Aku bisa merasakannya dari energi yang dia pancarkan. Kuat, meskipun dia terkurung dalam sekat tak kasat mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN