Para petugas kepolisian ini mempersulit perjalananku.
"Tolong, buka bagasinya!" teriaknya kemudian.
Jalan pikiranku mampet. Kepercayaan diri yang sempat tinggi, kini lenyap begitu saja.
Sekilas, bayangan si Kerbau kecil menertawakanku.
Keparat!
Mau tak mau aku menuruti keinginan polisi laknat itu. Dia mengarahkan cahaya lampu senternya ke wajahku. Sangat menggangu.
Setelah pintu bagasi terbuka, polisi yang memeriksa surat-surat kendaraan menyuruhku untuk keluar dari mobil. Tidak terlalu tegas. Akan tetapi, cukup untuk membuat jantungku meleleh.
Sekitar 2 sampai 3 menit berlalu, aku mendengar suara pintu bagasi ditutup, si polisi yang memeriksa bagasi lalu menghampiri.
"Daging kerbau sebanyak itu, mau dibawa ke mana?" delik si polisi berkacamata hitam yang baru datang.
Apa? Daging kerbau?
"Saudara saya sedang mengadakan acara pernikahan, Pak," jawabku. "Saya akan membawa daging kerbau itu ke sana."
Jawaban tergoblok, namun efektif.
"Sudah," kata si polisi berkumis tipis menjeda obrolanku dan kawannya. "Biarkan bapak ini melanjutkan perjalanannya."
Ini jauh diluar dugaanku. Tanpa pikir panjang, aku masuk ke dalam mobil, dan kutinggalkan razia laknat itu. Tentu saja, aku mesti berbasa-basi terlebih dahulu.
Aku melenggang pergi sesegera mungkin. Setelah semakin jauh, aku santai bagai di pantai.
Tak kurencanakan, senyum puas tertoreh dari sudut bibirku.
"Aku bertindak secara acak," ucapku pada si Kerbau kecil di belakang sana.
Mobil meluncur perlahan-lahan supaya tidak mencurigakan.
Aku bagaikan lolos dari lubang jarum.
________________________________________
Kaos hitam oblong yang kupakai mulai lusuh. Celana panjang jeans-ku pun kotor, berlumpur. Ini semua kulakukan untuk membungkam mulut kakek buyutku yang rewel.
Demi apapun, suara berisik hewan malam sangat menggangu.
Satu setengah jam lebih kupersiapkan tempat peristirahatan terakhir si Kerbau kecil. Untuk itu, lubang kugali penuh semangat. Terengah-engah aku, kubayangkan ini adalah surga.
Bermodalkan sekop kecil yang kuambil dari gubuk petani, aku menggali lubang seenaknya.
Hampir dua meter kedalam tanah. Jasad si Kerbau kecil kulemparkan. Lubang kubur teruntuk si Kerbau kecil ini lebih mirip sumur ketimbang makam pada umumnya.
Peduli setan! Ini juga terlalu layak untuk keturunan kotor b******n Raspati.
Perkebunan tebu di sekelilingku. Udara malam dingin menusuk tulang sumsumku.
Itu semua tidak berarti apa-apa ketika aku bisa melihat potongan tubuh kawan seperjuangan teronggok di bawah sana.
Senyumku terasa tulus. "Kerbau kecil ... Tetaplah mampus!"
Hujan deras masih mengguyur. Tentu saja aku basah kuyup. Salah satu keturunan Raspati dapat kuhabisi? Itu lumayan mampu melenyapkan hawa dingin di sekujur tubuhku.
Hujan yang begitu lebat membasahi tanah, dan menciptakan aliran kecil, menggenangi lubang di mana si Kerbau kecil terbenam. Material tanah dan sampah pohon tebu terbawa arus, memenuhi tempat peristirahatan terakhir kawanku sedari kecil.
Hujan dan kilatan petir menjadikan suasana begitu dramatis.
"Aku ingin menangis, Kerbau kecil," gumamku, lantas mencibir. "Selamat jalan, Anak pelacur."
_________________________________________
Luas tanah perkebunan tebu milik ayahku ini berhektar-hektar, sehingga, aku dapat melihat horizon dari bidang tanah kosong di sebelah barat.
Selesai dengan prosesi penguburan si laknat Kerbau kecil, aku duduk di moncong mobilku, menikmati pemandangan luar biasa kelam dari barat sana.
Harapanku, makhluk-makhluk laknat peliharaan Raspati mendatangiku dan memburuku. Sayangnya, itu tidak terjadi. Menyebalkan!
Kemudian, hujan reda. Kunyalakan sebatang rokok, kuhisap dalam-dalam. Sungguh menyenangkan dan menenangkan memanjakan diri setelah bekerja keras.
Terlintas dalam otakku.
"Polisi yang mengecek bagasi mobilku itu ..., siapa namanya, ya?" ucapku lirih pada diri sendiri. "Pasti menyenangkan memberi dia sedikit pelajaran?"
Aku menerawang jauh pada waktu yang belum lama berselang. Menghubung-hubungkan segala peristiwa. Kejadian di waktu razia dan beberapa waktu ke belakang itu seakan punya keterikatan. Jika, tidak, bagaimana mungkin si Polisi ada dalam benakku? Dia pasti memiliki hubungan dengan Raspati? Paling tidak, dia kerabat jauh si Kerbau kecil.
Menyadari keterikatan itu, aku kembali bersemangat. Langsung kubuang rokokku, dan puntung rokok terhempas ke dalam genangan air hujan. Aku berlari menuju pintu mobil, membukanya, dan menyalakan mesin. Lalu, tancap gas.
Kuharap, para polisi itu masih ada di tempat terjadinya kecelakaan.
Sekop kecil kutinggalkan di jalanan becek. Berterimakasih aku pada benda itu. Karenanya, aku bisa dengan mudah menghilangkan jejak.
Siapapun tidak akan menduga kalau k*****t kecil bernama Kerbau kecil kubuang di perkebunan tebu milikku.
Mobil kupacu, melintasi jalur kosong nan becek. Hanya ada aku di jalanan ini. Lumpur terciprat akibat ban menggerus permukaan licin tanah terguyur hujan. Mobil meliuk ke kiri dan ke kanan. Adrenalinku terpacu bagaikan menaiki roller coaster. Hal terbaiknya yakni, menyeimbangkan setir supaya mobil tak tergelincir.
Menghadapi polisi itu bukan perkara mudah, tetapi layak kucoba. Senyumku tersungging untuk itu.
Sekelebat bayangan Nusapati muncul dan duduk di jok belakang. Dia berkata, "Habisi saja polisi k*****t itu, cucuku."
Semangatku semakin menggebu. Napasku bergemuruh bagai angin di kala badai.
"Pasti," balasku pada kakek buyutku.
"Jangan terlalu yakin, anak muda," begitu Nusapati berkata. Memang benar, aku tidak yakin. Bahkan aku tidak tahu siapa Nusapati itu sebenarnya. Aku hanya mengira-ngira.
o-oOo-o
Ini tentang warisan Iblis.
________________________________________
Dan bayangan kakek buyutku lenyap setelah itu.
Tak terasa, aku telah sampai di jalan utama.
Kuhentikan sejenak laju mobil.
Kulangkahkan kaki dengan tenang menuju bagasi. Kubuka bagasi perlahan. Di dalam sini, terdapat kotak rahasia yang menyimpan beberapa senjata. Mulai dari senjata api, hingga parang yang khusus kugunakan untuk melawan musuh-musuhku. Kugapai shotgun dan sebilah parang. Masih tersisa bercak darah si Kerbau kecil mengotori bilah parang. Aku tersenyum tenang.
Mobil kembali melaju. Sepi jalan utama di tumbuhi hutan heterogen di tiap sisinya menambah kesan mistis tersendiri. Lampu mobil menyoroti permukaan jalan yang serupa dunia lain ini.
Ini sangat menyentuh.
________________________________________
________________________________________
________________________________________
Aku telah sampai di tempat yang lumayan jauh dari lokasi kecelakaan. Laju mobil kuhentikan.
Di sini, di jalan utama beraspal, para polisi itu sempat berhenti untuk mencari tahu lebih lanjut penyebab utama kecelakaan.
Sisa-sisa jejak roda mobil polisi masih kentara menciptakan marking pada permukaan jalan. Mereka belum lama meninggalkan tempat ini. Arlojiku menunjukkan pukul 04:30. Terlambat bagiku untuk menemui si Polisi. Geram, kuludahi tanah.
Sebatang rokok kusulut, lantas kuhisap dalam-dalam. Terduduk aku di moncong mobil, menelaah ke mana si Polisi akan bergerak selanjutnya. Kilasan siluet melintas di otakku, membimbing penglihatanku pada tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Kupejamkan kedua mataku. Terlihat jelas. Pagar besi dengan ujung tajam di setiap teralisnya. Halaman berumput hijau, kering di beberapa tempat. Pohon akasia, bukan, pohon beringin tua bersulur, menghiasi rumah dia---si Polisi.
Kuhapal setiap detail rumah k*****t yang satu itu. Tempat tinggal si aparat jauh dari rumah lainnya. Hal paling penting, aku tahu, dia keturunan Raspati.
Api mulai membakar seluruh bagian rokok. Tak terasa, hampir setengah jam aku duduk menyusuri ruang batinku. Pagi menjadi buta. Gelap, tak menyisakan sedikitpun cahaya.
08-08-88
Aku mengingat angka-angka itu begitu saja, berkelebatan di kepala.
Tatapan mengintimidasi, juga ancaman nyata dari pria tinggi yang mendatangiku puluhan tahun silam. Bagaimana pun, aku mesti menepati janji.
Kian kusut hari-hari yang kujalani.
Bangsat-b*****t itu harus cepat mampus, agar aku bisa hidup tenang.
Ini bakal merepotkan!