bab.1 Kembali Bertemu
“Mas Fatih.... “ ucapku lirih menatap lelaki yang kini duduk di depan Danial Anakku.
Mendadak tanganku gemetar, nampan yang kupegang bergetar tak tentu arah. Bagaimana mungkin aku bisa kembali bertemu dengan dia? Sedangkan sepuluh tahun lamanya ia pergi meninggalkan luka.
Kutarik nafas panjang, seakan semua baik-baik saja. Kufokuskan kembali tujuanku untuk memberikan minuman yang sudah diseduhkan oleh ibu mertua. Ya, hari ini beliau mengundang guru ngaji untuk anakku Danial yang umurnya baru 4tahun. Katanya, ilmu agama itu penting, dan harus diajarkan sejak dini.
“Mama,” teriak anak lelaki yang mulai menyadari kehadiranku. Ia menoleh kearahku yang berdiri di ambang pintu menatap mereka yang tengah melantunkan huruf-huruf hijaiyah.
Mas Fatih menoleh, lalu tersenyum , sejurus kemudian kembali fokus dengan kitab yang ada di depannya. Lupakah ia denganku? Hingga seakan tak mengenalku sama sekali? Atau, ia memang sengaja? Ah, entahlah. Yang pasti kenangan sepuluh tahun silam kini kembali menari dalam pikiran.
“Ira, maafkan aku yang harus memintamu menunggu. Aku anak dari keluarga sederhana dan tak mungkin bisa melakukan resepsi seperti yang bapakmu minta. Beri waktu aku 3 tahun untuk mengumpulkan semua biayanya. Aku pasti akan datang dan kita akan duduk di pelaminan bersama.” Kalimat panjang yang ia utarakan setelah cincin disematkan di jari manisku kembali terngiang. Waktu 3 tahun, bahkan 5 tahun lamanya, ia tak ada datang. Sekedar memberi kabarpun tidak. Ia seperti tenggelam oleh bumi. Lalu, kini, ia datang sebagai guru ngaji anakku?
“Pak Ustad, perkenalkan ini namanya Mama Zura, mamanya Danial,” ucap lelaki bertubuh tambun yang kini menatapku dengan riang.
Aku tersenyum, lalu meletakkan nampan yang kubawa ke sebelah lelaki masa laluku.
“Terima kasih, Bu Ira. Maaf, merepotkan,” ucapnya.
“Ustad, namanya Mama Azura. Bukan Ira,” tegas anakku.
Namaku Azura, lebih tepatnya Azura Rahmania. Aku dilahirkan di sebuah desa sederhana, desa yang sama dengan Mas Fatih dilahirkan. Karena kebiasaan kami yang dulunya aktif dengan payuguyuban kampung, ia lebih sering memanggilku Ira, bukan Azura.
“Eh, maaf. Terima kasih, Ibu Azura,” ucapnya lagi dengan menarik sudut bibirnya. Seutas senyum yang menghadirkan luka yang telah lama kupendam.
“Maaf, saya lanjut dulu,” ucapnya lagi dan kembali fokus dengan kitab di depannya.
Bacaan basmallah kembali terdengar dari bibirnya, lalu dilanjut Danial yang turut mengikuti. Satu persatu huruf hijaiyah kembali disebut bergantian oleh mereka.
"Pandai sekali kamu memainkan dramamu, Mas? Seolah kamu tak mengenalku sama sekali? Sedangkan yang kau lakukan padaku?" batinku sambil terus menatap lelaki yang kini duduk di depan Danial. Mengenakan pakaian koko warna coklat dengan sarung hitam bercocak putih. Pakaian yang biasa ia kenakan seperti saat aku mengenalnya.
“Shodaqallahul Adzim,” ucap mereka serempak dengan menangkupkan tangannya ke wajah mereka, tanda kalau belajar mengaji ini usai.
“Yeay, selesai. Danial bisa main bola lagi. Bolehkan, Ma?” tanya anak lelakiku dengan mata berbinarnya.
Aku mengangguk, hingga sejurus kemudian, tubuh tambun itu perlahan menjauh dan mulai tak tampak.
“Silakan diminum dulu, Pak Ustad!” ucapku yang turut memainkan drama sama seperti dia. Seolah tak saling mengenal satu sama lain.
“Terima kasih, Bu Ira.”
“Maaf, namaku Azura,” ucapku tegas. Nama itu kembali mengingatkan setiap kenangan yang kuhabiskan dengannya.
“Terima kasih, Bu Azura.”
Lelaki berambut hitam yang kini ditutup oleh kopyah itu mulai mengambil cangkir di atas nampan. Disruputnya sedikit teh hangat yang kantungnya masih menggantung di luar gelas. Bacaan basmallah lirih kudengar sebelum ia menikmati minuman tersebut.
“Maaf, ibu tidak bisa menemui anda. Sore ini ada urusan.” Aku menyampaikan pesan dari ibu mertua sebelum berangkat arisan. Kehidupannya yang berkecukupan dan bisa dibilang mewah itu, menghabiskan banyak waktu untuk bertemu dengan teman komunitasnya.
“Tidak masalah.”
Hening. Untuk sesaat jarum jam seakan tak berjalan. Aku dan Mas Fatih dalam kebisuan, tanpa ada percakapan sama sekali. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Maaf, suami bu Azura ada?”
“Mungkin sebentar lagi pulang. Kalau tidak merepotkan, pak ustad diminta menunggunya tiba.”
“InsyaAllah tidak.”
Hening. Lagi-lagi tak ada percakapan diantara kami. Mas Fatih terlihat menunduk menatap karpet warna hijau rumah ini. sedangkan pandanganku lurus menatap tembok yang dihiasi foto pernikahanku dengan Mas Bagas. Ya, foto keluarga itu memang dicetak begitu besar dan ditempel di ruang tengah. Lelaki yang selisih umurnya hampir sepuluh tahun dariku, terlihat bahagia dengan senyum sumringah di bibirnya. Sedangkan aku yang mengenakan kebaya dan berdiri di sebelahnya, hanya mampu menunduk tanpa ekspresi.
“Anakmu sudah besar, Ira. Maaf, maksudku Azura.”
Aku tersenyum miring. “Mungkin anakku akan lebih besar saat ini jika aku tak menunggu laki-laki munafik,” ucapku yang sengaja mengingatkan masa lalu.
“Maafkan aku!”
Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. “Maaf? Uups, apa kamu mengenal lelaki itu? Aku tidak bilang kalau lelaki itu anda, Pak ustad.”
“Aku tahu aku salah, Zura. Aku bahkan tak yakin, apa kamu bisa memaafkanku. Yang pasti aku sangat menyesal dan minta maaf sedalam-dalamnya.”
Aku tersenyum kecil. “Mudah ya, Mas? Setelah bertahun-tahun lamanya aku menunggu, kamu hanya bilang maaf?”
“Harus dengan apa aku menebus kesalahanku?”
“Pergi lagi dari kehidupanku! Aku tak ingin mengenal lelaki munafik sepertimu. Apalagi menjadi guru ngaji Danial, sangat tidak pantas.”
“Maaf, untuk itu aku tidak bisa, Zura. Ibu Tiara yang memintaku datang kesini dan aku tak mungkin mengecewakannya.”
“Bukankan kebiasaanmu mengecewakan orang lain?”
Mas Fatih terdiam, ia menunduk.
“Saat itu aku datang dan bapakmu ....”
“Assalamualaikum.” Suara salam terdengar dari ambang pintu, dan dengan cepat aku bangkit menyusul lelakiku yang datang. Ya, hanya dengan mendengarkan suaranya saja, aku tahu sekali kalau itu suamiku. Lelaki bertubuh gagah dan tinggi yang 5 tahun lalu melafalkan kalimat akad atas namaku.
“Waalaikumsalam, sudah pulang, Mas?” tanyaku sambil meraih punggung tangannya. Kukecup dengan khidmat layaknya istri berbakti pada umumnya.
“Iya, Sayang. Guru ngaji Danial masih menunggu?” tanyanya sambil melingkarkan lengannya di pinggangku, lalu mendaratkan sebuah kecupan di dahi dan kedua pipi. Hal yang biasa ia lakukan ketika pulang kerja. Meskipun pernikahan kami bermula dari perjodohan, tapi Mas Bagas terlihat begitu menyayangiku. Bahkan, tak jarang ia memamerkan kemesraan di depan ibu mertua.
“Masih, Mas. Dia ada di ruang tengah.”
“Baiklah, aku akan segera kesana.”
“Tapi, Mas.” Kupegang tangannya, hingga langkah kaki yang tadinya terayun kini terhenti.
“Ada apa, Sayang?”
“Boleh Zura minta sesuatu?” tanyaku menatap manik mata coklat yang kini memandangku dengan lembut.
“Tentu.”
“Apa bakal dituruti?”
“Tentu, Sayang. Bukankah semua yang kamu inginkan selalu kamu dapatkan? Kamu mau beli baju baru? Atau sepatu baru?”
Selama ini Mas Bagas memang selalu memanjakanku dengan semua materi yang dimilikinya. Ia tak pernah pelit kepadaku dan menuruti apapun yang aku minta. Mungkin, di depan orang lain aku adalah wanita beruntung yang memiliki suami baik dan perhatian seperti Mas Bagas. Meskipun pada kenyataannya tidak. Aku masih menambatkan hati kepada lelaki yang sama sepuluh tahun silam. Bahkan dengan semua perhatian yang diberikan suamiku selama ini, belum mampu menghapus semuanya.
“Bukan, Mas. Azura ingin ....”
“Ingin apa, Sayang?’ tanyanya yang semakin tajam menatap kearahku.
“Azura ingin guru ngajinya Danial diganti.”
“Kenapa?” tanyanya dengan dahi yang mengernyit.