4

1282 Kata
Sekolah. Arfan memasuki lingkungan sekolah setelah dia beradu argumen bersama ibunya di mobil tadi. Beradu argumen tentang di antar atau tidak menuju ruang kepala sekolah. Dan adu argumen itu di menangkan oleh Arfan yang tidak ingin di temani. 'Mam aku bukan anak kecil lagi.' Dan itu berhasil membungkam mulut ibunya yang tidak hentinya bersikukuh untuk mengantar Arfan masuk ke dalam sekolah. Arfan berjalan menyusuri koridor sekolah itu. Banyak yang menatapnya. Tatapan yang mengisyaratkan, siapa dia, sedang apa dia, kemana dia akan pergi. Dan yang lainnya. Lalu tiba-tiba dia bingung. Kemana jalan yang harus diambil. Tanpa memilih, dia langsung berjalan mendekati dua gadis yang sedang bersenda gurau dengan teman lainnya. "Maaf, dimana ruang kepala sekolah?" Akhirnya suara itu yang keluar dari mulutnya. Gadis yang tadi sedang mengoceh ringan itu berbalik menatapnya dengan tatapan ganggu aja. Tapi langsung berubah ketika wajah Arfan yang ada di dekatnya. Bahkan sangat dekat. Matanya seolah mengisyaratkan kekaguman. "Ruang kepala sekolah, dimana?" ulang Arfan lagi Kali ini ia menatap ke gadis yang satunya lagi. Astaga. Itu gadis yang ditemuinya kemarin. Tepatnya tetangganya. Yang mempunyai foto mayat dengan darah itu? Ah dia benar-benar harus menghindarinya. Dia takut. Ah bukan. Bukan takut, tapi waspada. Hanya waspada. Yang Arfan tau, kamar tetangga sebelahnya itu kamar dia. Pernah sekali Arfan tidak sengaja melihat gadis itu sedang memperhatikan komputer yang ia lihat kemarin siang. Seolah tidak ingin menatap Arfan lama, gadis tetangganya itu memutar arah pandangnya. Dari melihat Arfan menjadi melihat orang yang berlalu lalang. "Disana," ucap gadis yang sedari tadi menatapnya, "lo lurus terus belok kanan, nanti ketemu.” "Thanks,” ucap Arfan lalu bergegas pergi. Saat sudah menyelesaikan acara khususnya di ruang kepala sekolah dan mulai hari ini dia dinyatakan sebagai siswa di SMA ini. Dan mulai pembelajaran hari ini juga. Berhubung ia memilih untuk duduk di kelas dengan genre ke- ilmuan, ia memasuki koridor kanan. Ia tau koridor kiri adalah untuk para anak sosial. Ia membuntuti guru pengajar di depannya. Guru yang ia kenal dengan nama Yudi ini mengajar Kimia di kelasnya. Yudi sekaligus wali kelas untuk Arfan ini menginjak umur kepala empat. Tapi masih saja terlihat segar bugar. Arfan berjalan mengikuti kemana langkah kaki Yudi menggiringnya. Dan sampai. Dia berjalan masuk kelas dan tepat di tengah kawasan depan kelas dia berdiri. Lalu mendongkakan kepalanya menatap murid di kelas yang akan menjadi temannya. Namun tatapan matanya berhenti tepat di bangku ke dua dari depan persis di depannya. Seorang gadis dengan rambut terikat sedang menelungkupkan wajahnya di dalam lipatan tangannya. "Perkenalkan dirimu," ucap Yudi Arfan mengangguk, "Arfan Tamawijaya, pindahan dari Jerman." Terdengar sorak kagum dari beberapa orang. Tapi matanya hanya fokus pada gadis yang menelungkupkan wajahnya itu. Dia duduk sendiri. "Kok pindahan dari Jerman mahir bahasa Indonesia?" ucap salah seorang siswi di barisan ke tiga sebelah kanan Arfan "Saya lahir di Indonesia dan besar di Indonesia. Hanya sekolah SD kelas 5 dan SMP, saya di luar Indonesia," jawab Arfan lengkap Sontak kelas itu ribut mengatakn 'oh' dengan nada panjang. "Baiklah Arfan, kamu duduk di san-" perkataan Yudi tertahan melihat gadis yang sama yang dilihat Arfan sedari tadi "Rea masuk hari ini?" tanya Yudi "Dia harusnya masuk kemarin pak," sahut seseorang dengan nametag Rizki itu "Lalu dia masuk sekarang?" Rizki mengangguk menjawab pertanyaan Yudi. Terdengar Yudi menghela nafas berat. "Ah, kamu duduk di sebelah Rea, Arfan," ucap Yudi langsung diangguki Arfan lalu berjalan mendekati meja gadis yang tengah menelungkupkan wajahnya itu Bahkan wajahnya sama sekali tidak terlihat. Pembelajaran di mulai. Arfan masih saja tidak mengerti, kenapa Yudi membiarkan gadis yang bernama Rea ini tidur sedangkan dia mengajar seperti biasa. Gadis itu menggeliat. Lalu wajahnya mengarah pada Arfan. Betapa kagetnya Arfan, dia. Gadis yang ditemuinya kemarin, tadi pagi dan sekarang. Tiga kali. Arfan menahan nafasnya ketika dia melihat wajah polos Rea yang tengah tertidur. Setelah itu, Arfan bisa dengan tenang menghembuskan nafas lagi. Namanya, Rea. Jam istirahat. Rea masih saja tertidur saat suara nyaring terdengar mengusik tidurnya. "Reaaaaaa!!!" Ah, Arfan kenal gadis yang berteriak di luar kelasnya. Dia yang menunjukkan jalan ke ruang kepala sekolah tadi. Gadis itu berlari mendekati gadis di sebelah Arfan, Rea. "Re, gue denger anak baru itu mas-" Tatapannya berhenti tepat di wajah Arfan. Arfan yang tengah mengerjakan tugas yang baru saja di berikan oleh Yudi, hanya menatapnya sekilas. "Lo!!" dia histeris "sebangku sama Rea." "Berisik De," sahut Rea dengan suara seraknya. Khas bangun tidur. Rea terusik tentu saja. Dia mendaratkan punggungnya ke sandaran kursi di belakangnya. Lalu tangannya direntangkan, menggeliat. Seakan belum sadar ada orang disampingnya Rea menguap tanpa menutup mulutnya. Dengan sigap, Dea, menutup mulut Rea. "Apaan sih lo?" sentak Rea kesal "Lo punya temen sebangku Re," bisik Dea Dengan gerakan lambat, Rea melirik orang di sebelahnya. "Waaah, lo ngapain disini?" serunya kaget Mata Rea yang tadinya ngantuk, sekarang matanya membelalak kaget. Oh ayolah, dia tidak nyaman jika ada orang di sampingnya saat dia duduk di kelas. "Aishhhh, ini pasti pak Yudi kan?" tanya Rea pada teman di sampingnya Arfan. Dia hanya mengangguk kecil dan meneruskan menulis di bukunya. Bahkan Rea tidak mau dengan repot mengetahui apa yang di tulis Arfan. Dea menggusur kursi duduk di dekat meja Rea, dan duduk di sana. "Gue Dea, lo Arfan?" tanya Dea Lagi. Arfan hanya mengangguk kecil tanpa menatap kedua orang yang membuatnya terganggu. "Ada apaan lo ke sini? Tumben-tumbenan, biasanya kan gue yang dateng ke kelas lo" sahut Rea mengabaikan Arfan di sampingnya. Terserahlah, dia mau denger apa engga. "Ah iya gue lupa," Dea nyengir "Farhan ngajak lo duel lagi," ucap Dea cepat Arfan yang mendengar itu mengeryit. Duel? Lagi? "Ga ada kapoknya itu cowok," sahut Rea kesal "Lagian nih ya, Farhan kan pernah kalah, ah bukan pernah. Tapi sering. Dia malu kali belom bisa ngalahin lo." Rea mangut-mangut. "Eh Re, lo tidur ga sih semalem? Keliatannya lo ngantuk banget?" tanya Dea Arfan dalam hati setuju dengan pertanyaan Dea. "Ah, gue insom malem tadi," jawab Rea ringan "Kebiasaan." ucap Dea cepat, "Ah, ga ke kantin?" tanya Dea lagi Rea menggeleng kecil, "Males gue." Bel masuk berbunyi saat Dea memasuki koridor menuju kelasnya. Dea ini mengambil jurusan Sosial. Jadi perjalanannya dari kantin tadi agak lambat. Ya. Tadi setelah Rea mengatakan malas ke kantin, dirinya langsung bangkit untuk pergi ke kantin mengisi perutnya. Tapi, tiba-tiba Dea terseret. "Lepasin gue. Apa-apaan sih lo!!" bentak Dea dan sesekali berontak "Diem lo!" Ah Dea kenal suara ini. Ini Farhan. "Farhan!!" jerit Dea "Lepasin gue." "Jangan banyak bacot lo. Diem dan ikut gue!" sentak Farhan Dea. Dea adalah seorang atlet muaythai, bisa saja ia melawan kalau lawannya ini bukan Farhan. Masalahnya ini Farhan. Farhan atlit karateka, dengan mendali emas yang berjejer di dinding kamarnya. Tenaga Farhan dan fisik Farhan tidak bisa dikalahkan, apalagi oleh Dea. Kecuali untuk Rea. Farhan adalah lawan yang mudah, bagi Rea. Mereka sampai di atap sekolah. Bahkan kunci gembok yang di pasang dengan mudahnya dihancurkan oleh Farhan dalam satu kali tendangan. Dan disitu, Dea di lepaskan. "Ngapain lo bawa gue kesini?" tanya sengit Dea "Lawan gue, De." "Apa-apaan lo?" "Lawan aja gue!" bentak Farhan Farhan langsung menyerang Dea. Dea hanya menghidar tanpa memberikan balasan untuk Farhan. "Lo ga malu apa? Lo tarung sama cewek? Banci dasar!" Tanpa Farhan dan Dea sadari ada sepasang mata yang memperhatikan mereka. Tanpa mampu berkata apa-apa. "Apa lo bilang!?" bentak Farhan "BANCI!" ucap Dea dengan penuh penekanan "Ah, apa banci bisa ngelakuin ini?" sahut Farhan menerjang Dea Dea tersungkur dengan punggung yang mendarat duluan ke lantai atap sekolah, Farhan terjatuh di atasnya. Farhan tersenyum miring lalu dengan sengaja wajahnya ia dekatkan pada wajah Dea. "Lo- lo mau ngapain?" ucap Dea "Buktiin kalo gue bukan banci?" Farhan memiringkan kepalanya saat selesai berkata Farhan kembali mendekati lagi Dea. Wajahnya makin dekat, tangannya tidak tinggal diam. Perlahan dia membuka kancing kemeja Dea. Dea diam. Dia menyimpan rasa pada Farhan. Tapi, bukan ini. Bukan ini yang Dea inginkan. Dea ingin menjerit. Tapi sesuatu terjadi. Ada yang terjatuh jauh disana. Ada orang yang melihat adegan ini. Farhan langsung berdiri mengejarnya. Sedangkan Dea membenarkan posisi tubuhnya dan membenarkan seragamnya. "Tunggu lo!" seru Farhan mengejar orang yang mengintip tadi "Woy!" Farhan lagi. Dia berhasil menangkap tangan orang itu lalu, orang itu berbalik. "TINA?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN