"TINA?!"
Farhan terkejut tentu saja. Tina adalah orang yang Farhan tau menyukai Farhan sejak dulu.
"Ngapain lo disini?" ucap Farhan pelan
"Gu..gue-"
"Jawab Tina!"
"Gue kebetulan lewat Han," sahut Tina cepat
"Hah?" Farhan tertawa kecil
"Lewat? Lo kira gue bodoh?"
"Udah deh Han, kita mending balik ke kelas!" ucap Dea lalu melewati mereka.
Dea tau dia salah. Tapi dia tidak ingin ikut campur lagi. Dea tau kalau Farhan adalah orang yang harus ia hindari. Tapi rasanya sulit untuk menjauhi Farhan. Dea suka Farhan apa adanya. Dea bahkan tidak bisa melepaskan tatapan matanya jika sudah bertemu dengan mata Farhan. Dea selalu sakit ketika Rea mengalahkan Farhan. Tapi salahnya juga, Dea tidak memberitahu Rea bahwa dirinya menyukai Farhan.
Dea adalah seorang teman yang baik untuk Rea. Dea adalah satu temannya di sekolah. Bahkan Rea hanya memiliki Dea untuk diajak bicara. Teman yang lainnya hanya sebatas teman kenal saja. Hanya saja Rea tidak tau latar belakang kehidupan Dea.
Dea. Sudah sekitar satu tahun mereka berteman. Bukan sahabat. Rea tau bahwa Dea tidak bisa dijadikannya sahabat. Rea hanya dekat dengan Dea di sekolah. Rea tidak pernah tau apa yang di lakukan Dea di luar sekolah. Dea hanya teman sekolahnya saja. Bukan sahabat. Dea dan Rea sama-sama orang yang tertutup untuk masalah di luar sekolah. Tidak ada yang terbuka. Dea hanya menjadikan Rea sebagai temannya yang bisa membantu dia mengerjakan tugas dan sejenisnya. Beruntungnya Dea, bahwa Rea tidak tau dirinya sedang di manfaatkan. Atau mungkin, Rea sudah tau tapi berpura-pura tidak tahu? Hanya Rea yang tahu itu.
Tidak lama Dea menginjakkan kakinya di lantai dasar, karena memang kelasnya ada di lantai paling dasar. Baru saja Dea mengakhiri langkahnya di lantai dasar, Dea di suguhkan pemandangan yang aneh. Banyak orang berlarian. Karena penasaran, dia akhirnya menarik salah satu siswa yang berlari mengikuti orang-orang yang berbondong lari ke area depan sekolah.
"Ada apaan sih?" tanya Dea.
"Ada orang bunuh diri katanya," ucap lelaki itu
"Loncat dari atap."
Dea mengeryitkan keningnya bingung, lalu membiarkan lelaki itu pergi. Bunuh diri? Atap? Padahal baru saja dia dari atap. Dia sungguh penasaran. Dia ikut berlari mengikuti arus lari ke depan sekolah. Dea mengucapkan kata 'permisi' berkali-kali karena dia ingin melihat siapa yang loncat? Bunuh diri dari atap tepatnya.
Dan ketika sampai di barisan terdepan. Dia kaget. Melihat darah yang keluar dari kepala orang yang bunuh diri itu. Dia mual. Dia tidak kuat melihat darah. Bisa dipastikan itu seorang siswi SMA-nya. Tak lama kemudian, Rea datang dengan nafas terengah. Dia lalu mengeluarkan ponsel dan bercakap-cakap dengan orang yang jauh di sebrang sana.
"Bang ada kasus di sekolah, bisa kesini?" ucap Rea
Rea mengangguk, tanpa menyebutkan kasus apa sekarang.
Rea kemudian mendekati may-, ah bukan mayat. Siswi yang bunuh diri itu, korban tepatnya. Wajahnya tidak terlihat oleh Dea. Posisi Dea adalah di samping badan siswi itu. Jadi dia tidak bisa melihat siapa itu. Dea melihat Rea yang mengecek denyut nadi, di pergelangan tangan lalu beralih ke lehernya.
Rea mengeluarkan ponselnya lagi, "saya butuh ambulan untuk SMA Prayoga, ada siswa yang loncat dari atap."
Tatapan kagum untuk Rea memang pantas didapatkannya. Dia bisa melakukannya sendiri tanpa menyuruh orang lain. Dea melihat anak baru itu, Arfan. Dia melihat Rea lalu beralih ke badan siswi yang tergeletak. Tatapannya aneh. Apalagi tatapannya untuk Rea, terlihat seperti takut?
Semua yang mengerubuni siswi yang tergeletak itu, perlahan mundur ketika ada beberapa polisi yang akan mengidentifikasi si korban lima belas menit setelah kejadian. Polisi itu melakukan olah TKP, memundurkan siswa yang ingin melihat korban. Dea merasakan lututnya lemas ketika korban di angkat dan memperlihatkan wajahnya. Tubuh Dea bergetar hebat.
"Tina?" gumamnya kecil
Tunggu! Tina? Tanya Dea dalam hati. Dia menatap ke atas, atap sekolah. Tidak ada siapa-siapa. Tapi kenapa Tina seolah terdorong dari atas? Tina melompat?
"Hoy, kenapa lo?" tanya Rea sesaat melihat Dea yang terus saja melihatnya ke atas
"Eeh Re, kagak," Dea nyengir terpaksa
Tanpa disadari Dea lagi, semua orang sudah membubarkan diri. Yang tersisa hanya ada polisi yang memeriksa TKP.
"Lo bisa masuk kelas sekarang, De," sahut Rea
Dea mengangguk. Lalu berlalu meninggalkan Rea dengan beberapa polisi di TKP.
-
"A, ini bunuh diri?" tanya Petra
Okey, sekarang Rea adalah A.
A mengangkat bahunya tak acuh. Dia tidak tau apa yang menjadi alasan Tina bunuh diri. Harus ada motif dibalik ia bunuh diri. Yang A tau. Tina adalah salah satu yang mengagumi Farhan di sekolahnya. A hanya perlu memeriksa atap yang di jadikan tempat untuk bunuh diri. Kasus ini bisa jadi menurunkan popularitas sekolah.
"Rea, kenapa tidak masuk kelas?" kata gurunya. Pak Yudi.
"Maaf pa, Rea di butuhkan disini. Dia teman Tina," ucap Petra mewakili Rea yang hanya diam bingung memberikan alasan.
"Tina anak IPS, kau IPA. Afrea."
Sialnya memang benar.
"Saya akan masuk kelas sebentar lagi Pak," ucap Rea sopan
Guru itu mengangguk. Mungkin karena dia tau kalau Rea adalah siswi berbeda di sekolah ini. Tak lama kemudian, kepala sekolah tergopoh-gopoh berlari mendekati lokasi kejadian.
"Apa bisa di selesaikan hari ini?" ucap kepala sekolah
"Kita harus memeriksa lokasi kejadian pak, untuk pemeriksaan ini tidak bisa terburu-buru. Kami butuh ketenangan," itu Kepala Polisi
"Bagaimana kalau siswa dan siswi di bubarkan? Bisa jadi ini adalah kasus yang mungkin akan dengan cepat menyebar," itu Petra
Kepala sekolah mengangguk lalu melenggang pergi, diikuti oleh guru Rea tadi. Pak Yudi.
"Pemikiran yang bagus, Bang," sahut A
Petra hanya menggedikkan bahunya. Bibir bawahnya ia julurkan melebih bibir atasnya. Menyebalkan.
"Kau tidak mengambil tasmu?"
"Nanti," ucap A
"Kita ga bisa nunggu hasil otopsi korban. Kita harus memeriksa secepatnya dan membuktikan dengan fakta yang ada," ucap Petra diangguki oleh A
"Bagaimana sekarang?" ucap A
"Perlukah kita memeriksa ke atap?" sahut A
"Sangat perlu," balas Petra
Kembali. A hanya mengangguk. Lalu berjalan di belakang Petra dan beberapa polisi juga dua anggota forensik.
A hanya berfikir motif apa di balik semua ini. Dia tidak mengenal Tina sama sekali. Bahkan melihat mukanya saja baru beberapa kali saja. Ah, A harus lebih meningkatkan ke-sosialannya, juga memperbanyak kenalan di sekolahnya.
A sampai di atap setelah beberapa menit memikirkan apa yang perlu diketahuinya kali ini. A memperhatikan keadaan sekitar. Apa ini? Biasa saja, seperti atap sekolah pada umumnya. Kosong. Hanya beberapa bangku yang tidak terpakai dan saluran uap. Lebih banyak bidang kosongnya daripada barang yang ada di atap ini. Selang beberapa menit ada seorang guru yang tergopoh mendatangi anggota polisi, dia membawa reporter.
Ah haruskah?
"Pak maaf, ini dari salah satu stasiun televisi ingin mengetahui lebih jelas tentang kejadian ini," ucap guru itu
A hanya tau dia Pak Gana. Guru Sejarah. Selanjutnya. Tidak tau.Kepala polisi yang sudah biasa bekerja sama dengan A yang di wawancarai. A tidak peduli. A memperhatikan sekitarnya. A harus tau jawaban pasti dalam kejadian ini. A tidak bisa begitu saja membiarkan kejadian ini, tanpa adanya kepastian yang sangat pasti. Kasus apa ini? Bunuh diri? Atau bahkan pembunuhan?
"Menemukan sesuatu A?" sahut Petra membuyarkan lamunan A
A menggeleng. Lalu kakinya menuntun tubuhnya bergerak mendekati tempat dimana di perkirakan korban jatuh. Tembok pinggiran atap ini terdiri dari dua tahap. Bagian yang sekarang A tempati, adalah bagian yang tinggi. Sedangkan di sebelahnya, lebih rendah dari ini. A mendongkakan kepalanya melihat tempat jatuhnya korban. Tepat di tempatnya berdiri. Ini atap bagian depan. Tubuh Tina pasti tertutupi pohon, jadi orang lain tidak akan melihat Tina sini. Atau bahkan, orang tidak bisa melihat Tina yang di dorong orang, mungkin.
A sudah memakai sarung tangan karet agar tidak ada sidik jari yang tertinggal. A menyentuh tembok itu. Dan apa yang ditemukannya adalah hal yang penting, mungkin.
"Bang, lo bisa periksa ini?" ucap A
"Apa?" tanya Petra
A menunjukkan sesuatu yang ia maksudkan tadi.
"Darah?" gumam kecil Petra
A hanya mengangguk.
"Tapi darah siapa ini?" tanya Petra
A mengangkat bahunya, "sepertinya kita harus mengetahui hasil otopsinya dulu."
Petra mengangguk, "ah iya, aku menemukan ini."
Petra menunjukkan gelang hitam dengan lambang naga, ditengahnya ada inisial FL. Terputus di bagian tengah.
"Simpan saja bisa tau itu bisa dijadikan barang bukti."
Petra mengangguk.