Chapter Delapan

1136 Kata
        ‘Prang’ suara sesuatu yang pecah mengejutkan semua orang.         “Suara apa itu?” Amanda mencari-cari sumber suara. Dia mendapati Aster yang tengah terduduk di lantai dapur dengan tangan berdarah. “Apa yang kamu lakukan?”         “Aku hanya sedang mencoba untuk membuat sesuatu, hehe...” jawab Aster sembari nyengir.         “Tangan Aster berdarah!” seru seorang anak perempuan yang turut mengintip.         “Kelihatannya sakit sekali!” sahut anak lainnya.         “Darahnya banyak.”         “Nanti Aster bisa kehabisan darah.”         “Aster, jangan mati!” Davin berlari memeluk punggungnya sembari mulai menangis.         “Aku tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil, nanti juga sembuh. Kalian main di luar saja, banyak pecahan kaca di sini. Nanti kalian bisa terluka.”         “Genta, tolong ajak semuanya bermain di luar!” Amanda meminta tolong Genta yang baru saja datang.         Anak gemuk itu memperhatikan keadaan di sekitarnya. “Baiklah. Kamu baik-baik saja, Aster?”         “Ya. Hanya tergores sedikit.”         “Ayo semuanya kita pindah ke ruang depan!” Genta menggiring semua anak dengan mudahnya. Tampaknya sejak kedatangannya di panti, dia langsung menjadi idola dari anak-anak yang lain.         Aster membereskan pecahan piring yang berserakkan. Amanda turut membantunya agar semua bisa selesai dengan cepat. Sementara itu luka pada tangan Aster masih terus mengucurkan darah.         “Ya ampun. Ada apa ini?”         Aster mulai sedikit merasa panik karena Miss Belly memergoki hasil perbuatannya. “Aster sedang belajar memasak,” jawab Amanda.         “Belajar memasak atau belajar memecahkan piring?”         “Aku tidak sengaja karena terkejut saat sedang mencoba memotong sayuran.”         “Tanganmu berdarah?”         “Iya, sedikit.”         Meski begitu Miss Belly tahu lukanya itu cukup dalam. Dia bergegas menyuruh Aster untuk ikut dengannya. Sementara Amanda dimintai tolong untuk merapikan pecahan piring sisanya.         Sebuah kotak berisi obat-obatan Miss Belly keluarkan dari dalam lemari. Semua perlengkapan P3K tertata rapi di dalamnya. Banyak sekali benda yang ada di sana. Tapi terlihat jarang ada yang menggunakannya.         “Kemarikan tanganmu!” Miss Belly mulai mengerjakan tugasnya kepada luka Aster. Gadis itu meringis kesakitan. “Kotak obat ini biasanya harus selalu diisi tiap minggu.”         “Untuk apa?” tanya Aster dengan mata yang mulai menyipit menahan sakit.         “Karena selalu saja ada anak yang menghabiskan isinya.”         “Memang apa yang terjadi dengan anak itu?”         “Setiap pulang dia selalu membawa luka baru pada tubuhnya.” Seharusnya Miss Belly bercerita dengan penuh rasa kesal. Hanya saja dia justru tersenyum seakan sedang mengingat sebuah kenangan menyenangkan.         “Tapi, kelihatannya obat-obat itu jarang digunakan?”         “Karena anak itu sudah besar sekarang, dan baru terluka lagi hari ini.”         Aster baru menyadari bahwa yang sedang dibicarakan adalah dirinya. Miss Belly pasti menjadi orang yang paling ingat mengenai masa kecilnya, bahkan dibanding dengan dirinya sendiri. Bagi Aster, banyak sekali kejadian masa lalu yang tidak bisa diingatnya. Padahal, dia rasa masa anak-anaknya begitu menyenangkan.         “Memang apa yang aku lakukan saat itu?”         “Kamu tidak mengingatnya sama sekali?”         “Hmm, hanya beberapa. Aku tidak bisa mengingat dengan jelas semua hal saat berumur sepuluh tahun ke bawah.”         Miss Belly sedikit tertawa. Sepertinya ingatan masa lalunya bersama Aster sudah mulai berputar di dalam kepala.         “Sebagaimana anak-anak pada umunya, kamu sangat aktif dan senang bermain. Terjatuh sepertinya menjadi hal yang wajar dan sudah menjadi rutinitas,” Miss Belly tertawa kecil. “Hanya saja ada beberapa kali saat kamu benar-benar membuatku kalang kabut. Waktu itu gurumu tiba-tiba datang ke sini dengan tergesa-gesa dan terlihat panik. Dia membawa kabar bahwa kamu sedang dilarikan ke rumah sakit karena terjatuh dari atas perosotan. Kepalamu terbentur ke atas besi yang sudah mulai berkarat dan terkelupas. Akibatnya kepalamu sobek dan mengeluarkan banyak darah. Untung saja orang-orang yang ada di sana bergerak dengan cepat. Alhasil kamu bisa selamat. Kamu pasti bisa merasakan bekas jahitannya di dekat dahi sebelah kanan.”         Aster mengusap kepalanya dengan tangan kanan, berusaha mencari bekas luka yang dimaksud Miss Belly. Telunjuknya merasakan gumpalan yang aneh pada kepalanya. Itu pastilah bekas jahitan tempo hari. “Benar-benar ada! Apa yang sedang aku lakukan saat itu ya?” Aster sedikit tertawa memikirkan bahwa dulu dia seorang anak yang nakal.         “Dan... kejadian yang membuatku hampir pingsan adalah sewaktu seorang lelaki yang merupakan nelayan mendatangiku. Dia berakata ada seorang anak yang terlibat masalah. Entah kenapa aku langsung tahu bahwa itu adalah kamu. Tanpa menanyakan ada apa, aku berlari mengikutinya. Saat sampai di sana, barulah aku tahu kejadian sebenarnya. Saat itu kamu sedang bermain-main di jembatan. Nelayan itu bercerita bahwa dia sudah melihatmu sejak awal ada di sana. Tapi dia sama sekali tidak mengira akan terjadi sesuatu. Tiba-tiba dia mendengar suara benda terjatuh ke dalam air dari kejauhan. Dan ternyata itu adalah kamu! Entah bagaimana ceritanya bisa sampai terjatuh ke dalam laut. Si nelayan merasa panik dan kebingungan. Dia bergegas berenang mencarimu yang mulai tenggelam. Dia mengakui bahwa dirinya bukan perenang handal dan tidak pernah berenang meskipun menjadi seorang nelayan, karena dia selalu bekerja di atas perahunya. Orang-orang mulai berkerumun di sana, sementara kamu mulai lelah bertahan untuk tidak tenggelam. Si nelayan pun kepayahan harus berenang ke arahmu yang cukup jauh. Untunglah ada seseorang yang langsung terjun dari atas jembatan, menyelamatkanmu yang sudah tidak sadarkan diri.”         “Siapa dia?” dia merasa penasaran dan berharap dapat berterima kasih kepada si penolong.         “Dia Roy. Orang yang sempat menjabat menjadi kepala keamanan Oakland.”          Hah? Hal itu membuat Aster terkejut namun ingin tertawa dibuatnya. Kini keinginan untuk berterima kasih langsung hilang dengan seketika.         “Lalu bagaimana kelanjutan ceritanya?”         “Kamu bergegas dibawa ke rumah sakit. Saat itu paru-parumu sudah terlalu banyak kemasukkan air laut. Tapi syukurlah lagi-lagi kamu selamat. Aku sangat bersyukur. Namun dampak dari hal itu, selama beberapa bulan kamu mengalami trauma berat. Takut terhadap laut dan genangan air lainnya. Bahkan saat mandi kamu tidak bisa melihat air di dalam bak yang terlalu besar.”         Mungkin saat itu Aster memiliih untuk membuang kejadian tersebut dari ingatannya, sehingga kini dia tidak mengingatnya. Meski begitu dia masih bisa merasakan sisa dari trauma tempo hari. Bahkan dia masih tidak bisa berada di dalam genangan air yang banyak. Itu kenapa dia tidak pernah memilih untuk belajar berenang, padahal dia hidup di tengah genangan air yang sangat luas.         Bayangan masa lalunya yang menyeramkan itu kadang bermunculan tanpa dipinta. Aster mulai takut semua hal buruk yang pernah dialaminya akan kembali sepenuhnya. Mungkin hal tersebut justru akan memberikan dampak yang sangat buruk.         “Sudah selesai.”         Luka Aster kini sudah tercuci bersih dan terlapisi oleh plester. “Terima kasih, Miss.”         “Kamu ada rencana lagi hari ini?”         “Iya. Aku harus pergi ke kantor walikota untuk bertemu David.”         “Oh, sudah lama sekali rasanya aku tidak bertemu dengannya. Tolong sampaikan salamku untuknya.”         Aster mengangguk dan tersenyum. Bagaimanapun David pernah menjadi bagian dari panti. Keberadaannya sangat membantu, tapi kini rasanya berbeda sekali tanpa kehadirannya di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN