Elsa tersenyum manis. Malu-malu tersipu. Gadis cantik itu membuka ransel, mengeluarkan ponsel pemberian Adam dari sana.
“Kak, di-password,” lapor Elsa imut.
“Oh? Hahaha. Iya iya. Sorry.” Pemuda itu bergeser mendekat, tak peduli dengan siswa-siswi yang mulai bergosip. “Sorry, aku bau keringat,” katanya.
“Gak papa.”
Adam mengambil mantan ponselnya, memperlihatkan rangkaian sandi. “Nanti kamu ganti sendiri gak papa.” Pemuda itu tak lupa memperlihatkan pola pengunci aplikasi.
“Aku bantuin masang sidik jadi.”
Elsa bergeser mendekat, terlihat antusias.
Adam meneguk ludah gugup. Ia kini fiks yakin kalau dia tertarik pada Elsa. Jantungnya berdebar keras kala bau tubuh Elsa masuk ke indera penciuman. Apalagi saat dia tak sengaja menggenggam tangan Elsa saat membantu membenarkan posisi jari telunjuk Elsa di sensor hape.
Beh, rasanya jantung Adam seperti minta dievakuasi! Pemuda itu meneguk ludah gugup. Mencoba bersikap seprofesional mungkin.
“Kalau sudah pakai sidik jari, kamu gak perlu lagi susah payah masukin sandi,” jelas Adam.
Elsa menoleh. Tersenyum manis. Jarak wajah mereka yang begitu dekat. Adam seolah masuk ke dalam iris hitam Elsa. Terpesona. Mata itu berbinar lembut, terlihat elegan.
“Terima kasih,” bisik Elsa yang malah membuat mata Adam turun, kini ganti melihati sepasang bibir merah di depannya.
“Cium! Cium! Cium!”
Adam memutar mata. Melirik jengkel pada teman-temannya. Syukur sih, dia jadi sadar kalau masih di tempat umum.
“Kakak,” panggil Elsa. Mengabaikan teman-teman Adam yang sibuk menyoraki. Beberapa bahkan mengangkat ponsel sedari tadi, merekam Adam dan Elsa.
“Ya?” balas Adam lembut. Fix dia memutuskan untuk mengejar Elsa.
“Dari kemarin hape Kakak getar terus. Sepertinya Kakak ada banyak pesan masuk.”
“Oh.. Biarkan saja. Gak masalah.”
“Um.. Sebenarnya aku pengen balikin nomor Kakak, aku udah ada nomor baru.”
Adam yang sudah bisa mengontrol nervous-nya kini duduk santai, sedikit membungkuk bersandar pada lututnya agar bisa melihat Elsa.
“Harusnya gak papa, aku udah beli baru,” balas Adam dengan cengiran.
Bibir Elsa mengerucut. “Tapi aku gak tahu cara masang kartunya gimana.”
Tawa Adam kembali terdengar, mengalun merdu. Pemuda itu mendekat pada Elsa, kali ini lebih berani, menempel semakin dekat. Elsa melirik sekilas saat bahu mereka bersentuan, tapi tak berkata apa-apa. Pasti saja senyum Adam makin lebar.
“Pertama, matiin dulu hapenya.” Adam memperlihatkan Elsa tombol di sebelah kiri. “Ini tempat kartunya ada di samping sini, lihat yang panjang ini kan?”
“Iya.”
“Nah, ini titik kecilnya ini ditekan pakai jarum atau apalah yang muat. Ada sih alatnya, nih, aku taruh di belakang,” lanjut Adam sembari membuka cashing tiga dimensi berbentuk pahlawan super hero warna merah.
“Coba kamu yang tekan.” Adam memberikan tusuk kecil seperti jarum pentul dengan gagang lebar. Dengan senang hati, Elsa melakukan yang Adam instruksikan.
“Gini?”
“Tekan lebih keras.”
Elsa bahagia sekali saat ia berhasil mengeluarkan slot kartu. Senyum Adam semakin lebar melihatnya.
Teman-teman Adam di lapangan terpingkal-pingkal melihat tingkah polah Adam.
“Adam! Woy Adam! Latihan...” teriak anak-anak cowok. Bersahut-sahutan memanggil Adam.
Senyum di wajah Elsa membeku. “Kakak sibuk? Gak papa deh, biar aku lanjutin sendiri.”
“Nggak kok. Biarkan saja mereka. Toh aku juga gak pernah absen sebelumnya.”
“Tapi temen-temen Kakak nungguin.”
“Nggak. Nggak papa kok.”
Adam balas berteriak pada teman-temannya, “Aku izin absen untuk hari ini. Ada urusan...!”
“Bah! Pacaran gitu, urusan apanya!” balas salah seorang dari mereka.
“Maaf, aku gangguin Kakak,” kata Elsa lagi.
“Tenang saja. Sama mereka santai saja.” Dan benar seperti kata Adam, tak lama kemudian, teman-teman Adam lanjut bermain tanpa Adam.
“Seminggu lagi kita mau ada turnamen,” jelas Adam.
Elsa semakin merasa bersalah.
“Hehehe, nggak papa. Tenang saja. Kita setiap pagi sebelum kelas juga latihan,” hibur Adam. “Oh, iya. Mana kartu kamu? Sini kita pasang sekalian.”
“Terima kasih,” balas Elsa manis. Gadis cantik itu mengeluarkan kartu perdana yang ia beli kemarin. Tampak lecet saking seringnya ia baca-baca.
“Ini ambil yang tengahnya aja, sesuai sama ukuran slot,” pandu Adam.
“Kayak gini?”
“Iya.” Adam mengambil kartunya dari slot. “Kamu bisa pilih, taruh di slot yang ini atau satunya. Bisa juga dipasangin kartu memori.”
Elsa mengangguk-angguk. Tersenyum sumringah saat kartunya masuk pas di tempat penyimpanan. Ia mendorong slotnya masuk. Menjadi satu dengan badan ponsel tipis tersebut.
Adam bantu memasangkan kembali cashing hape. “Tinggal dinyalain,” katanya.
Dag dig dug, Elsa menekan tombol power. Menunggu dengan sabar sampai ponsel tersebut nyala kembali. “Bisa, Kak!” jeritnya senang.
Adam nyengir kuda. Ia mengambil bekas papan kartu perdana Elsa, memasang kartunya di sana. “Ini aku pakai ya?”
“Hehehe, iya.”
“Huh? Disuruh daftarin nomor, Kak,” kata Elsa.
“Iya. Nanti masukin nomor penduduk sama KK. Kalau nggak hafal, bisa daftar di rumah nanti.”
“Aku hafal kok,” balas Elsa cepat, mengklik pesan pendaftaran.
“Serius hafal?” tanya Adam takjub.
“Iya. Mudah kok. Tinggal kita hafalin kode pernomoran data penduduk.” Elsa memang gadis cerdas. Apalagi sebelumnya dia tidak punya ponsel, dia sudah biasa menghafal nomor telepon.
Adam menunggui Elsa sampai berhasil.
“Baterainya tinggal dikit,” bilang Adam.
“Kan Kakak bilang mau Kakak bawain,” balas Elsa sedih.
“Oh iya, hehe, lupa. Bentar, aku ambilin,” kata Adam sambil berdiri. “Tadi tuh aku ke loker kamu, tapi loker kamu kuncian.”
Hati Elsa menghangat begitu tahu kalau Adam tidak lupa akan janjinya. “Terima kasih.” Ia ikut berdiri juga. “Di mana, Kak? Biar aku saja yang ambil.”
“Hehehe, di lokerku sih. Mau ikut?” tawarnya dengan cengiran lebar. Wajah pemuda itu tampak bodoh sekali. Bucin sampai ke ubun-ubun.
Elsa melihat ke gedung sekolah mereka, terlihat sepi. “Nggak deh, Kak. Aku tunggu sini aja.”
“Hehehe, oke.” Pemuda itu berbalik. Berlari-lari kecil.
“Mau ke mana????” teriak teman-teman Adam dari lapangan.
“Ke loker bentar...!!!” balas Adam berteriak.
Elsa melihati punggung Adam yang menjauh. Elsa bukan gadis bodoh. Dia tahu, Adam menyukainya. Sebelum-belumnya, dia tidak pernah mau diberi sesuatu oleh anak cowok, karena ia tahu, mereka pasti akan meminta imbalan. Tapi hm.. Entahlah, mungkin saat ini dia benar-benar ingin punya handphone.
Saat kembali, Adam sekalian menenteng ransel.
“Mau pulang??” tanya teman-teman Adam. Berhenti main lagi. Mereka melihat Elsa tak terima. Ugh.. Elsa jadi serba salah.
“Sorry!” teriak Adam pada teman-temannya. Pemuda itu masih sempat-sempatnya menyapa anak-anak perempuan di pinggir lapangan. Sorakan team cheerleaders dekat lapangan voli sama sekali tak mengganggu pemuda itu. Ia berjalan dengan cengiran lebar menuju Elsa.
“Ini,” katanya menyerahkan charger.
“Terima kasih.”
Adam masih berdiri di depan Elsa. Melihati gadis itu memasukkan ponsel dan charger barunya ke dalam ransel. Selesai memasukkan barang-barangnya. Elsa juga masih berdiri. Menunggu jika Adam ingin menyampaikan sesuatu.
“Mau kuantar pulang?” tawar Adam. Wajahnya gugup.
“Aku bawa sepeda sendiri. Terima kasih tawarannya,” jawab Elsa sopan.
“Um... Minggu depan kosong?” tanya Adam memberanikan diri.
Elsa tak langsung menjawab. Gadis itu tampak sedang berpikir. Benar-benar membuat Adam dag dig dug. Elsa tiba-tiba membuka ranselnya lagi.
“Setelah aku pikir-pikir, sepertinya aku beli hape sendiri saja deh, Kak.”
Plas.. Seperti ada sesuatu yang lepas dari hati Adam. “Bukan. Bukan seperti itu maksudku,” katanya panik. “Aku tidak bermaksud seperti itu, El.”
Elsa tersenyum. “Tidak papa kok. Aku juga sudah ada tabungan.” Gadis itu mengeluarkan kembali ponsel dan charger yang baru saja ia masukkan.
“Elsa, sumpah. Aku gak ada maksud apa-apa. Aku sungguh-sungguh ingin memberikannya padamu, El.”
Wajah Adam sudah seperti akan menangis saja.
Elsa tersenyum manis. “Terima kasih. Kakak baik banget ke aku meski kita baru pertama bertemu.”
Elsa meletakkan ponsel dan charger di tangan Adam. “Terima kasih, Kak. Aku pulang dulu.”
Adam sungguh merasa seperti orang paling bodoh sedunia. “Elsa, Elsa, tunggu.” Pemuda itu mengejar.
Anak-anak yang masih di lapangan berhenti. Mencium bau-bau drama. Pasangan unik itu memang dari tadi tidak terlalu keras saat bicara, jadinya susah buat nguping.
Elsa yang tak ingin membuat drama di depan umum memperbaiki ekspresinya, tak lagi datar seperti tadi. Ia berbalik melihat Adam. Senyum kecil menghiasi wajah cantiknya. Meski begitu, tetap saja perasaan Adam tak enak. Dia sungguh-sungguh menyesal sudah mengajukan pertanyaan bodoh seperti tadi.
“Aku pulang dulu ya, Kak.” Elsa mengulang pamit.
Adam mengangguk. Benda bodoh di tangannya ingin sekali dia lempar ke selokan. Pemuda itu masih membuntut, mengikuti Elsa ke parkiran.
“Sepeda kamu?” tanyanya hampa.
“Hehe, iya.”
Jujur, Adam sedih. Ingin sekali ia membelikan sepeda baru untuk Elsa. Sepeda warna pink itu butut. Catnya juga sudah pudar di sana sini.
“Maaf ya, Kak,” kata Elsa lagi. Kali ini lebih tulus.
Adam sungguh tidak tahu harus menjawab apa.
“Kakak jangan marah. Aku beneran terima kasih ke Kakak. Aku udah seneng banget meski cuman sehari ngerasain punya ponsel, hehe.”
Ugh. Rasanya seperti ada yang meremas-remas hati Adam mendengar Elsa berkata begitu.
Elsa menaiki sepedanya. Ransel di punggung dan beberapa buku tebal di ranjang depan.
“Hati-hati,” bisik Adam.
“Em. Terima kasih. Senang berkenalan dengan Kakak.”
Adam menatap Elsa nanar. Apa ini akhir dari kisah mereka yang bahkan belum mulai?
Elsa tersenyum. Mengayuh sepedanya pergi.
Adam masih di sana. Berdiri memandang Elsa yang terus menjauh.
***
Sampai di rumah, Elsa takut-takut saat memencet bel belakang. Dia sudah telat hampir satu jam dari biasanya. Semoga kepala pelayan tidak memarahinya.
“Dari mana saja?” tanya Nancy kesal, membukakan pintu belakang untuk Elsa.
“Maaf.”
“Masuklah. Segera ganti baju. Nyonya sedang ada tamu.”
“Baik.”
Kalau berbicara tentang lelah, tentu saja Elsa lelah. Apalagi di saat cuaca sedang panas-panasnya seperti hari-hari ini. Kepalanya sering kali berkedut sakit.
Mencuci wajah, mengenakan make up, memakai seragam, rutinitas yang sangat melelahkan. Elsa sungguh ingin merasakan wajah polos, berguling-guling seharian di kamar..
“Belum selesai?” Suara Nancy memanggil dari luar kamar.
“Bentar, Kak. Ganti baju,” balas Elsa.
“Cepatlah!”
“Iya..”
Nancy pandai memasak, jika sedang kekurangan orang seperti ini, biasanya dia ganti tugas di dapur, itulah kenapa ia urgen meminta Elsa untuk cepat-cepat.
Di dapur sekarang sedang sangat sibuk. Sepertinya tamu-tamu akan makan malam di rumah Tuan Zachary.
***
“Bawa ini ke ruang teh,” ujar Nancy menyuruh Elsa.
“Baik, Kak.”
“Elsa, wajahmu!” tegur Nancy. Lumayan keras sampai membuat orang-orang di dapur menoleh.
Meski sulit, Elsa tetap menyunggingkan senyum. “Maaf, Kak,” ucapnya sopan.
Menunggu emosi Nancy reda, Elsa kemudian berpamitan keluar. Di depannya, satu kereta dorong berisi aneka camilan dan teh panas ia dorong hati-hati. Senyum robot tersungging cantik di wajah gadis itu. Tampak memesona meski dengan mata yang kosong.
Entah kenapa. Mungkin karena kecewa tak jadi punya ponsel baru, seperti ada sesuatu yang hilang dari hati Elsa.
***