7. Kakak-Adik

2000 Kata
Elsa membaca di brosur sekolah barunya, jika terlambat datang maupun melakukan pelanggaran lainnya, maka poin siswa akan dikurangi; dan tentu saja akan berpengaruh pada rangking keseluruhan. Elsa dengan napas memburu meng-scan secara kartu pelajarnya di gerbang depan. Satpam yang melihatnya sedikit prihatin saat melihat Elsa kerepotan mengayuh sepedanya di halaman depan yang menanjak naik. Selesai memarkir sepeda, gadis cantik itu berlarian menuju lantai tiga. Memang pakai lift sih, tapi tetap saja. Elsa gugup melihat jam. Untungnya dia tidak terlalu terlambat. Beberapa siswa juga ada yang masih ngobrol di luar kelas. Menenangkan detak jantungnya, Elsa masuk ke dalam kelas. Berbeda dengan ekspresinya tadi yang gugup seperti dikejar s-tan, kali ini ia tampak lebih tenang. Gadis itu mengembuskan napas lega, belum ada guru piket. “Baru pindah dan sudah terlambat?” cibir Alma si ketua kelas yang duduk di barisan depan. “Maaf,” balas Elsa sopan. Gadis itu memberikan senyum terbaiknya yang ia bisa. Alma memandang hina. “Sudahlah. Bukan urusanku juga.” “Benar,” sehat teman di sampingnya. Mengangguk pada anak-anak perempuan itu, Elsa menuju bangkunya di paling belakang. Menunduk sepanjang jalan. “Kenapa terlambat?” sapa Irra. “Hehehe, maaf.” Irra asal mengangguk saja meski kurang puas dengan jawaban Elsa. Sambil menunggu guru datang, Elsa membuka buku mapel. Konsentrasi belajar gadis itu tetap kuat meski Irra dan Arum sesekali mengajaknya bicara. Saat guru datang dan memulai materi pun, Elsa tak kenal lelah duduk tegak mendengarkan ceramah gurunya. Jam istirahat, Elsa makan bekalnya di dalam kelas. Lanjut belajar sampai bel masuk lagi. Gadis itu tekun mendengarkan penjelasan guru-gurunya. Irra saja sampai tak berani mengajak ngobrol. Rupanya, Arum, Irra, dan Tina adalah kawan lama. Pulang sekolah, mereka berniat untuk mampir dulu di mal dekat sekolah. Di koridor lantai tiga yang ramai, Elsa dan tiga teman barunya berjalan beriringan menuju tangga tengah. Elsa sebenarnya buru-buru, dia ingin mampir ke kelas Adam untuk mengembalikan kartu ponsel Adam sekalian minta password hape, tapi sepertinya sulit. Bagaimana jika Adam sudah pulang? ‘Oh! Kak Adam kemarin bilang mau ngasih charger di loker!’ seru Elsa dalam hati. “Kamu anak beasiswa ya?” tanya Arum menyadarkan Elsa dari lamunan. Elsa memperbaiki ekspresi, tersenyum ramah. “Iya. Aku sekolahnya ada yang bayarin.” “Hm.. Pantesan kamu serius banget belajarnya,” komen Irra. Elsa tersenyum mengangguk. “Elsa!” Seseorang memanggil. Elsa dan ketiga sahabat barunya menoleh bersamaan. Aldi. Pemuda itu melambaikan saat tak sengaja bersebarangan dengan Elsa. “Hai,” balas Elsa dengan lambaian tangan. “Oh.. Manis sekali..” puji Aldi bucin. Berdecak kesal, Liam menarik kerah seragam Aldi, mengajak temannya untuk berjalan lebih cepat. “Dasar Aldi,” komen Arum malas. “Eh eh. Aku dengar, Liam ganti pacar lagi ya?” Irra memulai gosip. “Iyakah? Bukannya masih sama Hilda?” Tina yang pendiam ikut nimbrung. “Bukan sama Hilda lagi. Aku dengar dia sekarang sama adik kelas,” balas Irra. “Apa yang kamu maksud cewek yang rambutnya sering dikuncir dua itu?” Ketiga sahabat itu menoleh. Elsa yang sadar sudah keceplosan bicara menutup mulut. Dia tidak tahu apa foto di layar ponsel Liam waktu itu adalah adik kelas atau bukan. Dia hanya tak sengaja berkata. “Dari mana kamu tahu? Kamu kenal sama pacarnya Liam?” tanya Irra kepo. “Er.. Aku tidak sengaja lihat fotonya,” balas Elsa jujur tapi tak sepenuhnya jujur. “Iya sih. Aku juga lihat postingannya Liam,” sahut Arum mengerucutkan bibir. Irra nimbrung, lanjut berjalan pelan menuruni tangga. “Liam tuh sebenernya ganteng, cuman playboy-nya itu lho.” “Bener banget,” sahut Arum. Elsa meneguk ludah. “Boleh aku bertanya sesuatu?” Irra dan lainnya ikut berhenti. “Tanya apa?” tanya mereka bebarengan. Elsa gugup menjilat bibirnya. “Kalau, kalau misal, seseorang berciuman dengan cowok yang saat itu punya pacar, apa itu sebuah kesalahan?” “Tentu saja!” balas Arum dan Irra sewot. “Um.. Bagaimana jika dia menyukai cowok itu?” tanya Elsa lagi. Pandangannya gugup ketakutan. Irra yang tahu arah pembicaraan Elsa menarik napas tenang. “Kalian pergi dulu. Tunggu aku di parkiran,” bilangnya pada Arum dan Tina. “Oke,” balas Arum. Tina tersenyum kecil pada Elsa, mengangguk sebelum pergi. Melawan arus siswa-siswi yang berebut ingin segera pulang, Irra menarik Elsa ke tembok kaca di lantai satu. Di antara keramaian koridor, Irra yang bertubuh lebih tinggi dari Elsa memegang pundak Elsa. Ia melihat mata Elsa lembut. “Apa kamu sungguh meyukainya?” tanyanya penuh empati. “Um.. Aku tidak tahu?” balas Elsa tak pasti. “Bagaimana perasaanmu ketika dia pergi kencan dengan cewek lain?” tanya Irra mencari tahu. Pandangan Elsa menunduk. “Aku cemburu.” “Tapi dia milik orang lain,” bisik Irra penuh empati. Di tengah hiruk pikuk suasana bahagia pulang sekolah, Elsa masih menunduk. Melihati lantai. “Apa dia pernah bilang jika dia menyukaimu?” tanya Irra lagi. Elsa mendongakkan wajah, bergeleng sedih. “Elsa sayang, itu berarti dia tidak menyukaimu.” Tes.. Basah di pipi Elsa. Terasa sakit di dalam d**a. Elsa menghapus air mata yang jatuh tanpa izin. Irra memeluk Elsa hangat. “Tidak papa, Sayang. Masih banyak kok cowok lain yang suka sama kamu.” “Tapi aku menyukainya,” ungkap Elsa dengan suara yang bergetar. Pertama kali mengatakan perasaan hati yang selama ini ia pendam. “Tidak papa. Suatu saat kamu pasti bisa lupain dia.” Irra hangat memeluk Elsa. “Kita lanjutin kapan-kapan lagi ya, aku jamin setelah pindah sekolah kamu pasti bisa move on,” kata Irra menggandeng tangan Elsa. Meski dengan pikiran yang berkecamuk, Elsa terlihat sudah lebih tenang saat kembali pada Arum dan Tina yang menunggu di pintu masuk gedung. “Mau ikut jalan?” tawar Arum. “Maaf, lain kali saja ya?” balas Elsa dengan senyuman. “Hmhm. Baiklah.” *** Elsa yang teringat kalau dia perlu mengambil charger di loker bergegas kembali naik ke lantai tiga, lantai untuk anak kelas dua. Gadis itu berlarian menuju area loker. Dan oh, lokernya terkunci. Hahaha. Terlanjur ke sini, sekalian saja Elsa masukkan buku-buku pelajaran dari lokernya ke dalam ransel. Meski tahu saat ini Adam pasti sudah pulang, Elsa tetap saja mampir ke kelas Adam. Ia memperlambat langkah, melirik-lirik ke dalam kelas. Ada dua-tiga siswa, tapi ia yakin mereka bukan Adam. Elsa mengembuskan napas kecewa. Salahnya juga sih gak datang cepat-cepat tadi. Lesu, Elsa beranjak turun melewati tangga di sayap kiri. Tampak di halaman depan, beberapa siswa bermain sepak bola dan basket di lapangan outdoor. Elsa lagi-lagi mengembuskan napas kecewa. Padahal dia ingin mengembalikan SIM Card Adam. Sepeda Elsa terparkir di dekat lapangan sepak bola. Meski di sekolah Leuven ini kebanyakan peranakan orang-orang kaya, di antara mereka ada juga yang lebih suka bersepeda pancal. Tentu saja sepeda yang mereka pakai beda kelas dengan milik Elsa. Mengayuh sepedanya, Elsa melewati anak-anak lelaki yang tengah bermain sepak bola. Hm? Elsa memutar balik kayuh sepedanya. Menekan tuas rem, mata Elsa cepat mencari-cari. Tadi dia seperti sekelebat melihat Adam. “Kak Adam?” bisiknya senang. Ia masih di atas sepedanya, melihati anak cowok dengan kemeja yang dikeluarkan dari celana. Meski tak serapi saat mereka pertama bertemu, Adam tetap terlihat tampan dengan seragam setengah acaknya. Elsa memarkir sepedanya kembali, berjalan penuh senyum menuju tangga penonton di sisi lapangan. Di sebelahnya, beberapa anak perempuan juga sedang menonton permainan. Elsa berkali-kali memasukkan tangannya ke dalam tas, memastikan kalau ponselnya masih ada. Rasanya deg-degan sekali. Ponsel pertama... “Eh, kamu pacarnya Adam kan?” Elsa menoleh. Beberapa anak perempuan melihatinya. “Bukan,” geleng Elsa malu. “Sini, sini, duduk sini.” Siswi yang menyapa Elsa terlihat ramah. Tersenyum lebar. Membalas senyum, Elsa pindah di sebelah siswi yang memanggilnya. “Nunggu Adam?” tanya si siswi baik. “Iya,” balas Elsa sopan. “Kenalin. Aku Wulan, sekelas sama Adam.” “Temennya Kak Adam? Kelas tiga berarti?” “Iya. Kalau sebelahku ini Shinta namanya.” Siswi di sebelah Kak Wulan ikut nyempil. “Hai,” sapanya. “Salam kenal, Kak. Aku Elsa,” kata Elsa sembari mengulurkan tangan. Ketiga siswi itu saling berjabat tangan. “Ikut klub apa?” tanya Wulan. Gadis itu tak hentinya melihati Elsa. Ia bahkan tanpa malu mengintip-intip Elsa dari bawah dan dari samping. Membuat Elsa salah tingkah. “Aku nggak ikut klub, Kak.” “Kenapa nggak ikut? Masa pacarnya Adam nggak ikut klub?” Shinta menyahut sewot. “Hehehe, aku bukan pacarnya Kak Adam, Kak.” “Oh? Masih pdkt?” balas Shinta lagi. “Sudah, sudah, kamu ini,” tegur Wulan pada temannya. Ia beralih pada Elsa, “Kalau kamu mau, kamu bisa kok gabung ke klub yang sama kayak aku. Aku ikut klub fotografi.” “Fotografi.. tapi aku gak ada kamera, Kak.” “Bisa kok pakai hape, kita belajar dasar-dasarnya saja dulu, kayak motoin produk gitu.” “Pakai kamera hape bisa, Kak?” tanya Elsa memastikan. “Bisa kok. Tapi hm, sebenernya aku tuh suka sama mata kamu. Mata kamu tuh dalem banget. Kek nyembunyiin sesuatu gitu. Seperti menyimpan misteri!” Shanti berdecih. Elsa mencoba untuk menghiraukan. “Kegiatan klubnya hari apa, Kak?” tanya Elsa. “Sabtu sama Selasa. Hari Sabtu kan pulang cepet, biasanya kita di sekolah sampai sore. Kalau yang selasa itu biasanya sampai Maghrib.” “Tapi aku nggak tahu sama sekali tentang fotografi, apa gak papa?” “Gak papa kok. Namanya juga belajar. By the way, aku dulu ketua klub fotografi, hehe.” Elsa tersenyum mendengar jawaban Wulan. Ia melihat ke lapangan sebentar, berpikir agak lama. Di lapangan, matanya mengekor setiap langkah Adam. “Adam dulu ketua OSIS. Pacarnya Shinta ini dulu juga nyalon, tapi kalah selisih dua nomor. Makanya Shinta sewot sama kamu.” “Apaan sih, Wulan..!” Shinta mencubiti temannya gemas. Wulan meringis-ringis kesakitan. “Adam belum cerita ya sama kamu?” tanyanya pada Elsa. Elsa bimbang, ingin mengatakan kalau mereka baru saja kenal tapi tidak berani. Bingung sendiri dengan hubungan mereka. “Itu berarti, Adam belum terbuka sama kamu. Atau mungkin dia sok kepedean ngira semua orang pasti kenal dia,” ujar Shinta nimbrung lagi. Wulan memutar mata mendengar komentar sahabatnya. Elsa tersenyum memaklumi. Tidak berani terlalu berkomentar. “Kak, aku pengen coba ikut klub fotografi yang Kakak bilang, tapi aku mau tanya dulu sama orang rumah, dibolehin atau tidak,” kata Elsa mengalihkan pembicaraan. Tidak bohong juga sih, dia dari dulu sebenarnya ingin sekali ikut kegiatan klub. “Anak mama ya?” Shanti menyahut lagi. “Sini, biar ku save saja nomer kamu, nanti aku hubungi,” kata Wulan mengabaikan sahabatnya. Ia mengeluarkan ponsel, bersiap untuk menyimpan nomor. “Um.. Gimana kalau aku aja yang save nomor Kakak?” kata Elsa sembari mengeluarkan book note kecil dari saku blazer. Wulan melihatinya sebentar sebelum mengedikkan bahu. “Tentu saja,” katanya. Wulan penuh semangat memperlihatkan foto-foto di galeri ponselnya. Elsa berusaha semaksimal mungkin untuk terlihat tertarik, sudut matanya sesekali melirik, mencari sosok Adam di lapangan. Waktu terus berputar, akhirnya para cowok di lapangan break juga. Meski begitu, Adam masih saja terlihat sibuk. Elsa tak sabaran melihati jam tangan. “Sudah pengen pulang?” tanya Wulan santai. Gadis itu merogoh tas, mengeluarkan keripik kentang dari sana. “Iya, Kak. Ada kerjaan di rumah.” “Kamu kerja?” tanya Wulan dan Shinta barengan. Meski tidak terlalu keras, pertanyaan Shinta dan Wulan mencuri perhatian. Beberapa orang menoleh, begitu juga para siswa di lapangan. Adam yang sedang bicara dengan temannya juga menoleh. Wajahnya yang semula terlihat tegang dan serius melunak saat melihat Elsa. Elsa tersenyum manis untuknya. Gadis itu berdiri. Seolah terhipnotis, Adam di seberang juga berdiri. Pemuda itu berpamitan pada temannya tanpa menoleh ke belakang. Senyumnya lebar kala berjalan menuju Elsa. “Pajaknya manaa... Pacar baru gak ngasih pajak..” teriak teman-teman Adam. Tertawa-tawa. “Kak, aku pergi dulu,” kata Elsa pada dua kating di sebelah. Gadis itu menuruni tangga. Ia yang kini jadi pusat perhatian mencari baris tangga yang agak sepi. Adam menghapus peluh di kening, berjalan tegak menuju Elsa. Pemuda itu duduk agak jauhan dari Elsa. “Kak,” sapa Elsa. “Dek?” balas Adam menggoda. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN