6. Swiss

2033 Kata
Tak perlu susah payah mencari Liam di mana, Elsa tahu. Pasti mereka di Play Room, ruangan penuh mainan milik Liam. Begitu Elsa membuka pintu, suara ledakan dan tembakan meledak di koridor. Dengan wajah tenang, gadis itu masuk, menutup pintu. Ia meletakkan gelas jus pertama di depan Liam, lanjut ke depan teman-teman Liam. Sebagai seorang pelayan, Elsa tidak diperbolehkan lancang melihat wajah tuan dan para tamunya. Itulah mengapa, hingga saat ini pun, Elsa tidak pernah tahu siapa teman Liam. “Aku tidak mau es,” gumam Liam dingin. Tangan Elsa yang tengah menghidangkan kudapan terhenti, teman Liam yang lain juga ikut melihat pada Liam, tapi kemudian ‘bodo amat’ dan lanjut bermain. Elsa berdiri tegak di samping sofa Liam. “Tuan inginnya minum apa?” tanya Elsa sopan. Di antara mereka saat ini, kejadian kemarin sore seperti tidak pernah terjadi. Liam malas tak menggubris, sibuk dengan stik game. Ketiga teman Liam yang lain pun masih rame, tak peduli drama antara Liam dan si gadis pelayan. Elsa masih sabar menunggu. Tersenyum sepanjang waktu. “Ah....! Kau sedang bad mood, gak seru!” keluh salah seorang tamu pada Liam. Dia yang pertama kalah dalam permainan. “Bilang saja kau memang payah,” balas Liam. Tamu tersebut mengedikkan bahu, ganti melihati Elsa sambil makan biskuit. “Jika aku perhatikan, aku seperti pernah melihatmu,” ucapnya. Dua teman Liam yang lain ikut melihat Elsa. Hanya sebentar. Kasta pelayan meskipun cantik, tidak menarik minat mereka. “Bodoh. Tentu saja kau pasti melihatnya tiap main ke sini,” balas salah seorang teman Liam. Anak yang bilang pernah melihat Elsa menyerah. Ganti bermain ponsel. Semua kembali seperti semula. Sibuk dengan aktivitas masing-masing. Merasa tak dibutuhkan, Elsa mundur ke belakang, menjadi satu dengan bayang-bayang. “Pacarku minta liburan terus,” gerutu teman Liam yang bermain ponsel. “Kan tinggal berangkat sih,” balas yang lain. Kini pemain game tinggal dua. Liam dan anak di sebelahnya. Mereka tampak serius saling menekan stik dengan kekuatan penuh. “Dia ngajaknya ke luar negeri!” gerutu anak tadi. “Ha! Cewek banyak mau,” umpat anak yang sedang main. “Apa kau sudah menidurinya?” tanya teman Liam yang lain. “Sudah lah. Kalian pikir kenapa aku lanjut pacaran sama dia? Ya karena setiap weekend dapat jatah, hahaha.” “Hahaha.” Elsa sudah sangat biasa mendengar pembicaraan seperti ini saat menemani Liam dan teman-temannya. Dulu sekali, dia bahkan pernah menemani Liam dan teman-temannya nonton video porno di ruangan ini. “Liburan semester nanti gimana kalau kita main ke Europe?” Teman Liam yang kalah nomor dua memberi saran. “Aku sih ikut saja, yang penting bukan aku yang urus,” balas anak yang sedang main. Gerakan tangan Liam semakin cepat. Dari posisinya, Elsa bisa melihat wajah samping Liam. Sudut bibir pemuda itu kian naik. Elsa bisa menduga, dalam hitungan menit, Liam pasti akan berteriak menang. Elsa fokus melihati jari-jari Liam yang memencet cepat. Jari itu cepat, berpacu dengan waktu. Tek tek tek, tek tek tek--- “Yay!!” Liam berdiri. Meninju udara. “Menang,” katanya. Elsa tersenyum. Sudah hafal sekali dengan Liam. “Hah.... Okelah, oke. Kau yang menang.” Anak ketiga yang kalah itu merenggangkan tubuh, mengambil ponsel. Liam merenggangkan pungung dan lehernya. Tersenyum puas. Elsa suka sekali melihat Liam yang seperti ini. Seperti lupa kata-katanya tentang tidak ingin minum es, Liam meminum jus jambunya sampai tak bersisa. “Kalian tadi bilang apa? Mau main ke Europe? Aku ikut," ucap Liam nimbrung. “Sulit, Bro. Males ngurus VISA dan lain-lain,” balas teman di sampingnya. “Aku dengar mudah lho kalau VISA liburan,” teman Liam yang pacarnya ingin liburan membujuk. “Kita juga bisa pakai jasa agensi kalau mau,” balas Liam. Lebar menyandarkan lengannya di sandaran sofa. “Benar. Kenapa tidak kepikiran?” balas yang lain. “Hahaha. Selama ini kita cuman tinggal pergi. Gak pernah ngurus ini ngurus itu,” sambung temannya yang lain. “Sebentar. Aku tanya dulu, pacarku mau ke mana,” kata anak tadi. “... Dia bilang mau ke Swiss atau Norwegia.” Dahi Liam mengernyit, ingin rasanya Elsa merelakskan wajah tegang itu. “Swiss? Aku dengar di sana sering hujan?” kata Liam. “Aku juga kurang setuju kalau Swiss,” sahut yang lain. “Eih.... Dia maunya ke Swiss!” teriak anak yang tadi ngajak. “Ha! Pacarmu banyak maunya.” “Makanya itu, aku mikir-mikir kalau nanti kita pakai agensi. Biasanya ada itinerary. Takutnya dia gak setuju, terus tiba-tiba pengen pindah tempat. Hah...” “Kita bisa pakai tour guide yang stay di sana. Bisa ngantar ke mana-mana.” “Beda, Bro. Tour guide biasanya cuman nemenin sesuai rencana perjalanan. Aku pengennya yang fleksibel, bisa diajak ke mana-mana.” Semua orang tampak sedang berpikir sampai kemudian Liam memanggil. “Elsa.” Elsa mendekat. “Iya, Tuan.” Teman Liam yang bilang seperti pernah mengenal Elsa melihati Elsa lama. “Elsa...” gumamnya. “Elsa?” tiru yang lain. “Elsa Evelisse?” teman yang lain ikut menyahut. Elsa tersenyum profesional. “Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” Mulut ketiga teman Liam melebar syok. “Holy s**t!” maki anak di samping Liam. “Elsa Evelisse yang tadi pagi pindah ke kelas kita?!” tanya anak di deret nomor tiga. Karena memang dipanggil, Elsa kini berani melihat wajah teman-teman Liam. “Iya, Tuan. Itu saya,” jawab Elsa dengan senyum sopan. “f**k!” umpat anak di deret nomor tiga. Anak itu memukul-mukul meja frustrasi. “Aku baru saja mau nyari nomor WA-mu. Nggak tahunya kamu orangnya Liam????” “Maaf,” balas Elsa sopan. “Akh.... Hatiku.... Padahal aku pikir, bidadari jatuh dari surga tadi pagi.” Anak itu memegangi dadanya, setengah merengek. Teman-temannya ngakak melihat tingkah lakunya. “Liam, lo berdosa banget. Padahal pas tadi kita bahas mau ke Europe, aku berencana aja si anak baru di kelas kita. Ahh....” Liam nyengir kuda melihat respon teman-temannya. Ia berkata pada Elsa, “Duduk dulu, ada yang mau aku omongin.” “Iya. Duduk dulu. Masa dari tadi berdiri. Kan capek.” Teman Liam yang bilang mau ngajak Elsa berkata gugup, serba salah. Sementara yang dua hanya memandang bosan. Anggun, Elsa duduk seperti yang diajarkan ketua pelayan. Sudut kakinya dilipat rapat menghadap pada Liam, terlihat sopan dan elegan. Jika bukan karena baju pelayannya, pasti sekarang laki-laki di ruangan itu akan duduk tegak seperti sedang makan malam formal. Liam memulai, “Well, sorry. Sebenernya aku masih pengen marah sama kamu, tapi aku tiba-tiba kepikiran ada job buat kamu.” Elsa diam menunggu Liam menyelesaikan kalimatnya. Senyum profesional terpatri di wajah gadis itu. Teman-teman Liam bergantian melihati Liam dan Elsa. Liam, “Papa bilang, nanti kamu bakalan jadi sekretaris pribadiku kan? Gimana kalau coba ngurus travel kita kali ini?” “Ya?” Ketiga teman Liam bertanya bebarengan. “Maaf?” tanya Elsa mengonfirmasi. Liam lagi, “Masih ada waktu panjang sampai liburan semester. Kamu bisa belajar caranya ngurus perjalanan keluar negeri. Gimana? Mau gak?” Kebiasaan buruk Elsa saat nervous muncul, gadis itu menggigiti bibir bawahnya. Meski berbaju pelayan, tetap saja Elsa gadis yang sangat cantik. Dengan pembawaannya yang anggun, tidak sulit untuk para lelaki terpikat oleh daya tariknya. “Jangan menggigiti bibirmu,” ujar Liam. Elsa langsung tersadar seketika. “Maaf,” katanya. Liam mengibaskan tangan. “Gimana? Mau gak?” Ketiga temannya menunggu jawaban. “T-Tapi saya tidak punya pengalaman. S-saya juga tidak punya paspor.” “Kalau kamu mau, pasti ada jalan.” Teman-temannya terkekeh pada tutur kata Liam yang sok bijak. Meski begitu, Elsa tetap mendengar kata Liam baik-baik. “Baiklah, akan saya coba,” kata gadis itu. “Kamu belum ada ponsel kan? Aku akan membelikanmu setelah ini,” kata Liam. Elsa tersenyum manis. Kali ini sangat manis. Si cowok yang tadi bilang akan mengajak Elsa ke Eropa ikutan membalas senyum. “Tidak perlu, Tuan. Saya sudah ada handphone sekarang,” jawab Elsa sopan. Wajah Liam skeptis saat mengatakan, “Kapan beli? Kenapa aku tidak punya nomormu?” Teman Liam yang bilang mau ngajak Elsa, berteriak mencari perhatian. “Wow. Tidak punya ponsel? Seriusan??” Elsa tersenyum manis padanya. Dia lagi, “Jika kamu mau, aku bisa memberimu ponsel.” “Bodoh. Dia bilang sudah punya,” tegur tamu di sebelah Liam. “Laptop mungkin? Kamu mau?” tawarnya lagi. Matanya tak pernah sekalipun lepas dari Elsa. Liam melirik temannya kesal, berkata pada Elsa, “Tidak usah hiraukan dia.” Elsa mengangguk mengiyakan. “Minta nomormu dong.” Teman Liam satu itu rupanya tak putus asa. Ia mengeluarkan ponselnya, tersenyum lebar pada Elsa. “Namaku Aldi,” tambahnya. “Salam kenal,” balas Elsa sopan. “Nomornya?” cerca Aldi dengan cengiran lebar. Elsa bimbang, ingin mengatakan kalau dia belum megaktifkan nomornya, tapi takut dikira berbohong. “Sudahlah, tidak usah pedulikan dia,” kata Liam pada Elsa. “Apa maksudmu tidak usah memedulikanku?” balas Aldi sewot. “Liam benar. Buktinya, kita ratusan kali ke sini kamu juga gak pernah sadar kalau ada Elsa,” teman Liam yang duduk di samping Liam menasihati. Aldi membalas panas, “Dari dulu aku juga tahu kalau Liam punya pelayan cantik.” “Oh ya? Lalu kenapa baru sekarang minta nomornya?” balas teman di sebelah Liam. Aldi melihatnya kesal. Liam tersenyum kecil, tak menyangka hanya karena Elsa saja teman-temannya sampai bertengkar. “Sudahlah, sudah. Kalian tidak ingat, kalau aku yang pertama sadar tentang Elsa?” Ketiga pemuda itu menoleh pada teman mereka yang duduk di sofa tunggal di seberang. Iya sih, dia tadi yang pertama ngenalin Elsa. “Jika bukan karena pacarku pengen jalan-jalan, kalian gak bakal tahu ada Elsa di rumah Liam, hahaha.” “Namaku Stefan,” lanjutnya pada Elsa. “Salam kenal,” balas Elsa sopan. Tinggal satu lagi yang belum mengenalkan namanya, tamu di sebelah Liam. Dilihati teman-temannya, pemuda itu menghela napas panjang. “Ha... Baiklah. Namaku Oscar. Salam kenal.” Elsa mengangguk. Tidak pernah menyangka suatu saat Liam akan mengenalkannya pada teman-temannya. “Salam kenal juga,” balas Elsa sopan. Liam puas kembali melihat ke Elsa. “Kamu pikirkan baik-baik. Cobalah buat proposal kegiatan. Papa ngasih kamu laptop kan?” “Iya, Tuan.” “Good.” "Sudah. Pergilah." "Baik, Tuan." Tersenyum sopan, Elsa bangkit berdiri. Gadis itu kembali ke pos, mencoba menghilangkan eksistensi. Teman-Teman Liam malu-malu mengintip Elsa, setelah beberapa saat baru bisa terbiasa. Setahu Elsa, Liam pertama kali mengajak teman-temannya ke rumah saat mereka kelas dua SMP dulu. Saat itu Elsa masih bekerja di dapur, jadi tukang cuci piring. Jadinya jarang bisa bertemu dengan Liam. Hingga malam menjelang, anak-anak itu masih ngobrol entah apa. Baru saat Oscar ditelepon ayahnya, ia berpamitan pulang. Pemuda itu sama sekali tak menoleh saat melewati Elsa. Memang seperti ini sih para tamu biasanya. Tak berapa lama kemudian, tiga sekawan yang tersisa berdiri. “Mereka nginep sini. Siapkan kamar tamu, El,” kata Liam. “Baik.” Saat Elsa hendak berbalik, Aldi menahan tangan Liam. “Tidak bisakah kita tidur sekamar denganmu saja?” katanya pada Liam. “Aku gak enak sama Elsa.” Liam berdecak. “Pelayan di rumahku bukan cuman Elsa jika kau lupa." “Hehehe, okelah kalau begitu. Asal gak ganggu Elsa malem-malem, hehe.” Elsa tersenyum, beranjak pergi. Elsa tahu, biasanya, saat Tuan dan Nyonya Zachary sedang tidak di rumah, Liam biasanya akan mabuk-mabukan dengan teman-temannya di halaman samping. Kadang ada juga teman-teman cewek yang diundang. Beruntungnya Elsa jarang piket malam. Hanya jika ada Tuan Zachary saja dia sering diminta menemani. Elsa pergi ke dapur, menyampaikan laporan harian pada ketua pelayan di ruang kerja. “Bagus. Kamu boleh istirahat. Biar Ibu suruh Sri sama Nancy jaga,” ujar wanita berkepala empat tersebut. “Baik, Bu. Terima kasih.” *** Sampai di kamar, Elsa langsung duduk di kasur lantainya. Punggung dan kakinya kaku kelamaan berdiri. Teringat akan ponselnya, Elsa bergegas bangun. Sudah tak sabar ingin mengaktifkan nomor barunya. Ponsel yang sedari tadi ia simpan di dalam sorogan ia keluarkan. Ponselnya itu sepanjang perjalanan sekolah tadi sudah bergetar berulang kali. Pasti banyak pesan yang masuk. Elsa menggeser layar ke atas. ... “Ponselnya di-password??” Elsa terduduk lemas. Sebuah kebodohan yang hakiki. Ponsel tanpa password. Kartu perdana di depannya seolah mengejek kepolosannya. “Padahal aku ingin memberikan nomor baruku pada Tuan Liam,” gumam Elsa murung. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN