Part 5

1535 Kata
Sabrina menunggu kedatangan Farez di teras kosnya. Mereka memang berjanji untuk datang ke rapat rutin kelompok kkn mereka secara bersama-sama. Sebenarnya, Farez yang menawarkan dirinya sendiri. Pasca menbuat peta itu Ia memang lebih intens berkomunikasi dengan Farez dibanding yang lain. Namun sekali lagi, gadis itu tak mau berprasangka lebih dahulu. Dia tidak mau kegeeran dulu mengartikan hubungan mendadaknya ini. Farez tetap teman baiknya dan memang pemuda itu mengatakan bahwa dia butuh teman untuk mengobrol sembari menunggu teman-teman mereka datang. Sabrina tak menolak, dia tak ingin menghindar lagi dalam urusan dekat dekat begini. Is it the right time to move? Sabrina juga sebenarnya tidak tau jawaban yang paling tepat. Tapi dia berusaha untuk menjalani lebih dahulu, tidak ingin berasumsi lebih dalam. Dia tak ingin lagi menebak-nebak. Dia memainkan ponselnya untuk membunuh rasa bosannya. Terakhir kali Fahreza mengirim pesan pada dirinya pemuda itu masih berada di kosnya. “Mau kemana lo?” Fanya datang bersama motornya ketika menanyakan hal itu pada Sabrina, membuat Sabrina bergidik karena terkejut. Bisa-bisanya Fanya datang tiba-tiba dan langsung menanyakannya seperti polisi yang ingin mencari tahu pelaku kejahatan. “Mau rapat kkn” jawab Sabrina seadanya. Fanya melepas helmnya dan berjalan kearah Sabrina. “Dijemput? Tumben banget lo nggak bawa motor” Sabrina hanya tersenyum-senyum tidak jelas, “Nunggu Farez. Janjian pergi bareng gitu” Fanya mengerinyitkan dahinya. Santainya ucapan Sabrina membuatnya tidak mengerti, seolah tidak ada yang aneh dari ucapannya itu. Memang tidak ada yang aneh, hanya saja. “Lo sering jalan bareng dia sekarang?” tanya Fanya ingin tahu lebih banyak, penasaran dengan perkembangan hubungan sahabatnya itu dengan Fahreza. “Hem. Kadang-kadang makan bareng sih, dua kali” jawab Sabrina seadanya, wajah gadis itu masih datar, meskipun Sabrina pernah suka Fahreza tapi Fanya tau benar bahwa Sabrina tak jatuh cinta pada pemuda itu. Sehingga yang diucapkan Sabrina tadi benar-benar seperti ajakan teman jurusannya untuk makan. “Lo lagi deket sama dia?” Sabrina mengangkat bahunya. “Nggak tau juga. Gue lagi nggak mau mikirin hal-hal begituan dulu” “Masa?” Sabrina menghela nafas dalam, dia memang tak memikirkan bagaimana hubungannya dengan Fahreza kelak. Itu masih jauh sekali meskipun mereka sudah mulai dekat sekarang. “Gue tanya ke lo sekali lagi, is it the right time to move?” Sabrina merasa ada yang salah dengan kata-katanya. “Dari kejombloan gue maksudnya” ralatnya cepat, sebelum Fanya memikirkan hal yang macam-macam. “Lo bisa move kapan aja Sab” jawab Fanya cepat, namun matanya masih menatao lurus ke Sabrina. “Okay. Jadi bisa kan lo nggak ngasih tau siapa-siapa soal gue yang mulai deket sama Farez?” hanya satu orang yang dimaksud Sabrina dari siapa-siapa tersebut, namun dia hanya mengeneralisasi ucapannya agar tidak terlalu fokus dengan orang itu. “Kenapa gue jarus melakukan itu?” tanya Fanya bingung. “Karena Fay, gue sahabat lo yang mau empat tahun tinggal di sebelah lo minta ini” Sabrina melirik di balik pagar kosnya dan mendapati Farez sudah datang dengan motornya. Sabrina segera mengambil helmnya dan melirik Fanya untuk terakhir kalinya. “Serius banget lo akhir-akhir ini. Gue becanda kok” sambil menepuk-nepuk pipi sahabatnya itu dan pergi. “Gue pergi dulu, Nyai!” Fahreza menyambutnya dengan senyum pertama kali dan langsung ditanggapi Sabrina dengan senyum yang manis juga. “Yuk” ajak pemuda itu menghidupkan mesin motor dan Sabrina duduk di belakang pemuda itu. Seharusnya Sabrina senang dengan hal ini. Perfect husband materialnya duduk di depannya, melindungi dirinya. Tapi sayangnya, tak ada rasa apapun yang bisa dirasakan Sabrina saat ini. Seharusnya kita deket lebih awal ya rez. Ujarnya menyayangkan. * Mereka masuk ke Teory Cafe tempat mereka janjian untuk berkumpul. Teory cafe seperti namanya di pintu masuk sudah terlihat dekorasi buku-buku dan beberapa quotes yang tertempel di dinding, mereka masuk ke bagian dalam cafe dan terlihat kolam kecil yang membatasi bagian luar dan dalam cafe. Mereka melihat sudah ada beberapa anggota kelompok mereka yang sudah datang. Sabrina memakai rok a-line selutut sore itu. Dia mengekori Fahreza yang berjalan di depannya, Fahreza langsung mengambil posisi sebelah kiri dari meja tersebut dan spontan menarik tangan Sabrina untuk duduk disebelahnya. Sabrina yang ingin mengambil duduk berseberangan langsung menghela nafas berat. Hanya Nisa dan Lilian yang belum datang pada rapat kali ini. Dia duduk diantara Fahreza dan juanda kemudian disebelahnya lagi sudah ada Tasya. “Sab!” Sabrina menoleh ke arah Tasya dan mengerinyitkan dahi. Dia sedikit mencondongkan badannya ke arah Tasya yang juga melakukan hal yang sama. Mereka mengobrol ditengah-tengah juanda. “Kamu berangkat sama Farez?” Sabrina dengan polos mengangguk saja. “Asikk. Mau berhasil ya Sab kkn love story!” Sabrina spontan melirik juanda yang pura-pura tidak mendengar pembicaraan mereka berdua. Sabrina menggeleng cepat. “Nggak lah mun. Gila aja” ucap Sabrina dan langsung menoleh ke arah lain agar memutus pembicaraannya dengan Tasya. Yang benar saja, nanti teman-temannya akan berpikiran macam-macam karena ucapan Tasya. Gadis itu mengatakannya cukup keras hingga dapat didengar oleh Khalid, Gian dan bahkan sampai pratama yang duduk diseberang mereka. Ketiga cowok itu hanya melempar senyum canggung kearahnya. “Nisa sama Lilian lagi ada kuliah, mungkin telat. Kita mulai aja ya?” tanya Fahreza dan diangguki oleh anggota kelompoknya, Fahreza segera membuka rapat kedua mereka tersebut dan mulai mengeluarkan lembaran-lembaran kertas dari dalam tasnya. “Kemarin udah koordinasi sama pj desa se kabupaten, jadi kalau bisa dalam dua minggu kita udah kesana buat survey perdana dan tanya tempat tinggal ke pak kadesnya……” Sabrina melirik kertas yang dikeluarkan Farez dan mendapati petanya ada disana. Gadis itu menghela nafas dalam dan mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan teman-temannya. Bahwa Fahreza memang membutuhkan peta tersebut untuk keperluan yang tidak Sabrina ketahui. Nisa dan Lilian datang ditengah-tengah rapat mereka dan duduk diseberang Sabrina dan juanda, dua gadis itu tampaknya baru menyelesaikan kuliah mereka. “Jadi kita mau berangkat semua atau perwakilan nih?” Khalid mengeluarkan suaranya. “Perwakilan aja, rez. Susah koordinasi kalau rame-rame” Fahreza mengangguk-angguk, “Iya sih.. Gimana kalau dari kelompok kita perwakilan 4 orang aja. Kalau memang butuh survey tambahan nanti kita atur lagi jadwalnya” “Setuju” ucap Sabrina mendukung keputusan Fahreza. “Yaudah siapa nih yang mau” Ditanya begitu Sabrina langsung terdiam. Jujur saja, dia belum mau ikut survey kali ini, dia tidak apa-apa menjadi pihak yang menerima saja. Ia sebenarnya malas sekali berpergian minggu ini dan dia harus kejar target judul skripsi. “Pilih aja rez” ujar Nisa cepat, “Tapi aku kayaknya nggak perlu ikut survey kali ini deh” “Vote aja ya” ujar Fahreza memutuskan. Mereka mulai menuliskan nama-nama yang akan pergi untuk perwakilan survey pertama mereka. Fahreza mengangguk-angguk setelah hasil vote itu di dapatnya. “Jadi yang pergi aku, juanda, Sabrina dan Lilian” Fahreza mengangkat kertas hasil vote yang dia hitung cepat. Semua orang setuju dan mereka mulai membahas program kelompok yang akan mereka jalankan di desa tersebut. Rapat itu berakhir dengan cepat dan mereka mulai memakan makanan mereka masing-masing. “Saladnya kasih aku aja Sab” Fahreza tiba-tiba menyelutuk saat Sabrina mulai memisahkan salad dari chicken teriyakinya. “Makasih” ucap Sabrina, tangannya dengan refleks Sabrina memindahkan salad tersebut ke piring Fahreza, tanpa menyadari bahwa ada orang yang memerhatikan hal tersebut dengan intens. * “Lo nggak suka sayur?” tanya orang didepannya saat melihat Sabrina tak memakan saladnya. Mereka berada disalah satu restoran jepang yang terkenal di kota mereka. Sabrina yang masih menyendok makanannya tiba-tiba mengalihkan pandangannya pada pemuda itu. “Cuma salad” ucap Sabrina cepat, kembali melanjutkan aktivitasnya dengan santai. “Kenapa?” tanya pemuda itu lagi. Sabrina mengerinyitkan dahi dan mengangkat bahu. “Menurut gue aneh aja sayur dikasih mayonaise” Sabrina terkekeh pelan mendengar jawabannya. “Dih ketawa, besok-besok kalau ada salad langsung pindahin ke piring gue aja” Sabrina menaikkan alisnya, “Fmangnya bakalan ada besok-besok” “Lo nggak mau makan sama gue lagi?” Sabrina menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, membuat pemuda didepannya merengut kesal. “Lah ngambek, becanda!” “Nggak mungkinlah lo nolak ajakan cowok ganteng kayak gue” Hati Sabrina langsung berbunga-bunga mendengarnya. Dia tau aja dengan wajahnya! Tentu saja Sabrina tidak akan menolak, dan dia tak ingin menolak juga. “Masih banyak yang lebih ganteng dari lo” “Lo mengakui kalau gue ganteng? Jadi nggak enak dipuji gini gue” Sabrina tertawa dengan keras. “Pede banget sih lo, kesel!” Sabrina mencubit lengan pemuda itu dengan gemas, sudah tidak tahan dengan sikap manis pemuda tersebut. Mereka melanjutkan pembicaraan ringan mereka dengan sesekali bercanda, semakin menumbuhkan benih-benih rasa yang tanpa sadar mulai terpupuk di dalam diri mereka masing-masing. * Gue udah mau selesai nugas. Send Pulang bareng siapa? reply Sama temen, kok lo belum tidur? Send Nungguin lo. Ini udah jam 2. Reply Iya, ini udah beres-beres. Send Tunggu gue disana. 10 menit. Sabrina rasanya ingin meleleh saja diperhatikan seperti ini. Belum ada pemuda yang mau menunggunya hingga dini hari seperti ini atau tiba-tiba menjemputnya seperti yang pemuda itu lakukan padanya. Sabrina benar-benar merasa jadi ratu akhir-akhir ini. Dan dia dengan senang hati melakukannya karena dia juga suka. Sepuluh menit kemudian pemuda itu sudah datang di depan basecampnya dan Sabrina segera pamit kepada teman-temannya. Dia mengeluarkan motornya dan menghampiri pemuda itu. Untung saja malam hari hingga dia tak bisa melihat wajah Sabrina yang memerah. “Baik banget sih lo” puji Sabrina jujur. “Habis gue nggak bisa liat cewek sendirian subuh-subuh gini jalan sendiri” “Wow such a gentleman” Sabrina sengaja menanggapinya dengan bercanda. “Katanya udah selesai? Temen lo kok nggak pada pulang?” “Bentar lagi kok, mereka masih beres-beres di dalam” “Yaudah yuk pulang” Sabrina mengangguk dan menyalakan motornya. Mereka langaung melesat ke jalanan dan hanya butuh beberapa menit saja untuk sampai ke kos Sabrina karena memang jalanan sepi. Setelah Sabrina menempatkan motornya di garasi, gadis itu segera keluar dan mendapati pemuda itu masih di luar sana. Menunggunya. “Makasih ya, lo baik banget deh. Gue harus ngapain nih supaya nggak hutang budi banget sama lo” Pemuda itu tersenyum manis sambil mengusap kepala Sabrina. Menampilkan lagi senyum yang disukai Sabrina, sangat-sangat disukainya hingga bisa membuat Sabrina bersemangat padahal ini sudah dini hari dan dia belum tidur sama sekali. “Nonton sama gue Sabtu ini. Awas kalau lo nugas” Sabrina merasa dirinya kembali bersemu, Sabrina mengangguk dan masuk ke dalam kosnya. Menyembunyikan rasa senangnya yang menggebu di dalam hatinya. Rasanya Sabrina ingin menyimpan monen ini dalam kotak manis dan tak akan dilupakannya seumur hidup. Inikah rasanya bahagia?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN