Kesepakatan

1034 Kata
Di tempat lain, Elang merasa tak tenang. Dia sama sekali tak menginginkan perjodohan ini, tetapi untuk menolaknya pun tidak mungkin. Elang selalu dituntut untuk mengenalkan calon istrinya jika tidak mau menerima perjodohan dari orang tuanya. Namun, Elang bingung siapa yang ingin dikenalkan pada kedua orang tuanya. “Gadis itu kenapa mau menerima perjodohan ini? Dia sangat bodoh!” Elang bergumam sendiri. Itulah kenapa dia menghubungi Annora untuk membuat sebuah kesepakatan. Waktu jam istirahat makan siang di kantornya, Elang pun pergi ke rumah Annora. Pemuda itu ingin menjemput Annora dan mengajaknya ke suatu tempat. Elang ingin berbicara empat mata dengan Annora. Beberapa pegawai di kantornya menatap Elang dengan pandangan heran dan bertanya-tanya. Sebab, tak biasa Elang keluar di jam makan siang. Biasanya dia makan siang di kantin kantornya. Salah seorang pegawai wanita yang selalu mencari perhatian Elang pun menyapa. “Siang, Pak? Mau ke mana, kok, kayak buru-buru begitu?” tanya wanita bernama Sinta itu. “Bukan urusanmu!” Elang berkata dengan nada sinis, membuat gadis itu mendengkus kesal. Lalu, terdengar suara tawa dari sekelilingnya. Elang tak peduli, dia terus melangkah meninggalkan kantor. Setiba di tempat parkir dia langsung naik ke mobilnya dan mengarahkan ke rumah Annora. Jalanan sedikit lengang karena cuaca yang begitu panas. Tak perlu menunggu waktu lama Elang telah sampai di rumah minimalis sederhana. Di halaman tampak ada beberapa bunga dan pepohonan hijau, membuat suasana rumah begitu asri. Elang merasa nyaman saat memasuki halaman rumah berkhas Jawa ini. Pak Hardi, sedang duduk di teras. Kebetulan Pak Hardi memang sudah pensiun dari mengajar, jadi dia hanya di rumah sambil bercocok tanam. Memanfaatkan pekarangan yang ada di rumahnya. Katanya daripada nganggur. Matanya tampak berbinar ketika melihat sang calon mantu datang. Dia menyambut Elang dengan senyum semringah. “Siang Yah.” Elang menyapa Pak Hardi dengan tersenyum, membuat Pak Hardi merasa tidak salah menjodohkan dengan putrinya. “Siang, Nak Elang. Mari duduk. Sebentar Ayah panggilkan Annora dulu, ya?” ucap Pak Hardi sambil tersenyum, lalu melangkah meninggalkan Elang. Pak Hardi pun masuk ke ruang tamu. Pria dengan rambut yang sedikit memutih itu pun melihat putrinya sedang ada di depan laptop. Katanya ada kerjaan yang belum selesai. Meskipun sekolah sedang libur, tapi ada hal penting yang perlu diselesaikan. “Nora, ada Elang di depan. Dia sudah datang menjemput.” Pak Hardi tersenyum menatap putrinya. Annora mendengkus kesal. Wanita itu seperti tak suka dengan kedatangan Elang. Pak Hardi ke belakang, katanya mau membuatkan minum untuk Elang. Annora dengan terpaksa menemui Elang di depan. “Ngapain ke sini, sih, Om?” tanya Annora dengan nada kesal. “Suka-suka gue. Kan, gue calon suami lo!” sentak Elang. Annora memutar bola matanya malas. “Katanya nggak mau nikah sama aku. Gimana, sih, plin plan sekali jadi orang. Nggak punya pendirian sama sekali.” Annora berkata dengan nada sinis. Elang mengepalkan tangannya, sepertinya dia kesal. Namun, ditahannya. Elang harus bisa bersikap manis di hadapan calon istrinya ini. Walaupun dia tak sepenuh hati menerima, tapi semua demi kebaikan dia sendiri. Karena kalau sampai Elang belum juga menikah tahun ini di usia ketiga puluh satu maka dia tidak akan pernah mendapat harta dari orang tuanya. Itulah alasan Elang menemui Annora, dia ingin membicarakan hal penting ini. Lalu, Pak Hardi muncul dari dalam sambil membawa minuman dingin dan satu toples biskuit. “Ayo, Nak Elang silakan diminum.” Pak Hardi lalu duduk di samping Annora. “Terima kasih, Yah. Repot saja. Sebenarnya saya ke sini mau minta izin pada Ayah, mau ngajak Annora pergi, kalau diizinkan.” Elang tersenyum pada Pak Hardi. “Tentu saja Ayah mengizinkan, kan, kalian calon suami istri, jadi harus saling mengenal.” Pak Hardi membuka suara. Annora memutar bola matanya dengan malas. “Ayah, hanya calon. Belum tentu jadi juga,” sahut Annora. Elang langsung menatap tajam Annora. “Kamu, kok, ngomong gitu, sih, Sayang.” Mata Annora seketika langsung membulat. Annora heran karena Elang memanggilnya sayang. Tentu saja Pak Hardi pun tersenyum mendengar Elang tampak menyayangi Annora. “Jadi gimana, Yah? Bolehkah saya ajak Annora makan siang di luar?” tanya Elang sekali lagi. “Tentu saja boleh. Tapi, ini diminum dulu, sayang kalau nggak diminum.” Elang pun mengangguk dan menyeruput jus yang ada di hadapannya. Lalu, Pak Hardi menyuruh Annora untuk bersiap-siap dan berganti pakaian. Annora melakukan dengan malas. Dia seperti curiga pada Elang. Annora yakin pasti ada sesuatu yang diinginkan pria itu jika dilihat dari sikapnya. Annora pun masuk ke kamarnya dan berganti longdress bermotif bunga serta jilbab kurung dengan warna senada. Setelah itu segera keluar menemui Elang. “Sudah, ayo!” ajak Annora. “Wah, udah nggak sabar ini.” Elang tertawa kecil, membuat Annora cemberut. Lalu, mereka pun berpamitan pada Pak Hardi. Di dalam mobil mereka hanya terdiam. Annora terus melihat ke luar jendela mobil. Malas berbicara dengan Elang. “Sampai kapan lo betah nggak ngomong?” tanya Elang menggoda. Annora hanya melirik sekilas. Malas menanggapi. “Sebenarnya kamu mau ngajak aku ke mana? Ada hal penting apa emangnya?” tanya Annora sambil menoleh pada Elang. “Yang jelas tentang masa depan kita.” Elang tersenyum. Annora makin penasaran dengan apa yang akan dibicarakan Elang. “Yang jelas ini tentang kesepakatan dan perjanjian pernikahan kita nantinya.” Elang kembali membuka suara. “Lo tenang aja semua demi kebaikan kita berdua,” lanjut Elang. Annora hanya terdiam dan melirik Elang sekilas. Lalu, kembali melihat ke luar jendela. Entah, apa yang ada di pikiran gadis itu, Annora hanya terdiam. Sesekali menghela napas pelan. Ragu, bimbang, semua jadi satu. Namun, Annora tak bisa menolak perjodohan ini. Dia hanya berharap rencana Elang memang benar-benar untuk kebaikan mereka. Walaupun dia ragu, karena baru mengenal Elang. Mobil terus meluncur, entah mau dibawa ke mana oleh Elang. Annora hanya bisa pasrah. Serta berdoa agar tidak terjadi apa-apa padanya. Annora hanya ingin membahagiakan ayahnya. Sebab, hanya tinggal sang ayah orang tuanya. Annora tak mau mengecewakannya, tak mengapa berkorban perasaannya, yang penting ayahnya bahagia. “Heh, lo kenapa mau aja nerima perjodohan ini? Bukan, karena sebenarnya emang suka sama gue, 'kan?” Elang bertanya sambil menaikturunkan alisnya menggoda Annora. Annora menoleh dan memutar bola matanya dengan malas. “Nggak usah GR, deh! Aku nggak naksir sama kamu. Aku ngelakuin ini semua demi ayah." Annora berkata dengan bersungut-sungut. Elang hanya terkekeh melihat reaksi Annora. "Jangan gitu, deh, entar kalau ternyata lo jatuh cinta sama gue, malu ngakuin." Elang mencebik. “Ish, amit-amit.“ Annora bergumam, tapi masih terdengar jelas di telinga Elang. “Apa kata lo?" tanya Elang. "Nggak, bukan apa-apa," jawab Annora singkat. *** bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN