Elang tidak menuju ke kantor ataupun ke rumahnya, tetapi dia pergi ke rumah Jeny. Kekasihnya itu sudah menunggu dari tadi. Elang pun melajukan mobilnya dengan kecepatan cepat. Akhirnya, tak lama kemudian dia sampai di depan sebuah rumah elit. Rumah bertingkat tiga dengan halaman yang luas. Terdapat taman di halaman depannya juga air mancur. Jeny memang dari keluarga kaya, orang tuanya tinggal di luar negeri, karena bekerja di sana. Mama papanya memiliki karier yang sukses. Jeny hanya tinggal dengan pengasuh dan pembatunya sejak kecil. Sebab, dia tak mau diajak tinggal di luar negeri.
Setiba di di halaman rumah Jeny, Elang pun turun dari mobil. Ketika turun langsung disambut oleh satpam.
“Sore Mas Elang.” Satpam tersebut tersenyum pada Elang dan dibalas dengan anggukan.
Elang langsung melangkah menuju pintu, lalu segera masuk. Ya, Elang sudah biasa masuk rumah Jeny tanpa permisi. Setelah itu dia langsung pergi ke lantai atas di mana Jeny sudah menunggu dari tadi.
“Sayang, sorry lama. Tadi abis nganter Nora pulang ke rumahnya.” Elang langsung mengecup kening Jeny dan disambut dengan bibir yang mengerucut oleh Jeny.
“Eh, jelek tahu kalau cemberut gitu.” Elang mencubit kedua pipi Jeny dengan gemas.
“Abisnya kamu berduaan sama cewek lain.” Jeny tetap mengerucut.
“Salah sendiri diajak nikah nggak mau. Giliran aku mau nikah sama wanita lain ngambek.” Elang menggoda Jeny berharap Jeny berubah pikiran.
“Ya gimana dong, Sayang. Aku, kan, masih belum mau nikah. Masih pengen bebas nikmati hidup.” Jeny tersenyum sambil menggelayut mesra di lengan Elang.
Melihat kekasihnya begitu mesra, Elang langsung mencium bibir Jeny. Mereka berpagutan begitu mesra. Setelah puas mereka pun melepasnya.
“Tapi, dilarang cemburu kalau tahu aku nikah sama cewek lain. Cintaku tetap padamu, tenang saja.” Elang mengusap rambut Jeny dengan mesra.
“Kita tetap berhubungan, kan, Sayang?” tanya Jeny.
“Pasti dong. Tiap hari kamu boleh datang ke rumahku. Setelah nikah aku bakal memutuskan tinggal di rumahku sendiri. Jadi kita bebas bertemu. Aku sama Annora udah bikin kesepakatan. Dan dia nggak berhak ngelarang hubungan kita ini.” Elang tersenyum puas.
Jeny bernapas lega setelah mendengar penjelasan dari Elang. Setidaknya dia bebas berpacaran dengan Elang meskipun kekasihnya sudah menikah. Jeny memang pantas dipertahankan, tidak ada apa-apanya dibanding cewek kampungan itu. Itu yang ada di pikiran Jeny. Jeny tersenyum miring.
“Aku juga bebas dong nyuruh dia ngapain aja kalau pas aku ke sana.” Jeny menatap Elang dengan mesra.
“Bebas Sayang.”
Elang dan Jeny kemudian menghabiskan waktu bersama hingga malam tiba. Mereka bercanda, mengobrol banyak hal hingga lupa waktu. Sampai akhirnya ponsel Jeny berdering. Jeny tampak mengernyit saat melihat layar pipih di tangannya.
“Kenapa Sayang? Kenapa nggak diangkat?” tanya Elang.
“Eh, nggak apa-apa. Biarin aja, nggak penting.” Jeny kemudian mematikan ponselnya, tapi sikapnya berubah. Elang jadi bertanya-tanya.
“Siapa yang telepon?” tanya Elang.
“Bukan siapa-siapa. Bos aku, mungkin tanya masalah kerja, tapi biarinlah. Aku lagi pengen berduaan sama kamu tanpa gangguan.” Jeny mencium pipi Elang, membuat Elang pun tak jadi bertanya banyak.
Namun, kemudian ponsel Elang pun berdering juga. Lalu, dia mengangkatnya.
“Elang! Kamu di mana? Masih aja klayapan malam-malam gini!”
“Eh, iya Ma. Elang lagi di rumah teman.” Elang terpaksa berbohong pada Bu Nani, mamanya, karena pasti kena marah kalau tahu Elang di rumah Jeny.
“Jangan bohong sama Mama!” ancam Bu Nani.
“Nggak Mama sayang. Emang kenapa?” tanya Elang.
“Cepet pulang! Besok kamu harus cari baju pengantin sama Annora!”
“What? Secepat ini Ma?” tanya Elang.
“Lebih cepat lebih baik. Biar kamu cepet ada yang ngatur dan jaga. Udah tua masih suka kelayapan malam-malam gini. Pulang sekarang, atau Mama suruh Annora jemput kamu!” sentak Bu Nani.
“Iya, iya, Elang pulang.”
Lalu, Elang langsung mematikan sambungan teleponnya tanpa menunggu omongan mamanya.
“Mama kamu, Yang?” tanya Jeny.
“Iya, nyuruh pulang. Aku pulang dulu, ya, Sayang. Good night.” Elang mengecup kening Jeny dengan mesra.
“Yah, padahal masih kangen banget, Yang.” Suara Jeny terdengar merajuk.
“Ya gimana lagi, Mama udah marah-marah. Malah kalau nggak pulang mau ngejemput aku,” sahut Elang.
“Ya udah deh, ati-ati. Langsung pulang ya, jangan mampir ke rumah calon istrimu itu.” Jeny mengerucutkan bibirnya.
“Beres Sayang.”
Elang kemudian melangkah keluar rumah. Sampai di luar suasana sudah gelap. Hari memang sudah malam. Setelah menyapa satpam di rumah Jeny, Elang lalu masuk ke mobil dan melakukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ya, saat makan malam Elang sudah harus pulang, itu yang dibilang mamanya tadi. Elang pun hanya menuruti saja. Kata Bu Nani tadi mau ada kejutan spesial malam ini. Entah apa itu.
***
Akhirnya, tak lama kemudian Elang sudah sampai di rumahnya. Saat turun dari mobil matanya membulat sempurna, sebab dia melihat salah satu motor yang begitu familiar.
Bukannya ini motornya Pak Hardi? Kok, ada di sini? Jangan-jangan. Elang langsung segera masuk, sebab perasaannya seperti tak enak. Benar dugaannya saat masuk ke ruang tamu, sudah duduk Pak Hardi dengan papanya. Mereka terlibat obrolan yang begitu seru. Elang pun masuk setelah mengucapkan salam.
“Elang, dari mana saja. Jam segini baru pulang, tadi Papa telepon ke kantor dari sore kamu sudah pulang. Eh, jam segini baru nyampe rumah.” Pak Handoko berkata dengan penuh penekanan.
“Maaf, Pa. Tadi Elang ada urusan di rumah teman. Penting banget.” Elang lagi-lagi berbohong.
“Jangan bilang kamu habis dari rumah Jeny.” Pak Handoko menatap Elang dengan tajam.
Mata Elang melebar saat mendengar perkataan papanya.
“Eh, nggak, kok, Pa.” Elang berusaha menutupi kegugupannya.
“Bagus kalau gitu. Ingat Elang kamu sebentar lagi mau menikah. Jadi harus bisa menjaga perasaan calon istrimu. Besok kalian harus ukur baju pengantin. Karena satu bulan lagi kalian sudah menikah. Lebih cepat lebih baik.” Pak Handoko menatap Elang tajam.
Elang hanya diam. Toh semua kesepakatan dengan Annora sudah ditandatangani Annora, jadi mau menikah kapan pun Elang tak khawatir lagi. Baginya menikah hanya tertulis di atas kertas saja.
“Elang! Cepat ganti baju sana!” teriak Bu Nani saat melihat Elang sudah pulang.
“Iya, Ma,” jawab Elang malas.
Elang sempat melihat ada Annora di samping mamanya. Sepertinya dia sedang membantu Bu Nani menyiapkan makan malam.
“Oh, ini kejutannya? Bukan kejutanlah,” gumam Elang sambil tersenyum miring.
Elang kemudian naik ke lantai atas, ke kamarnya untuk membersihkan diri. Saat memasuki kamarnya, ponselnya kembali berdering. Elang segera mengambilnya, tertera di layar nama “My Sweetie”, Elang pun tersenyum bahagia melihatnya. Dia merasa senang karena Jeny, kekasihnya, tak bisa lama-lama jauh dari Elang. Itu artinya Jeny begitu bergantung pada Elang.
“Halo Sayang,” ucap Elang.
“Sayang gimana? Udah sampai rumah?” tanya Jeny balik.
“Baru aja nyampe, Yang,” jawab Elang.
“Kangen.” Jeny merajuk.
“Sama. Tapi, ntar kita lanjut lagi, ya? Aku mau bersihin badan dulu, Mama udah nunggu mau makan malam.” Elang mencoba membujuk Jeny agar dia tak marah.
“Iya, Sayang. I love you,” ucap Jeny.
“Love you too, Honey.”
Setelah sambungan telepon ditutup, Elang pun segera masuk ke kamar mandi. Setelah itu segera membersihkan dirinya. Sesudah selesai Elang kembali turun ke ruang makan. Di ruang makan sudah menunggu Pak Hardi, Pak Handoko, Bu Nani, dan Annora.
Seperti biasa penampilan Annora sederhana dan tanpa polesan make up, tetapi tetap terlihat cantik. Cantik yang natural. Melihat Elang, gadis itu sedikit salah tingkah. Apalagi saat Bu Nani meminta Elang untuk duduk di sebelah Annora.
“Annora nggak usah tegang gitu. Biasakan duduk di samping Elang, kalian sebentar lagi, kan, udah jadi suami istri.” Bu Nani tersenyum menatap Elang dan Annora bergantian.
Annora hanya diam sambil menunduk, dia tersipu malu. Setelah suasana sedikit mencair, Annora segera meladeni Elang. Dia mengambilkan Elang nasi dan lauknya. Bu Nani yang melihatnya bahagia. Dia merasa cocok menjodohkan Elang dengan Annora. Pak Hardi dan Pak Handoko pun tersenyum bahagia.
“Sebentar lagi saya bakal punya menantu yang cantik, pinter masak, dan pandai meladeni suami.” Pak Handoko menatap Annora dan Elang.
“Betul Pa, nggak salah kita pilih Annora.” Bu Nani membenarkan ucapan Pak Handoko.
Halah, puji aja terus si Annora. Biar makin gede kepalanya. Elang tampak tak senang mendengar Mama dan papanya memuji Annora.
***
bersambung