Annora merenung seorang diri. Dia teringat akan seorang pria yang telah membuat jantungnya berdetak tiap kali berpapasan. Sayangnya pria itu sama sekali tak pernah bersikap ramah pada Annora. Andai saja Pak Johar, pria yang dicintainya, itu yang dijodohkan dengannya mungkin Annora akan menerima dengan senang hati. Sayangnya Annora malah dijodohkan dengan pria yang sama sekali tak dikenalnya. Malah pria itu memiliki seorang kekasih.
Annora menarik napas dalam. Lalu, ponselnya berdering dengan sangat keras. Annora segera mengambil dari dalam tasnya. Tertera di layar sebuah nama yang membuatnya malas mengangkatnya. Om-Om Omes, itulah yang Annora tulis atas nama Elang. Dengan malas Annora pun menggeser tombol berwarna hijau.
“Eh, cewek aneh! Lo ke mana? Bikin orang bingung aja!” sentak Elang membuat Annora berjingkat kaget.
“Eh, kamu nggak bisa ya ngomongnya pelan-pelan gitu? Marah-marah mulu-mulu kerjaannya!” Annora berkata dengan kasar juga pada Elang.
“Ya, gimana nggak marah, lo pergi tanpa pamit. Gimana gue ngejelasin ke bokap lo! Tadi lo pergi sama gue, terus sekarang lo pulang nggak sama gue.”
“Bukan urusan aku itu. Lagian kamu nggak perlu tahu aku di mana!”
Annora pun langsung mematikan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Elang.
“Dasar cewek aneh!” Elang bermonolog sendiri.
Elang pun bingung harus bagaimana. Dia tak mungkin pergi ke rumah Annora seorang diri. Akhirnya, dia pun menelepon Annora lagi. Lama sekali tak diangkat. Tak berapa lama wajah Elang semringah, sepertinya teleponnya diangkat.
“Apa lagi, sih?” tanya Annora dari seberang.
“Lo kasih tahu gue ada di mana! Gue bakal ngejemput lo, lalu nganter lo pulang.” Elang berkata dengan harapan Annora menyebutkan di mana dia berada.
“Kamu nggak perlu jemput aku. Aku bisa pulang sendiri!” sentak Annora.
“Eh, cewek aneh! Gue kayak gini bukan karena apa, tapi karena gue nggak enak sama bokap lo! Gue yang ngajak lo keluar, masak iya gue nggak nganterin lo pulang!” Elang bersungut-sungut.
Annora menghela napas dalam. Dia masih ingin menenangkan diri, malas untuk pulang.
“Eh, lo nggak denger?”
“Aku masih pengen menyendiri! Udahlah, nggak usah anter aku pulang!”
“Ngeyel amat sih jadi cewek! Gue nggak mau buruk di mata bokap lo! Cepet sebutin di mana lo sekarang! Setelah itu gue anter lo pulang! Gue harus balik ke kantor!” sentak Elang.
Akhirnya, dengan terpaksa Annora menyebutkan tempat favoritnya. Tempatnya merenung dan menyendiri. Tempat rahasia Annora yang sebentar lagi diketahui Elang. Tempat di atas bukit, di mana dari atas bukit Annora bisa melihat pemandangan alam yang begitu indah. Di sekeliling bukit pepohonan hijau terlihat begitu asri. Udaranya yang sejuk membuat jiwanya bisa tenang. Sungguh tempat ternyaman untuk Annora.
***
Di tempat lain, Elang ngomel-ngomel sendiri tak jelas. Dia menyesal karena mengajak Annora pergi untuk membuat sebuah kesepakatan. Elang juga tidak menyangka akan bertemu dengan Jeny, kekasihnya, sehingga membuat Jeny marah dan cemburu. Elang harus memberi alasan yang masuk di akal, agar diterima oleh Jeny.
Ya, Elang memang tidak mungkin memutuskan hubungan dengan Jeny, sebab dia begitu mencintai Jeny. Ingin mengajaknya menikah, tetapi Jeny menolak, alasannya Jeny masih ingin menikmati kesendirian dan kebebasan. Saat Elang mengatakan kalau orang tuanya akan menjodohkan dengan wanita lain, Jeny pun tak keberatan. Namun, dengan syarat mereka tetap berhubungan. Yang terpenting bagi Jeny, hati dan cinta Elang hanya untuk Jeny. Elang pun tak habis pikir dengan jalan pikiran Jeny.
Cinta Elang memang hanya untuk Jeny. Jadi, dia pun memutuskan menikah dengan Annora hanya untuk memenuhi ambisi kedua orang tuanya. Toh, dia masih bisa terus berhubungan dengan Jeny. Annora harus menerimanya, karena mereka hanya menikah sebagai formalitas saja. Hati pun tak saling mencintai. Dan Elang yakin semua akan berjalan baik-baik saja. Bahkan, sama-sama untung, Annora akan mendapat jaminan hidup dari Elang dan tidak menjadi anak durhaka karena menolak perjodohan dari ayahnya. Sementara Elang merasa untung, karena akan ada yang melayani semuanya, itung-itung tak perlu sewa pembantulah. Mereka akan tinggal di rumah Elang, jadi tak akan ada yang tahu kalau Elang tetap berhubungan dengan Jeny. Elang pun tersenyum puas dengan apa rencananya.
Elang pun mengendarai mobilnya dengan laju yang kencang. Dia ingin cepat sampai di tempat Annora, lalu segera bertemu dengan kekasih tercintanya. Elang tak mau Jeny marah padanya.
Akhirnya, tak lama Elang sampai di tempat Annora. Elang melangkah menuju tempat Annora duduk. Kemudian, dia mengambil duduk di dekat Annora.
“Ngapain pakai kabur dari rumah gue segala? Jadi repot nyarinya?!”
Annora langsung menoleh dan menatap Elang dengan tajam.
“Siapa yang nyuruh kamu nyari aku?” Annora berkata dengan begitu santai.
“Gue nggak enak sama bokap lo, kalau nggak nganter lo pulang. Setidaknya nama gue baik di mata bokap lo.”
Annora memutar bola mata malas mendengar omongan Elang.
“Dasar carmuk!” sentak Annora.
“Udahlah, gue anter lo pulang sekarang!” Elang berdiri, kemudian menarik tangan Annora dengan kasar.
“Eh, apaan sih, main tarik aja!” Annora bersungut-sungut.
Elang tak memedulikan kata-kata Annora. Dia terus menarik Annora. Annora pun mendengkus kesal. Elang tak peduli dengan kekesalan Annora, karena baginya yang paling penting mengantar Annora pulang, lalu menemui Jeny, kekasihnya. Dari tadi ponselnya berdering, tetapi tidak diangkat oleh Elang. Elang tak mau mendengar omelan dari Jeny.
“Ponsel kamu berisik itu, kenapa nggak diangkat?” tanya Annora.
“Suka-suka guelah. Ponsel-ponsel gue!” sungut Elang.
“Iya, tapi berisik!”
Elang tak peduli. Dia terus melangkah menuruni bukit, mau tak mau Annora pun mengikuti. Setelah sampai di bawah, mereka segera masuk ke mobil. Lalu, Elang pun melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.
Di dalam mobil mereka saling terdiam. Seolah-olah semua larut dengan pikiran masing-masing. Annora terus melihat ke luar jendela mobil. Lalu, dia bernapas lega saat memasuki halaman rumahnya. Mobil berhenti, Elang segera keluar dan membukakan pintu untuk Annora.
“Halah, dasar carmuk! Mentang-mentang ada Ayah di teras!” Annora mencebik.
“Biarin! Yang penting bokap lo sayang ke gue.” Elang tersenyum miring.
Saat Annora turun dan Elang hendak menggandeng tangan Annora, ditepisnya dengan kasar. Elang melotot ke arah Annora.
“Nggak boleh pegang! Bukan muhrim m!!” sentak Annora.
Elang menelan ludah dan tersenyum kecut. Hatinya merasa tertohok. Sebab selama ini dia tak hanya berpegangan saja dengan kekasihnya, tetapi lebih dari itu. Walaupun masih dalam batas wajar. Namun, Elang segera menepis rasa bersalahnya. Dia berjalan mengikuti Annora yang sudah lebih dulu.
“Assalamualaikum Ayah.” Annora lalu mencium tangan ayahnya yang sedang duduk di teras.
Pak Hardi tersenyum melihat kedatangan Annora dan Elang. Elang pun melakukan seperti yang dilakukan Annora.
“Maaf Om sampai sore,” ucap Elang.
“Nggak apa-apa. Kan, untuk saling mengenal, nggak masalah buat Om,” sahut Pak Hardi.
“Loh, Annora kok malah duduk di sini, buatkan calon suamimu minum sana!” perintah Pak Hardi.
Annora memutar bola mata malas. Malas rasanya ketika harus membuat minuman untuk calon suaminya yang sama sekali tak punya hati itu.
“Nggak apa-apa Om. Biarin aja, Annora pasti capek, lagian saya juga mau langsung pulang, masih mau ke kantor dulu Om.” Elang tersenyum.
Annora pun tersenyum miring. Bilang aja mau ketemu Jeny! Annora berucap dalam hati. Entah kenapa seperti ada yang berdenyut nyeri saat membayangkan pertemuan Elang dengan pacarnya. Namun, dia segera menepis rasa sakit itu.
“Ya, udah saya pulang dulu, Om.” Elang berdiri dan mencium tangan Pak Hardi.
Setelah itu dia mengulurkan tangannya pada Annora. Annora menyambutnya dengan malas dan wajah ditekuk.
“Jangan sedih, dong, Sayang, besok kita ketemu lagi,” goda Elang membuat Annora melotot tajam.
Melihat ekspresi Annora yang lucu membuat Elang tertawa, begitu juga dengan Pak Hardi.
“Yey, siapa yang sedih?” tanya Annora sambil menepis tangan Elang. “Belum boleh pegangan tangan!” sentak Elang.
“Ups, sorry. Ya udah gue balik dulu.”
“Permisi Om,” pamit Elang sambil menundukkan badan pada Pak Hardi. Pak Hardi hanya mengangguk dan tersenyum.
***
bersambung