Ide Gila Elang

1107 Kata
Mata Annora membulat sempurna saat mobil meluncur ke sebuah rumah mewah, bertingkat 2. Rumah tersebut tertata dengan rapi di bagian teras dan halamannya. Namun, yang membuat Annora heran rumah itu seperti kosong tak berpenghuni. Rumah siapa ini? Annora hanya bertanya-tanya dalam hati. Sementara Elang sudah bersiap-siap untuk turun. “Hei, ngelamun aja kerjaannya! Udah sampe! Turun!” perintah Elang. Annora berdecak kesal saat mendengar Elang memerintah dengan seenaknya sendiri. Lalu, dia pun turun dengan mengomel. “Cewek emang bisanya cuma ngomel.” Elang terdengar bergumam, tapi masih bisa didengar. “Apa kamu bilang?” tanya Annora dengan kesal. “Nggak ada. Udah diem, ikut gue!” ajak Elang. Annora pun tanpa banyak bicara langsung mengikuti Elang. Dia masuk ke rumah mewah berlantai dua itu. Saat masuk ke dalamnya Annora dibuat terkagum. Rumah ini begitu mewah dan besar. Interior di ruang tamu benar-benar mewah, meja kursi terbuat dari bahan mahal. Sungguh membuat mata Annora membulat sempurna. Matanya pun melihat ke sekeliling, sungguh seperti istana. Ini rumah atau istana? Kenapa dibiarkan kosong? Annora hanya bertanya dalam hati, karena ingin bertanya pada Elang dia gengsi. “Napa bengong lo?” tanya Elang mengagetkan Annora. “Eh, nggak,” jawab Annora dengan gugup. “Lo, nggak mau tahu ini rumah siapa?” tanya Elang lagi. “Emang rumah siapa?” tanya Annora. “Rumah kita.” Elang menjawab dengan santai. Annora mengernyitkan dahi. “Rumah kita? Hei, apa maksudmu? Kenapa rumah kita?” Annora menatap Elang dengan tajam. “Ya, sementara waktu, selama gue belum nikah sama Jeny.” Elang menjawab dengan enteng. Annora makin mengernyit. Dia menatap Elang tajam. Dia tak mengerti dengan jalan pikiran Elang. “Sebenarnya rumah ini hasil dari tabungan gue, dan nanti bakal gue tempati kalau udah nikah dengan Jeny. Cuma ternyata orang yang bakal nempati rumah ini pertama kali lo, bukan Jeny.” Elang tersenyum miring. “Tapi, cuma sementara. Setelah nanti gue nikah sama Jeny, ya, rumah ini bakal jadi milik gue dan Jeny.” Elang tersenyum tipis. “Sebentar, aku nggak ngerti dengan jalan pikiran kamu. Maksudnya apa coba? Nanti setelah kamu nikah dengan Jenny, rumah ini bakal jadi rumah Jeny. Tapi, sementara bakal jadi rumah kita. Maksudnya gimana? Coba jelasin ke aku.” Annora menatap Elang dengan tajam. “Ya, karena niat awal gue bakal nikah dengan kekasih gue tercinta. Ternyata ortu gue ngejodohin gue sama lo. Ya, sebenarnya mereka bakal ngebatalin perjodohan ini, kalau dalam waktu dekat ini gue bawa calon istri pilihan gue.” Elang terdengar menghela napas dalam. “Ya, terus kenapa nggak kamu bawa si Jeny pacar kamu itu?” tanya Annora dengan mengernyit. “Jeny, belum siap nikah. Dia nggak mau nikah dalam waktu dekat ini. Jadi, ya terpaksa gue nerima perjodohan ini. Jeny baru siap empat tahunan lagi, sedangkan ortu gue maunya gue nikah secepatnya. Otomatis ortu gue nyuruh gue ninggalin Jeny. Tapi, nanti setelah Jeny siap ya gue bakal nikah sama dia. Dan kita udahan.” Elang menjawab dengan begitu enteng. Annora mengernyitkan dahi. Berarti Elang hanya ingin mempermainkan yang namanya pernikahan? Padahal, pernikahan ini sakral dan aku berharap hanya menikah satu kali seumur hidup. Batin Annora. “Jadi, sementara kita tinggal di sini. Ya, anggap aja rumah sendiri. Kita nggak akan tinggal sekamar, tenang aja. Gue nggak bakal urusin masalah pribadi lo, sebaliknya lo juga nggak boleh urus privasi gue. Gue bakal tetap berhubungan sama Jeny, bahkan ya gue bakal ajak Jeny ke rumah ini. Dan lo nggak boleh protes, karena status kita cuma di atas kertas, tapi masalah perasaan dan cinta gue tetep ke Jeny.” “Gila kamu, ya? Pernikahan kamu permainkan?” Annora tampak geram. “Ya, terserah, kalau lo nolak kesepakatan ini, ya silakan. Gue nggak maksa. Toh, lo katanya juga nggak bisa nolak permintaan ayah lo, ‘kan?” tanya Elang. Annora hanya bisa diam. Dia merenung. Annora memang tak bisa menolak permintaan sang ayah. Dia tak mau membuat ayahnya sedih. Namun, apa jadinya nanti kalau di pertengahan pernikahan mereka bercerai? Bukankah akan lebih menyakitkan buat ayahnya? Annora terdengar menghela napas panjang. “Gimana? Gue bakal ngejamin hidup lo. Tenang aja gue bakal kasih nafkah ke lo. Di sini ruangannya banyak, kamar nggak cuma satu. Lo bebas mau pilih kamar yang mana.” Elang menatap Annora dalam. “Aku pikir-pikir dululah.” Akhirnya itulah yang keluar dari mulut Annora. “Ok. Sekarang lo bisa lihat keadaan rumah ini. Anggap aja rumah sendiri.” Setelah berkata seperti itu, Elang pun melangkah ke halaman belakang. Lalu, terdengar ponselnya berdering. Elang tersenyum tipis saat melihat layar benda pipih di tangannya. Kemudian, dia menggeser tombol berwarna hijau. “Iya, Sayang. Ada apa?” tanya Elang. “Kamu di mana? Jangan bilang sedang berduaan dengan wanita tadi!” Suara manja seorang perempuan terdengar di seberang. “Kamu tenang aja, aku nggak macem-macem, kok, Jeny sayang. Ini lagi bikin kesepakatan buat pernikahan kami nantinya.” Elang meyakinkan sang kekasih supaya tidak cemburu. “Kamu beneran mau nikah sama wanita itu?” Jeny terdengar merajuk. “Ya, gimana lagi. Kamu nggak mau aku ajak ketemu orang tuaku.” “Ya, kan, aku belum mau nikah. Aku masih ingin menikmati masa lajang. Kalau udah nikah entar dituntut punya anak dan ngurus keluarga. Aku masih belum siap, aku masih mau kerja dan lain-lain.” “Padahal, meskipun udah nikah, tetap kubolehin kerja lo,” kata Elang. “Tapi, bakal beda Sayang.” “Ya udah, kalau gitu jangan cemburu kalau aku nikah sama wanita lain. Orang tua aku udah nuntut aku buat nikah sekarang. Mereka udah ngejodohin aku dengan anak dari teman mereka.” Elang meyakinkan Jeny. “Ya asal kamu nggak beneran cinta sama dia.” “Iyalah, cintaku hanya untukmu.” Elang tersenyum tipis seolah-olah sedang berhadapan dengan kekasihnya. Tanpa Elang sadari, Annora berdiri di balik pintu mendengar omongan Elang. Matanya tampak berkaca-kaca. “Bagaimana mungkin aku menikah dengan pria yang nggak mencintaiku? Bahkan dia punya seorang kekasih dan masih saling mencintai. Lalu, mereka akan tetap bersama meskipun kami nanti sudah menikah.” Annora bermonolog. Annora menghela napas dalam. Lalu, dia pun keluar dari rumah itu dengan linangan air mata. Annora mencari taksi, dia pulang tanpa pamit pada Elang. Air matanya menetes. “Haruskah aku menolak perjodohan ini? Tapi, bagaimana dengan Ayah? Beliau sangat berharap aku menikah dengan anak dari sahabatnya. Ayah, apa yang harus Annora lakukan?” Annora terus bermonolog. Annora terus melamun sambil menunggu taksi lewat. Akhirnya, tak berapa lama taksi pun lewat. Annora segera masuk dan menyebutkan alamat tujuannya. Bukan rumahnya yang dituju. Annora pergi ke tempat yang sangat asing. Dia ingin menyendiri, meluapkan segala gundahnya di tempat yang sepi. Sebuah bukit yang selalu menjadi tempatnya menenangkan diri jika sedang bersedih. Kali ini entah kenapa Annora merasa sangat bersedih sekali, terutama saat mengetahui kalau ternyata Elang memiliki seorang kekasih. Dia pikir, Elang seorang yang jomlo. “Maaf Neng, sudah sampai.” Ucapan sang sopir mengagetkan Annora. “Eh, iya, Pak. Terima kasih.” Annora kemudian turun dan memberikan ongkos pada sang sopir. Setelah itu Annora pun naik ke atas bukit. Dia berjalan sambil melihat pemandangan yang indah di kanan kiri bukit. *** bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN