Prolog
Luka yang kau torehkan itu, telah membekas di hati. Tapi, aku bisa menutupinya dengan senyumku.
Aku melihat sosok pria tegap berdiri di hadapanku dengan senyuman yang selalu membuat jantungku berdetak dengan kencang, mengalahkan detakan jarum jam. Dia adalah cinta pertamaku yang selalu membuatku tersenyum karena tingkahnya yang lucu. Dan pria itu juga orangnya baik dan menyenangkan. Maka dari itu, aku sungguh mencintai dirinya.
"Selamat pagi, Via." Sapanya lalu mengamit tanganku.
Dia adalah satu-satunya orang yang memanggilku, Via. Dalam keluargaku sih memanggilku dengan panggilan Dira atau tidak Andira.
Aku pernah bertanya pada pria dihadapanku kenapa dia memanggilku Via? Alasannya adalah karena itu adalah panggilan sayangnya kepadaku. Aiiihh... Romantis.
Aku tersenyum, "selamat pagi juga, Kak Fariz."
Yap, nama pria dihadapanku adalah Fariz, nama lengkapnya Alfarizi Arsyad Pratama. Dulu aku suka sama dia dengan cara diam-diam, tapi kenyataannya cintaku terbalas. Aku duduk di kelas 3 SMP sedangkan Fariz kelas 2 SMA. Aku memanggilnya hanya Fariz kadang juga memanggilnya Kak Fariz. Awal dari Kak Fariz mengetahui perasaanku itu di saat aku sedang curhat dengan Namira, sahabatku saat kami berada di kantin. Bukan Kak Fariz saja yang mendengar percakapan antara aku dan Namira, namun, geng Kak Fariz juga mendengar percakapan kami. Dan geng Kak Fariz bila melihatku dengan tidak sengaja, mereka hobi sekali mengolokku dengan sebutan ‘jodoh Fariz’.
"Baiklah, aku antarkan kamu ke kelas ya,"
Aku mengangguk dengan antusias membuat Kak Fariz mengacak rambutku. Sepanjang koridor kami melangkah, tatapan memuja dari siswi di sini melihat ke arah Kak Fariz. Aku sih biasa saja, toh, Kak Fariz juga tidak menanggapi tatapan memuja dari siswi di sini. Terkadang dari tatapan gadis lainnya menatapku sinis.
"Tumben kamu diam, Vi, kenapa? Lagi ada masalah?"
Aku menggelengkan kepalaku. Masalah sih gak ada, yang ada malapetaka yang datang kepadaku. Itu tuh abang sablengku satu itu. Dia selalu mengusik hari-hariku. Masa tiap hari aku harus basa-basi pada Kak Rasya untuk mendapat bagaimana kabarnya. Gezzz.... Kak Raka memang menyusahkan. Kalau aku gak mau melakukannya, ancamannya adalah aku gak akan di antar-jemput oleh kak Raka. Ish, alasan gak bermutu!
"Via, ngelamun aja nih!" Gerutu kak Fariz dihadapanku. Aku nyengir kuda.
"Kenapa kak?"
Kak Fariz berdecak sebal, lalu tangannya mengacak-acak rambutku, lagi. "kamu ini, ini sudah di depan kelasmu, daritadi kamunya ngebengong aja kayak orang oon. Sudah sana masuk!" Usirnya yang bikin aku jengkel. Masa dia bilang aku oon sih? Ck.
Aku merengut kesal, "terserah, deh!"
Aku melepaskan kaitanku di lengannya. Lalu masuk ke dalam kelas. Gara-gara memikirin Kak Raka, aku jadi ketahuan bengong, kan.
"Via! Ck, ngambek lagi, kan." Gumamnya.
Masih kudengar Kak Fariz menggerutu, aku tersenyum. Sebenarnya sih gak ngambek. Kan dia sendiri yang nyuruh aku masuk ke dalam kelas.
♥♥♥
Bel pulang sekolah berbunyi, aku memasukkan peralatan belajarku ke dalam tas.
"Dira, yang jemput lo, abang lo yang ganteng itu, kan?" Tanya Namira, teman sebangku-ku yang tiap hari bahasnya selalu Kak Raka, maaf sekali Namira, tapi Kak Raka tidak akan pernah respon sama cewek lain kecuali Kak Rasya. Cinta pertama dia yang tak kesampaian. Miris.
"Iya, Nam, memangnya kenapa?" Tanyaku.
Namira nyengir kuda kearahku, "hehe gak ada Dir, cuma mau bilang, titip salam aja sama abangmu yang cakepnya kayak Logan Lerman itu ya, bilang kalau Namira akan selalu menunggu Kak Raka tercinta..." ujarnya lebay.
"Iya deh iya, gue duluan ya Nam, takutnya Kak Raka udah lama nunggu." kataku lalu bangkit dari bangku yang ku duduki.
Namira mengangguk, "sip... jangan lupa kirim salamnya ya," pesannya.
Aku hanya mengacungkan jempolku lalu keluar dari kelas.
Saat aku tiba di parkiran, ternyata mobil Kak Raka belum datang, aku memutuskan untuk ke perpustakaan dulu untuk mengembalikan buku yang ku pinjam kemarin.
Saat di koridor menuju perpustakaan, aku melihat Kakek sedang berjalan sambil menatap sekitar sekolah.
"Siang Pak kepsek," kataku disertai dengan kekehan.
Pak Tisna Anderson --menjabat sebagai kepala sekolah serta Kakek dari Papi--menatapku sambil tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Kamu ya, senang sekali mengganggu kakekmu." Ucap kakek, sambil mengusap kepalaku dengan sayang.
"Lha, emang Kakek kepsek kan?" candaku membuat Kakek mengelus kepalaku lalu berdecak gemas.
"Iya, cucuku, jadi kenapa kamu belum pulang? Yang lainnya sudah pada pulang kok kamu masih keluyuran di sini?" Tanya Kake.
"Itu, Kak Raka belum datang, Dira mau mengembalikan buku pinjaman dari perpus kemarin," ucapku manja lalu mengamit lengan Kakek.
Kakek hanya tersenyum mklum karena melihat tingkah manjaku yang tidak pernah hilang jika berdekatan dengan Kakek. Terkadang aku suka membuat Nenek cemburu sih. Kalau nenek cemburu kata kakek harus diberikan bunga mawar putih. Agar nenek tidak ngambek lagi. Dih... Nenek mah mengambil kesempatan dalam kesempitan namanya. Tapi aku tahu, nenek hanya pura-pura cemburu kepadaku dan kakek.
"Oh ya? Baguslah, ternyata cucu Kakek rajin membaca, nanti kamu saja ya yang jadi kepala sekolah di sini. Dan nanti Kakek akan kasih sekolah ini menjadi milik kamu," kata Kakek sambil mencium pipiku dengan sayang.
"Beneran kek?!" tanyaku dengan binar bahagia.
Kakek mengangguk, "iya sayang, sudah sana ke perpus kembalikan bukunya, nanti Kak Raka keburu datang," kata Kakek.
Aku mencium tangan kakek tak lupa mencium pipi kakek, "yasudah, bye Kek..."
Aku masuk kedalam perpus mengembalikan buku yang aku pinjam tadi, setelah itu aku mau menuju ke arah parkiran. Saat tiba di ruangan musik, aku menghentikan langkahku. Aku mendengar suara seperti suara Kak Fariz.
"Fariz, coba deh loe hitung sudah berapa lama loe pacaran sama Andira?" tanya salah satu cowok. Aku gak tahu suara siapa, dan aku coba menguping kembali. Sebenarnya sih gak niat nguping, tapi cuma penasaran aja apa yang mereka omongin di ruang musik. Apalagi ruang musik di sekolah Anderson International School sangat sepi.
"Kayaknya sih gue udah lima bulan pacaran sama dia, kenapa?"
Nah, itu suara Fariz. Syukurlah kalau dia ingat seberapa lamanya hubungan ini. Walaupun hanya lima bulan, tapi bagiku itu adalah waktu yang sangat lama.
"Loe lupa apa motif loe pacarin dia itu karena apa?" tanya salah satu teman Fariz.
Motif? Apa motifnya?
"Oh, itu... Gue masih ingat! Mana, sini rolex loe Ryan, dan buat loe Dave, gue minta em... Salah satu mobil mewah loe, nanti kita tukaran mobil, gimana?"
"Ayo, gue kasih loe Porsche, dan loe gue mau mobil sport loe yang Lamborghini, oke!" Itu suara Dave salah satu sahabatnya Fariz. Aku memikirkan sesuatu, ada apa dengan jam Rolex dan mobil Porsche? Seketika pikiranku langsung mengerti apa dibalik semua ini.
Apakah ini yang dinamakan taruhan?
Taruhan?!
Astaga! Jadi Fariz mempacariku karena sebuah taruhan?! Jadi... perhatian dia selama ini hanya kepalsuan belaka? Lima bulan yang berarti bagiku ini adalah sebuah murni permainannya dan ide dari teman-temannya juga?
Sungguh, aku tidak memercayai ini semua. Dari kebaikan yang Fariz berikan itu hanyalah kepalsuan belaka. Lima bulan yang kita lalui hanyalah permainan darinya untukku. Hanya demi sebuah barang mewah. Dia sungguh luar biasa sampai-sampai aku membencinya.
Air mataku jatuh... rasanya sakit... kenapa dia --cinta pertamaku-- yang aku kagumi jadi seperti itu? Aku tulus mencintainya, sedangkan dia? Kasih sayang yang dia berikan itu palsu agar taruhannya berhasil.
Tiba-tiba mereka keluar dari ruangan musik, aku melihat Fariz merangkul cewek lain. Setahuku sih yang dirangkul dia itu teman sekelasnya. Dasar nyebelin! Aku benci Kak Fariz.
"Andira? Kenapa kamu belum pulang?! Kamu dari tadi... di sini?!"
Wajah sok polos Fariz yang menjijikkan itu ingin aku sobek-sobek! Apalagi wajahnya menatapku horror, seperti ia ketahuan selingkuh, sadar apa yang ia rangkul karena sedari tadi aku melihat tangannya yang masih menempel di pundak gadis itu, lalu dengan cepat ia melepaskan rangkulannya di pundak gadis tersebut.
Perlahan teman Fariz keluar, mereka menatapku shock. Wajah mereka berubah menjadi pucat pasi, apalagi saat mereka melihat mataku yang sembab karena menangisi pria seperti Kak Fariz.
Ternyata yang di dalam ruangan musik ada Kak Fariz, Dave, Ryan dan cewek yang tadi dirangkul Kak Fariz.
"Iya, aku daritadi... di sini." Kataku memasang wajah datar.
Aku tidak mau histeris karena mendapat kenyataan pahit kalau aku ini adalah sebuah taruhan yang bisa mendapatkan jam tangan Rolex dan mobil Porsche. Di depan mereka, aku memasang topeng kalau aku baik-baik saja. Tapi nyatanya, aku sedang tidak baik.
"Aku, pergi. Selamat bersenang-senang," kataku datar. Lantas aku pun pergi, tapi sebelumnya aku menghentikan langkahku, "dan aku mau kita putus!" Kataku pada akhirnya.
Tidak... Sebenarnya aku tidak mau putus. Aku masih cinta sama Fariz. Perjalanan cinta kami, eh maksudku perjalanan taruhan Fariz telah habis lima bulan.
Aku melangkah lebar agar bisa jauh-jauh dari sana. Haruskah aku membenci orang yang aku cinta? Apakah aku bisa melupakan dia? Ya, aku harus melupakannya. Aku bukanlah perempuan bodoh. Kak Fariz sungguh menjijikkan.
"Viaaa...."
Itu... suara teriakkan Fariz memanggil namaku. Tidak! Aku tidak mau melihat wajah Fariz. Dia... Dia yang mengisi relung hatiku, dan merusaknya tepat di ulu hati.
Tiba-tiba tanganku dicekal, "aku mohon dengar penjelasanku, Via!" Mohonnya, seraya menatapku dengan memelas.
"Lepas, Fariz! aku gak mau dengar penjelasan apapun darimu!" Air mataku merembes di pipi. Aku menghapus air mataku dengan gerakan cepat.
"Via..."
"Stop! Jangan memanggilku Via lagi."
Fariz menatapku lekat, "tapi, aku gak mau putus sama kamu, Via!"
Aku juga tidak mau putus, akan tetapi, rasa sakit yang dia torehkan membuatku menutup hatiku untuknya. Aku yakin sekali bahwa sekarang, Kak Fariz dalam hatinya kegirangan karena dia bisa mendapat Porsche dan jam Rolex. Hei, siapa sih yang tidak mau mobil mewah bermerek Porsche dan jam tangan Rolex?! Hanya orang bodohlah yang menolak kedua benda tersebut.
Tidak mau putus dia bilang? Dasar buaya, lalu perempuan yang dia rangkul tadi bagaimana?!
"Tapi aku mau putus!" Ucapku dengan mantap, lalu berlari ke arah parkiran. Semoga kak Raka sudah ada di parkiran. Karena aku tidak mau melihat wajah Kak Fariz lagi. Walaupun nantinya kami bakalan bertemu dengan tidak sengaja di sekolah. Kak Fariz? Aku sudah tidak sudi memanggilnya lagi dengan sebutan ‘kak’.