9. Baik Buat Orang Lain

1229 Kata
BAHAGIA SETELAH BERPISAH 9. ** "Kamu mau beli apa dengan uang sepuluh juta?" tanya Mas Hamdan saat aku sedang di kamar dan menggendong anakku sekaligus mengambil tas. "Apa sih kamu, uang itu buat Fatih," kataku mencebik padanya. "Yun, aku sebenarnya butuh uang buat modal usaha. Kapan-kapan aku bisa pinjam ya. Nanti kalau usahaku berjalan lancar dan uang nya kembali banyak ke kamu," dia mendekati dan duduk di kasur. Aku menatapnya tajam, Mas Hamdan benar-benar keterlaluan. Bila aku ada uang maka dia akan sibuk untuk menguasai. "Gak bisa. Fatih mau khitan dan aku mau buat acara untuknya sekaligus buat biaya sekolahnya!" kudengar Mas Hamdan menarik napas panjang. "Kan bisa di alokasikan buat aku dulu, untuk modal usaha kita." Aku tertawa sinis mendengar ucapannya. "Modal usaha kita? Kapan kamu melibatkan aku dalam masalah uang, Mas. Kenapa kamu begitu sibuk saat aku dan anakku dapat rezeki lebih. Apa pernah kamu ngasi duit buat dia atau kamu lebihkan buat aku!" "Jadi kamu gak ngasi?!" Dia justru terlihat marah. "Tidak. Karena sudah aku katakan buat acara Fatih!" "Dasar pelit kamu!" "Maling teriak maling. Kamu kali yang pelit." sergahku dan dia berlalu begitu saja. Aku dan Fatih sudah siap berangkat. Kebetulan sekali Mas Hamdan sudah di depan dan membuka mobilnya. "Kami boleh sekalian ikut ke depan, Mas?" tanyaku berbasa basi ingin mengetahui respon nya. "Enak aja, mobilku baru saja di cuci. Naik bus aja kayak biasa," katanya menaikkan bibirnya sinis. "Setelah kamu beli mobil. Aku baru sekali diajak naik, itupun karena Sesil sakit. Fatih bahkan gak pernah. Tega sekali, sih. Kamu, Mas." Lirihku padanya. Aku melakukan itu hanya ingin tahu perasaan kasihan nya pada kami. "Kamu dengar gak sih kalau mobil baru di cuci dan bisa kotor. Aku harus taruh parfum lagi setelah kalian naik. Manja banget, udah sana naik angkutan aja!" Hardiknya ke kami. Aku menatapnya tajam. "Oh, baiklah, Mas. Aku dan Fatih terima ini. Suatu saat aku bisa naik mobil dan kamu yang ngemis seperti aku!" "Hahaha ... Mau beli pakai apa? Duit sepuluh juta? Mimpi kamu," katanya mengejekku. Aku menggandeng tangan anakku berlalu darinya. Aku berjalan perlahan hendak ke depan dan Mas Hamdan dengan sengaja menekan klakson agar kami minggir. Benar-benar keterlaluan, aku merasa muak dengan sikapnya. Aku sudah memberinya kesempatan tetapi Mas Hamdan tak pernah melihat kesempatan yang aku beri. Tinggallah aku bertindak. Setelah sampai di depan, aku segera menghubungi Rosita. Dia berkata kalau sudah dekat. Mobil silver kami datang dan aku masuk beserta anakku. Sesil aku letakkan di Stoller bayi dengan sabuk pengaman agar dia bisa duduk santai. Kami melaju untuk mengantar Fatih lebih dulu. Setelah sampai anakku itu mencium tanganku. Aku menyemangati agar dia rajin belajar. Dia keluar dan melambaikan tangannya sebentar sebelum masuk kelas. "Apa jadwal kita hari ini, Ros?" tanyaku ke Rosita, dia bisa dikatakan sekretarisku dan asistenku juga. "Mbak ada pertemuan buat membahas kerja sama orderan baju kemeja pria dengan perusahaan tekstil, terus Mbak mau belajar naik mobil." Aku mendengarkan. Aku teringat janji dengan Pak Irsyad, pria yang pernah tak sengaja ku tolong saat aku berada di Hongkong dulu. Dia ternyata memiliki usaha tekstil. Saat aku bertemu dengannya di showroom tempo hari. Aku dan dia sedikit bernostalgia hingga membicarakan bisnis. Dia menawarkan kerja sama padaku katanya akan memberikan harga bagus untukku. Tentu saja aku menerimanya karena tawarannya Insya Allah bisa menguntungkan ku. "Atur saja pertemuan itu, Ros." "Siap, Mbak," ujar Rosita. Aku menyandarkan diriku di bangku belakang mobil silver. Sungguh nyaman. Mas Hamdan boleh mengejekku namun dia gak tahu seperti apa diriku. "Rita, berhenti sebentar!" ucapku saat aku melihat penampakan mobil Mas Hamdan. Rasa kesal langsung menguap kepermukaan, bagaimana tidak aku melihatnya sedang berbicara dengan Mbak Lia. Mbak Lia tetangga kami tak terlalu jauh dari rumah. Yang sering di puji nya karena janda cantik, bisa menghasilkan uang sendiri dan pekerja kantor. "Ada apa, Mbak?" tanya Rita heran. "Iya, ada sesuatu yang penting, Mbak?" Rosita menimpali. "Ros, aku mau kamu kesana dan bawa kamera. Aku mau dengar percakapan mereka," kataku memandang tajam suamiku. Dia sepertinya sedang melihat-lihat mobil Mbak Lia. Aku menunjuk ke arah luar dan Rosita serta Rita sudah paham. "Boleh saja, Mbak. Tetapi alasan apa aku ke sana. Nanti suami Mbak curiga," "Bawa brosur, Ros. Brosur toko kita. Kamu tawarkan saja pada Mbak Lia tak perlu ke Mas Hamdan. Bawa juga kemera dengan tongsis." "Baik, Mbak," kata Rosita. Rita membantu memasang agar kamera Rosita terhubung ke gawaiku. Setelah terpasang Rosita turun sesuai instruksi ku. Aku memperhatikan dari dalam mobil apa yang di kerjakan suami dengan Mbak Lia. "Hai, Mbak kami sedang promosi dan boleh Mbak mampir ke toko kami. Ada diskon harga bervariasi." Rosita mulai berakting dan mendatangi Mbak Lia dan Mas Hamdan. Mbak Lia melempar senyum tipis ke Rosita dan menerima brosur. "Terima kasih," ucapnya. "Iya, Mbak, sama-sama. Kenapa dengan mobil Mbak nya?" tanya Rosita tetap dengan kamera menyala dan aku terus memantau. "Mogok Mbak." "Oh, mogok toh, kasihan Mbak nya pasti mau pergi kerja ya, Mbak?" tanya Rosita berbasa basi. Sementara Mas Hamdan masih melihat-lihat mobil Mbak Lia yang mogok. Aku merasa kesal melihat dia, untuk orang lain seperti Mbak Lia dia rela berkorban padahal dia mau pergi bekerja namun untuk istri sendiri sangat perhitungan. Mau enaknya sendiri, jujur saja aku marah dan ingin melabraknya namun aku harus sabar dan mengumpulkan sejumlah bukti saja dulu. "Kayaknya sulit, Mbak. Telepon orang bengkel aja." Mas Hamdan menutup mesin mobil yang diotak-atiknya. Dia mendekati Mbak Lia. "Terus bagaimana toh, Mas? Saya mau ke kantor nih," ucap Mbak Lia manja. Mas Hamdan menyeringai dan terlihat dari kameraku. "Mbak saya antar mau? Kebetulan kita satu arah. Kasihan sekali Mbak nya pasti terlambat," ucapnya. Mbak Lia kemudian mengangguk pasti. "Boleh juga lah, tetapi apa tidak merepotkan?" "Nggak lah, kita kan tetangga," balas Mas Hamdan. Aku menghela napas panjang berusaha menahan emosi di dalam diriku. "Terima kasih, Mas." Mbak Lia tersenyum. "Jangan lupa mampir ya, Mbak," kata Rosita ke Mbak Lia berbasa basi saat wanita itu hendak masuk ke dalam mobil. Mas Hamdan tidak menggubris sama sekali. "Iya, kalau ada waktu saya mampir," ucapnya lalu masuk ke mobil suamiku. Mobil itu melaju dan meninggalkan Rosita. Gadis itu kemudian masuk ke mobil ku setelah misi selesai. "Jalan, Rita!" perintahku dengan wajah datar. Rosita dan Rita tidak berani berkomentar karena tahu situasi hatiku yang kesal. ** "Terima kasih, Yun. Kamu sudah mau bekerja sama dengan perusahaan saya, saya pastikan yang terbaik buat kamu," kata Pak Irsyad dengan mengulas senyum. Akhirnya kerja sama antara toko ku dengan perusahaan pakaian dia terlaksana. Aku bisa mendapatkan harga yang lebih murah karena mengambil langsung dari Pabriknya. "Sama-sama, Pak Irsyad. Senang bisa bekerja sama dengan Bapak!" ucapku. "Saya lebih senang, Yun. Bertemu kamu lagi dan kita bisa bekerja sama. Sepertinya kamu sangat tekun dan bisa menjadi seperti sekarang ini," katanya memujiku. "Usaha saya baru saja, Pak. Semoga bisa berjalan lebih baik dengan kerja sama Bapak dan kita sama-sama saling menguntungkan." "Tentu saja, Oh ya, Yun. Ada undangan peresmian gedung baru di perusahaan saya. Kamu mau kah datang. Saya mengundang kamu sebagai tamu kehormatan," katanya mengambil gawainya dan men-share undangan digital padaku. Aku mengambil juga gawaiku dan netraku membola melihat undangan itu. Mirip undangan yang kulihat di kamar saat Mas Hamdan menariknya dengan kasar. Ku pandangi Pak Irsyad. Apakah dia adalah bos dari suamiku? Tak sangka saja, ternyata Mas Hamdan hanya karyawan dan lebih tinggi jabatan ku sebagai Bos di usahaku yang sedang maju. Bagaimana jadinya bila aku datang ke acara peresmian itu dan Mas Hamdan melihatku? Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN